- Apa Itu Darurat Militer?
- Penyebab Ditetapkannya Darurat Militer
- Dampak Darurat Militer 1. Penguasaan Properti dan Objek Vital 2. Pembatasan Kebebasan Sipil dan Pengerahan Warga 3. Kewenangan Penegakan Hukum dan Peradilan Khusus 4. Pengawasan Komunikasi dan Tindakan Luar Biasa
- Sejarah Darurat Militer di Indonesia 1. Darurat Militer Jawa Timur (1946-1960) 2. Darurat Militer Timor Timur (1999) 3. Darurat Militer Aceh (2003-2004)
Istilah 'darurat militer' sering kali terdengar saat negara menghadapi krisis keamanan yang serius. Namun, banyak yang belum sepenuhnya memahami apa itu darurat militer dan dampaknya yang begitu luas bagi kehidupan masyarakat sipil.
Di Indonesia, pemberlakuan status ini bukanlah hal baru dan telah menjadi bagian dari sejarah ketatanegaraan dalam menjaga keutuhan bangsa. Kebijakan ini memberikan kewenangan luar biasa kepada negara untuk bertindak cepat di luar hukum normal, yang tentunya membawa konsekuensi besar.
Lantas, apa itu darurat militer? Mari kita simak pembahasan lengkap berikut ini untuk mengetahui pengertian, penyebab, dampak, hingga sejarahnya di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa Itu Darurat Militer?
Dijelaskan Fajlurrahman Jurdi dalam buku Hukum Tata Negara Indonesia, keadaan darurat pada dasarnya adalah kondisi ketika kehidupan normal negara tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam situasi ini, penguasa memiliki kewenangan untuk mengambil langkah-langkah di luar aturan hukum yang biasa demi menjaga keselamatan bangsa dan negara.
Pemikiran ini sejalan dengan konsep state of exception dari Carl Schmitt, yang menekankan bahwa kedaulatan berada pada pihak yang mampu memutuskan pengecualian atas aturan demi kepentingan publik. Dengan kata lain, keadaan darurat memberi ruang bagi pemerintah untuk menunda fungsi normal eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, serta mengubah kehidupan warga untuk sementara waktu dalam rangka tanggap darurat.
Dalam sejarah hukum di Indonesia, keadaan darurat dibedakan dalam beberapa tingkatan. UU No. 74 Tahun 1957 mengatur dua tingkatan, yaitu keadaan darurat dan keadaan perang. Sementara itu, Perpu No. 23 Tahun 1959 membaginya menjadi tiga, yakni darurat sipil, darurat militer, dan keadaan perang.
Sejak saat itu hingga sekarang, aturan yang menjadi dasar penerapan keadaan darurat tetap mengacu pada Perpu No. 23 Tahun 1959. Landasan konstitusionalnya sendiri tercantum dalam Pasal 12 UUD 1945 yang memberi wewenang Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, serta Pasal 22 UUD 1945 yang memungkinkan Presiden menetapkan Perppu dalam hal kegentingan yang memaksa.
Darurat militer merupakan tingkatan bahaya yang lebih serius dibanding darurat sipil. Kondisi ini dinyatakan ketika ancaman yang dihadapi tidak dapat ditangani hanya dengan instrumen sipil dan peraturan yang berlaku dalam keadaan darurat sipil.
Dalam keadaan darurat militer, baik seluruh wilayah atau sebagian wilayah negara dinyatakan berada dalam penguasaan operasi militer. Tugas pokok Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi sangat penting dalam kondisi ini, yaitu menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah, serta melindungi bangsa dari ancaman yang membahayakan.
Pelaksanaan darurat militer diatur dalam Bab III Perpu No. 23 Tahun 1959. Aturan tersebut memberikan dasar hukum bagi TNI untuk menjalankan operasi militer baik untuk perang maupun selain perang, seperti menghadapi pemberontakan bersenjata atau gerakan separatisme.
Penyebab Ditetapkannya Darurat Militer
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959, presiden atau panglima tertinggi angkatan perang berhak untuk menyatakan Indonesia dalam keadaan darurat militer apabila terdapat kondisi sebagai berikut:
- Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah Indonesia terganggu oleh pemberontakan, kerusuhan, atau bencana alam, sehingga dikhawatirkan sulit ditangani dengan cara biasa.
- Terjadi perang, ancaman perang, atau ada kemungkinan wilayah Indonesia dilanggar dengan cara apa pun.
- Kehidupan negara berada dalam bahaya, atau muncul tanda-tanda yang dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Dampak Darurat Militer
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, status darurat militer membawa sejumlah konsekuensi besar bagi kehidupan sipil. Penguasa Darurat Militer memperoleh kewenangan luar biasa yang mencakup berbagai aspek, mulai dari penguasaan fasilitas publik hingga pembatasan hak-hak warga. Berikut rincian dampaknya.
1. Penguasaan Properti dan Objek Vital
Dalam keadaan darurat militer, sarana transportasi dan perhubungan strategis sepenuhnya berada di bawah kendali militer. Pasal 23 menyebutkan bahwa pelabuhan, stasiun, lapangan terbang, hingga lalu lintas umum dapat diatur dan dikuasai langsung. Tidak hanya itu, Pasal 24 juga memberikan hak bagi penguasa militer untuk menyita atau menggunakan gedung, tanah, alat transportasi, bahkan alat produksi milik swasta demi kepentingan umum.
2. Pembatasan Kebebasan Sipil dan Pengerahan Warga
Kebebasan masyarakat dapat dibatasi secara ketat. Pasal 27 mengatur bahwa penguasa militer berwenang memberlakukan jam malam, melarang warga keluar rumah pada waktu tertentu, serta membatasi atau membubarkan rapat dan pawai. Bahkan, Pasal 29 membuka kemungkinan warga sipil diwajibkan melaksanakan tugas tertentu, seperti penjagaan atau pekerjaan lain yang dianggap penting untuk keamanan negara.
3. Kewenangan Penegakan Hukum dan Peradilan Khusus
Penguasa militer juga memiliki kewenangan hukum yang sangat luas. Pasal 26 memperbolehkan aparat melakukan penggeledahan terhadap orang, bangunan, dan kendaraan tanpa prosedur normal. Selanjutnya, Pasal 32 memberi hak untuk menahan seseorang hingga 30 hari jika dianggap membahayakan keamanan. Lebih jauh lagi, Pasal 33 mengizinkan pembentukan pengadilan khusus atau penggunaan prosedur peradilan yang berbeda dari aturan umum demi mengadili pelanggaran selama masa darurat.
4. Pengawasan Komunikasi dan Tindakan Luar Biasa
Privasi komunikasi pun tidak lagi sepenuhnya terlindungi. Berdasarkan Pasal 31, surat, telegram, maupun percakapan telepon dapat diperiksa, disita, atau didengarkan oleh aparat. Sebagai kewenangan paling luas, Pasal 30 memberi hak kepada Penguasa Darurat Militer untuk mengambil "tindakan luar biasa" di luar aturan yang berlaku, selama hal itu dianggap perlu demi menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Sejarah Darurat Militer di Indonesia
Sepanjang sejarahnya, Indonesia telah beberapa kali memberlakukan status darurat militer di berbagai wilayah dengan latar belakang dan dinamika yang berbeda. Dua di antaranya yang paling menonjol adalah di Jawa Timur pada masa awal kemerdekaan dan di Aceh pada era Reformasi, mari simak detailnya berikut ini.
1. Darurat Militer Jawa Timur (1946-1960)
Dikutip dari artikel Implementasi Undang-undang Status Keadaan Darurat dan Bahaya Perang di Jawa Timur Tahun 1946-1962 tulisan Ritwan Junianto, Jawa Timur pernah berada di bawah status darurat militer selama beberapa periode antara tahun 1946 hingga 1962. Otoritas militer pertama kali mengambil alih secara signifikan pada tahun 1948 untuk menumpas pemberontakan PKI Madiun. Saat itu, Kolonel Sungkono ditunjuk sebagai Gubernur Militer Jawa Timur dan memimpin langsung Gerakan Operasi Militer I untuk memulihkan keamanan.
Setelah masa revolusi, status darurat di Jawa Timur tidak sepenuhnya dicabut, melainkan diturunkan menjadi 'keadaan perang" pada tahun 1952. Pada dasarnya, ini merupakan kelanjutan dari darurat militer.
Situasi kembali diperketat saat pemerintah pusat memberlakukan Staat van Oorlog en Beleg (SOB) di seluruh Indonesia pada tahun 1957. Di bawah aturan SOB, Penguasa Militer Daerah di Jawa Timur menerapkan berbagai kebijakan tegas, seperti mewajibkan izin kepemilikan senjata api dan memimpin proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Seiring membaiknya kondisi, status darurat militer di wilayah ini akhirnya diturunkan menjadi darurat sipil pada tahun 1960.
