Kesibukan di rumah yang berada di Jalan Gambir, Sinduadi, Sleman, itu selalu dimulai pada sore hari. Beberapa orang berdatangan dan sibuk memasak di rumah itu.
Mereka sibuk memasak di bangunan yang lebih mirip disebut warung makan tersebut. Meski mirip warung, mereka tidak menjual makanan. Justru mereka siap untuk membagikan makanan bagi mereka yang kelaparan.
Tempat tersebut merupakan basecamp Nasi Darurat Jogja (NDJ). Kelompok relawan yang sudah beraktivitas ini memang fokus untuk memberikan bantuan makanan bagi warga yang membutuhkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adalah Stefanus Eben Haezer (28), kerap disapa Evan, yang menginisiasi membentuk kelompok ini dua tahun silam. Pria yang bekerja sebagai freelance di bidang videografi itu pernah merasakan pahitnya kelaparan karena tidak memegang uang.
Saat ditemui di basecamp tersebut, dia menceritakan pengalamannya pada saat itu, di mana dia kekurangan uang gegara honor yang tertunda.
"tahu-tahu aku nggak minta, ada temen traktir makan, ya seneng banget kan. Nah, berawal dari kebahagiaan itu saat menerima makanan, di bulan berikutnya waktu aku udah dapet pemasukan lagi jadi inget momen kemarin. Aku mikir, ada nggak ya orang-orang yang ngalamin kayak aku?" kata Evan mengenang momen itu, Rabu (5/11/2025.
Beberapa pekan kemudian, media sosial ramai membicarakan kasus mahasiswi yang meninggal karena sering menahan lapar.
"Waktu itu banyak reply yang bilang 'aku juga pernah ngalamin', 'aku juga gini'. Berarti valid, nih. Berarti emang ada orang-orang yang kayak aku kemarin," lanjutnya.
Dari kasus itu dia kemudian memulai gerakannya. Dia merelakan sebagian penghasilannya untuk membantu orang yang kelaparan. Evan mengawalinya dengan membuat flyer melalui media sosial kemudian mengunggahnya di tengah keriuhan kasus mahasiswi yang meninggal itu.
"Akhirnya aku bikin flyer, bales di X gitu, kalau semisal ada yang perlu makanan ya udah WA aja, tak kirim makanan." kata dia.
Basecamp Nasi Darurat Jogja di Sinduadi, Sleman. Foto diunggah Sabtu (8/11/2025). Foto: Redella Reffa Herdianti/detikJogja |
Konsep yang digunakan berbeda dengan gerakan nasi berkah yang saat ini menjamur yang membagikan makanan di jalan-jalan. Dia hanya melayani orang yang kelaparan dan secara langsung meminta bantuan.
Upaya itu pun bersambut. Ponselnya mulai rajin berdering lantaran banyak orang yang menghubunginya meminta bantuannya untuk dikirimi makanan.
Pada awalnya Evan menyiapkan makanan dan mengantarkannya sendiri. Namun seiring waktu, jumlah penerima bertambah dan gerakan ini tak bisa lagi dikerjakan seorang diri. Beberapa orang kini sudah bergabung dan bekerja bersama untuk mengatur dapur, admin sosial media, hingga distribusi.
Saat ini, keterbatasan biaya membuat mereka hanya bisa mengirim makanan untuk makan malam.
Melawan Penipuan
Selama dua tahun beroperasi, Nasi Darurat Jogja kini sudah cukup dikenal. Setiap hari paling tidak ada 50 orang yang meminta bantuan. Evan yang awalnya menyisihkan uang dari kantong pribadi kini mulai membuka kesempatan untuk orang lain berbagi donasi.
"Kalau dihitung, satu hari bisa habis sekitar satu setengah juta buat bahan dan ongkir. Kadang malah lebih mahal ongkirnya daripada makanannya," tutur Evan.
Namun, perjalanan dalam mencari donasi tidak selalu mulus. Muncul beberapa akun palsu yang mengaku Nasi Darurat Jogja yang meminta donasi kepada masyarakat. Hal itu membuat Evan memilih tidak membuka donasi secara terbuka.
"Kami kasih nomor rekening kalau ada yang benar-benar mau bantu. Tujuannya biar nggak disalahgunakan," jelasnya.
Dia bahkan rela membeli domain website di internet untuk Nasi Darurat Jogja meski tidak pernah mempergunakannya. Tujuannya adalah agar tidak dimanfaatkan oleh orang lain untuk menipu dengan cara mencari donasi.
"Website juga udah aku amankan, walau masih nonaktif, takutnya nanti ada yang pake buat hal yang kita nggak mau," tuturnya.
Mata Rantai Kebaikan
Salah satu warga yang pernah ditolong oleh Nasi Darurat Jogja adalah Riri (24) yang merupakan seorang mahasiswi. Riri menceritakan pernah dibantu sekitar dua tahun lalu.
"Aku awalnya pernah dapat bantuan, itu tahun 2023 pas NDJ baru berdiri," cerita Riri.
Pada saat itu dia usai mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampusnya yang cukup menguras tabungan. Kondisi itu membuatnya tidak mampu lagi untuk membeli makanan. Beruntung, dia melihat unggahan Nasi Darurat Jogja di medsos.
"Aku lumayan aktif di Twitter, terus waktu itu nemu postingan retweet soal Nasi Darurat Jogja. Aku abis KKN dan lagi boncos banget, jadi aku DM ke kontak NDJ yang waktu itu masih pakai Telegram, minta bantuan logistik," jelasnya.
Tak disangka, Riri mendapatkan kiriman bantuan. Bukan hanya makanan, namun bahan makanan yang membuatnya bisa bertahan hingga beberapa hari ke depan.
"Dapet beras, minyak, pokoknya sembako. Karena aku bisa masak di kos, rasanya lebih nyaman gitu. Aku nggak enak kalau terus minta nasi, jadi cukup logistik aja," katanya.
Basecamp Nasi Darurat Jogja di Sinduadi, Sleman. Foto diunggah Sabtu (8/11/2025). Foto: Redella Reffa Herdianti/detikJogja |
Pengalaman merasakan penderitaan saat lapar itu kemudian menggugah kesadaran Riri. Kini dia ikut bergabung membantu Nasi Darurat Jogja.
"Waktu itu aku lihat pengumuman di Twitter kalau mereka pindah tempat. Aku DM aja, bilang kalau butuh helper atau orang buat bantu masak aku bisa. Awalnya cuma sesekali bantu, tapi beberapa bulan terakhir ini baru rutin," ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh Redella Reffa Herdianti peserta Program PRIMA Magang Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI)














































Komentar Terbanyak
Termasuk Roy Suryo, Ini Daftar 8 Tersangka Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi
Apa Bedanya Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara?
Peran Roy Suryo cs Tersangka Kasus Ijazah Jokowi: Editing-Manipulasi Digital