Pohon selama ini dikenal memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup di bumi karena mampu menyerap CO2 atau karbon dioksida dan menghasilkan O2 atau oksigen. Namun, sebuah studi justru mengungkap pohon tidak lagi bisa menyerap karbon dioksida. Benarkah demikian?
Mengutip dari buku 'Aku Senang Ada: Pohon dan Tumbuhan' karya Tracey Turner, dijelaskan bahwa pohon memiliki kemampuan dalam menyerap gas karbon dioksida. Kemudian pohon juga mampu menyerap air hujan dan gas karbon dioksida tersebut hingga mampu mengubahnya menjadi sumber nutrisi hingga menghasilkan oksigen.
Namun demikian, sebuah penelitian justru menemukan pohon tidak lagi memiliki kemampuan yang baik dalam menyerap karbon dioksida yang menyelimuti bumi. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan, melainkan adanya berbagai perubahan yang terjadi di bumi, sehingga berpengaruh terhadap hal tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas seperti apa penjelasan tentang studi yang mengungkap pohon tidak lagi menyerap karbon dioksida? Sebagai cara untuk mengetahui jawabannya, terdapat rangkuman informasi yang akan dipaparkan dalam artikel ini. Simak penjelasannya berikut.
Apakah Benar Pohon Tidak Lagi Menyerap CO2?
Sebuah informasi yang disampaikan dalam laman The Guardian sempat menyinggung terkait hal ini. Dijelaskan bahwa bumi yang berubah menjadi lebih panas mampu membuat para ilmuwan menaruh rasa kekhawatiran terkait proses alami penyerapan karbon di bumi.
Tercatat, pada tahun 2023 menjadi tahun terpanas yang memberikan pengaruh terhadap penyerapan karbon. Sebuah tim peneliti internasional juga menemukan kondisi memanasnya bumi di tahun lalu memberikan pengaruh terhadap alam yang hampir tidak dapat lagi menyerap karbon. Tidak hanya pohon atau tanaman saja, tetapi juga hutan maupun tanah.
Penyerapan karbon juga diketahui tidak hanya melibatkan tumbuhan hijau maupun tanah. Lebih dari itu, fenomena yang terjadi di laut dan wilayah yang diselimuti es juga memberikan pengaruh terhadap penyerapan karbon di bumi.
Misalnya saja saat lapisan es di Arktik dan gletser Greenland yang mencari lebih cepat dari yang seharusnya. Situasi tersebut membuat arus laut terganggu yang berdampak pada lambatnya penyerapan karbon di laut. Tidak hanya itu saja, zooplankton yang dikenal mampu menyerap karbon dan menghasilkan oksigen juga mengalami paparan sinar matahari yang lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Inilah yang membuat proses migrasi mereka dan penyimpanan karbon di dasar laut juga terganggu.
Bahkan dijelaskan per tahun 2023 kemarin, jumlah karbon yang dihasilkan oleh manusia mencapai total 37,4 miliar ton. Angka ini termasuk dalam akumulasi CO2 atau karbon dioksida di atmosfer yang sangat tinggi. Seorang peneliti dari Laboratorium Ilmu Iklim dan Lingkungan Prancis bernama Philippe Ciais mengungkap, "Pada tahun 2023, akumulasi CO2 di atmosfer sangat tinggi dan ini mengakibatkan penyerapan yang sangat, sangat rendah oleh biosfer terestrial' dikutip detikJogja, Minggu (27/10/2024).
Meskipun begitu ditekankan juga bahwa kerusakan lahan yang mampu menyerap karbon ada kemungkinan bersifat sementara saja. Namun, hal tersebut dapat berlaku apabila tidak terjadi kekeringan maupun kebakaran hutan.
Kemudian lahan yang ada di bumi dapat kembali menyerap karbon kembali. Hal ini didukung dengan peran hutan, lautan, rawa gambut, hingga padang rumput yang escara alami melakukan penyerapan terhadap polusi karbon manusia. Di luar itu, dapat digunakan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk menghilangkan karbon atmosfer yang telah mencapai di titik skala besar saat ini.