2. Darurat Militer Timor Timur (1999)
Dikutip dari artikel Hybrid Tribunal Sebagai Upaya Penanganan Kasus Kejahatan Kemanusiaan Berat di Timor Timur pada Tahun 1999 oleh Ikaningtyas, pemberlakuan darurat militer di Timor Timur merupakan respons langsung Pemerintah Republik Indonesia terhadap situasi kaotis yang meledak setelah hasil jajak pendapat diumumkan pada 30 Agustus 1999.
Hasil yang menunjukkan mayoritas rakyat Timor Timur memilih merdeka memicu kekecewaan besar di kalangan pro-integrasi, yang kemudian melancarkan aksi kekerasan, teror, dan intimidasi. Keadaan di Dili menjadi tidak terkendali dengan berbagai pertikaian, pembakaran, dan serangan yang menyebabkan banyak korban jiwa dan pengungsian besar-besaran.
Kegagalan TNI/POLRI dalam mengendalikan keamanan memicu tekanan internasional yang kuat. Bahkan, pemerintah Indonesia mendapatkan ultimatum dari Dewan Keamanan PBB yang mengancam akan mengirimkan bantuan internasional jika ketertiban tidak pulih dalam 48 jam.
Menghadapi tekanan ini, pemerintah Indonesia mengambil langkah darurat dengan memberlakukan status Darurat Militer di Timor Timur mulai tanggal 7 September 1999. Kebijakan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Darurat dan diresmikan melalui Keppres Nomor 107/Tahun 1999. Tujuannya adalah untuk memberikan landasan hukum dan wewenang yang lebih besar bagi aparat keamanan untuk bertindak tegas menindak kerusuhan dan memulihkan ketertiban. Darurat militer ini berakhir pada 24 September 1999.
3. Darurat Militer Aceh (2003-2004)
Sejarah juga mencatat bahwa Indonesia sempat memberlakukan status darurat militer setelah masa Reformasi. Dirangkum dari artikel Memahami Aceh dalam Konteks: Kajian atas Situasi Darurat Militer di Aceh 2003-2004 tulisan Daniel Hutagalung, status keadaan darurat militer pernah secara resmi diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 28 Tahun 2003. Keppres tersebut secara spesifik berisi "Pernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam".
Menurut Fitri Atur Arum dan Enika Maya Oktavia dalam artikel Implementasi Keadaan Darurat di Indonesia: Inkonsisten Penerapan Keadaan Darurat, penetapan darurat militer di Aceh pada tahun 2003 berakar dari situasi yang sudah berlangsung lama. Sejak 1990, pemerintah telah menambah kekuatan militer di Aceh menjadi 12.000 personel atas permintaan Kepala Pemerintahan Daerah Aceh saat itu.
Meskipun tidak ada pernyataan darurat resmi, periode ini dikenal sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) yang dijalankan dengan pendekatan represif dan diwarnai banyak kasus pelanggaran HAM. Situasi ini disebut sebagai 'keadaan darurat de facto', di mana keadaan bahaya terjadi dalam praktik tanpa landasan hukum formal.
Pada tahun 2003, setelah pemerintah mengadakan rapat konsultasi dengan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), status tersebut diformalkan menjadi Keadaan Darurat Militer melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003. Status darurat militer kemudian diturunkan menjadi darurat sipil pada tahun 2004 setelah adanya Rapat Musyawarah antara pemerintah dan DPR.
Akhirnya, pada 19 Mei 2005, status darurat sipil sepenuhnya dihapus melalui Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2005. Alasan penurunan dan penghapusan status darurat ini adalah karena adanya pertimbangan dalam rapat pemerintah dan DPR bahwa kondisi di Aceh telah membaik secara signifikan. Perbaikan tersebut meliputi aspek keamanan, ketertiban umum, jalannya pemerintahan, serta pulihnya kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat.
Demikianlah tadi penjelasan lengkap mengenai darurat militer termasuk pengertian, penyebab, dampak, hingga sejarahnya di Indonesia. Semoga bermanfaat!
(par/apl)
Komentar Terbanyak
Pengakuan Pacar-pacar Eks Dirut Taspen Kosasih, Dikado Mobil-Dibelikan Tas LV
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Siapa yang Menentukan Gaji dan Tunjangan DPR? Ini Pihak yang Berwenang