Pengamat Hukum Sebut Kasus Todong Pistol Banyuwangi Tak Seharusnya Dapat RJ

Pengamat Hukum Sebut Kasus Todong Pistol Banyuwangi Tak Seharusnya Dapat RJ

Eka Rimawati - detikJatim
Senin, 11 Nov 2024 20:04 WIB
Dosen hukum Bina Nusantara Jakarta Ahmad Sofian
Dosen hukum Bina Nusantara Jakarta Ahmad Sofian (Foto: istimewa)
Banyuwangi -

Kasus dugaan penodongan pistol terhadap juru parkir masih berlanjut. Kuasa Hukum terduga pelaku M, Moch Zaeni menyatakan sedang mengurus prosedur pengajuan Restoratif Justice (RJ).

"Kami menghormati proses tersebut, kemarin kami juga mengajukan RJ sebagaimana Perpol Nomor 8 tahun 2021 tentang Restoratif Justice. Syarat-syaratnya juga kita lengkapi semua termasuk perdamaian, pencabutan laporan dari Pelapor dan BAP," ungkap Zaeni kepada detik Jatim, Selasa (5/11/2024) lalu.

Menanggapi hal tersebut, pengamat hukum sekaligus Dosen hukum Bina Nusantara Jakarta Ahmad Sofian menyebut Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU12 tahun 1951 tentang senjata api, ancaman pidana terhadap penyalahgunaan senjata api bisa dikenakan ancaman pidana selama-lamanya hukuman mati atau hukuman seumur hidup atau setinggi-tingginya 20 tahun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menambahkan dari ketentuan tersebut jelas bahwa penyalahgunaan senjata api digolongkan sebagai kejahatan serius (serious crime) sehingga seharusnya tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan restorative justice.

"Penyalahgunaan senjata api bahkan bisa menimbulkan kematian bagi orang lain, atau membuat orang takut, stres dan trauma berkepanjangan. Izin yang diberikan dalam penggunaan senjata api adalah dalam rangka membela diri atau melindungi diri dan diberikan sangat selektif dengan persyaratan yang ketat," tegas Ahmad Sofian, Senin (11/11/2024).

ADVERTISEMENT

Merujuk pada Peraturan Kapolri (PERKAP) No. 8 tahun 2021 tentang penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif, salah satu syarat penggunaan pendekatan ini adalah jika kejahatan tersebut tidak menimbulkan keresahan masyarakat (Pasal 5 huruf a).

"Menurut saya penyalahgunaan senjata api dapat digolongkan sebagai kejahatan yang menimbulkan keresahan karena itu penyelesaian dengan RJ sudah tentu melanggar PERKAB 8/2021," terangnya.

Upaya damai antara terduga pelaku dan korban tidak serta merta menghentikan kasus dugaan penyalahgunaan senpi tersebut. Untuk pembuktian selain korban, ia menyebut polisi masih memiliki 5 alat bukti lainnya.

"Dalam pembuktian dugaan tindak pidana ada 5 alat bukti. yang bisa dipergunakan sesuai dengan pasal 184 KUHAP yaitu saksi, ahli, surat/dokument, petunjuk, keterangan terdakwa dan ditambah alat bukti elektronik sesuai dengan Pasal 5 UU ITE, jadi ada 6 alat bukti. dengan demikian penyidik bisa menggunakan keterangan korban, selain itu jika korban mengalami trauma bisa diperiksa kepada psikolog, dan hasil pemeriksaan psikolog bisa dijadikan alat bukti, dan jika ada CCTV," tandas Sofian.

Sehingga, tak ada alasan bagi kepolisian untuk mengambil jalan Restoratif Justice dengan dasar upaya damai dan minim bukti.

Sebagai edukasi kepada masyarakat, Sofian menegaskan bahwasanya Kepemilikan senjata api memang telah diatur secara terbatas. Di lingkungan kepolisian dan TNI sendiri terdapat peraturan mengenai prosedur kepemilikan dan syarat tertentu untuk memiliki senjata api. Di lingkungan masyarakat sipil juga terdapat prosedur tertentu untuk memiliki senjata api secara legal.

Prosedur tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api. Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1948 mewajibkan setiap senjata api yang berada ditangan orang bukan anggota Tentara atau Polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan. Menurut pasal 9 UU No. 8 Tahun 1948, setiap orang atau warga sipil yang mempunyai dan memakai senjata api harus mempunyai surat izin pemakaian senjata api menurut contoh yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara. Surat izin pemakaian senjata api ini diberikan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang ditunjukkannya.

"penggunaan senjata api dilegalkan jika ada izin. namun jika izin disalahgunakan misalnya melakukan teror, menakut-nakuti warga, atau digunakan untuk mengancam orang lain, maka perbuatan ini masuk kategori tindak pidana," pungkas Sofian.




(erm/iwd)


Hide Ads