Sementara itu, dikutip dari laman Conservation, seorang ilmuwan asal Conservation International's Center for Natural Climate Solutions bernama Bronson Griscom menyampaikan pandangannya terkait situasi saat emisi karbon tidak terserap dengan baik oleh alam.
Dirinya menjelaskan planet tempat kita tinggal merupakan wilayah yang sangat luas dan juga kompleks. Meskipun kondisi di bumi cukup memprihatinkan, tetapi terdapat peningkatan berkelanjutan yang berkaitan dengan pertumbuhan hutan-hutan. Pada sejumlah tempat lain, alam dibiarkan tumbuh kembali, musim tanam yang mengalami perpanjangan, hingga curah hujan yang cenderung tinggi.
Bronson Griscom juga mengungkap masih ada penyerapan besar-besaran yang dilakukan secara alami oleh alam setiap tahunnya. Inilah yang membuat pernyataan bahwa alam tidak lagi dapat menyerap karbon menjadi sesuatu hal yang kurang tepat untuk dikatakan.
Meskipun begitu, Bronson Griscom menyoroti perubahan penyerapan karbon yang tidak seimbang pada beberapa dekade terakhir. Namun, ekosistem tetap memiliki peran dalam menyerap sekitar setengah dari emisi karbon yang telah dihasilkan oleh manusia. Inilah yang membuat manusia perlu untuk terus berperan dalam meningkatkan pengelolaan ekosistem, sehingga mampu menstabilkan iklim di planet tempat kita tinggal.
Berapa Banyak Pohon untuk Menyerap Emisi Karbon?
Setelah mengetahui penjelasan mengenai alam yang tidak lagi menyerap karbon hingga pendapat dari sosok ilmuwan terkait hal tersebut, tidak ada salahnya bagi detikers untuk mencermati lebih dekat mengenai jumlah pohon yang diperlukan untuk menyerap emisi karbon yang ada di bumi. Menurut laman Massachusetts Institute of Technology, terdapat sebuah data yang dapat memberikan gambaran terkait jumlah pohon yang diperlukan untuk menyerap emisi karbon.
Misalnya saja di Amerika Serikat pada tahun 2021 lalu mengeluarkan setidaknya 5,6 miliar ton karbon dioksida dan gas rumah kaca. Padahal satu hektar pohon terdapat kemungkinan mampu menyimpan sekitar 50 ton karbon. Oleh sebab itu, dibutuhkan lebih dari 30 juta hektar pohon agar dapat menyerap emisi karbon yang dihasilkan oleh Amerika Serikat pada tahun tersebut.
Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan perkiraan tentang jumlah hutan yang ada di bumi. Adapun jumlah hutan yang masih ada di bumi berkisar 4 miliar hektar.
Meskipun begitu, jumlah pohon yang telah disebutkan sebelumnya tidak dapat menjadi patokan. Hal ini dikarenakan hutan memiliki keragaman usia yang berbeda-beda. Ada hutan muda yang menyerap karbon paling banyak saat masih dalam proses pertumbuhan. Kemudian hutan yang telah tua memiliki kemampuan menyerap karbon masuk secepat mengeluarkannya.
Tidak hanya itu saja, hutan juga bukanlah penyerap karbon yang tidak terbatas. Ini dikarenakan hutan-hutan justru kerap digunakan sebagai lahan pertanian, perindustrian, hingga perkotaan. Bahkan pohon juga tidak bisa hidup selamanya. Dikatakan bahwa saat pohon mati, mereka akan melepaskan semua karbon dioksida yang selama ini telah disimpan. Inilah yang membuat karbon dioksida tersebut akan kembali ke bumi tanpa disadari.
Nah, itulah tadi rangkuman mengenai pohon yang tidak lagi menyerap Karbon Dioksida lengkap dengan jumlah pohon yang dibutuhkan agar bisa menyerap emisi karbon. Semoga informasi ini dapat menambah wawasan detikers, ya.
(par/par)
Komentar Terbanyak
Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Ramai Dikritik, Begini Penjelasan PPATK
Kasus Kematian Diplomat Kemlu, Keluarga Yakin Korban Tak Bunuh Diri
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja