Pakar Sebut RKUHP dan UU Kejaksaan Sebabkan Tumpang Tindih Kebijakan

Pakar Sebut RKUHP dan UU Kejaksaan Sebabkan Tumpang Tindih Kebijakan

Yakub Mulyono - detikJatim
Jumat, 07 Feb 2025 15:25 WIB
Pakar Hukum Administrasi Universitas Airlangga Surabaya Prof Dr Sri Winarsi SH MH
Prof Dr Sri Winarsi SH MH (Foto: Istimewa)
Jember -

Pakar Hukum Administrasi Universitas Airlangga Surabaya Prof Dr Sri Winarsi SH MH menyoroti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang tentang Kejaksaan. Ia menyebut RKUHP dan UU tersebut akan menyebabkan tumpangtindih kebijakan antarlembaga hukum.

"Penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021, telah memperlihatkan arah hukum politik pembentukan undang-undang adalah untuk mengakomodasi prinsip prosecutorial discretion dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Artinya, kejaksaan menjadi memiliki kewenangan yang begitu besar," katanya, Jumat (7/2/2025).

Lebih lanjut, kata Prof Sri, dalam Undang-Undang Pasal 30B huruf a tersebut cukup kontroversial. Sri menilai bahwa tidak ada interpretasi otentik terkait ruang lingkup intelijen penegakan hukum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, aturan ini bisa saja memberi peluang bagi kejaksaan untuk melakukan penyelidikan yang sebenarnya adalah kewenangan kepolisian. Jika hal ini terjadi, jangankan untuk bekerja secara sinergis, wewenang dari dua lembaga ini justru akan tumpang tindih.

"Ketika batas fungsi antara kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, serta kejaksaan sebagai penuntut tidak ditegaskan maka terjadi penyimpangan dari prinsip diferensiasi ini. Akibatnya, alih-alih bekerja secara sinergis, kewenangan kedua lembaga ini justru dapat saling tumpang tindih," ucapnya.

ADVERTISEMENT

Pengesahan UU Kejaksaan pada 2021 yang memperluas kewenangan kejaksaan berpotensi menciptakan dualisme kewenangan.

Prof Sri mengaku wewenang antara kepolisian dan kejaksaan tidak dipisahkan secara jelas, maka pengawasan terhadap pelaksanaan tugas sulit untuk dilakukan. Maka celah untuk melakukan penyalahgunaan wewenang semakin besar dan yang dirugikan adalah masyarakat.

"Jika kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan tidak dipisahkan dengan jelas, pengawasan terhadap pelaksanaan tugas menjadi sulit dilakukan. Prinsip check and balance menjadi lemah dan celah penyalahgunaan wewenang semakin besar," jelasnya.

"Ketika ada tumpang tindih kewenangan, potensi penggunaan kewenangan secara berlebihan akan meningkat, pada akhirnya yang rugi adalah masyarakat," tambahnya.

Sri Winarsi mencontohkan adanya dualisme aturan antara kepolisian dan kejaksaan. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sementara di sisi lain, lembaga kejaksaan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan RI No 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Hal ini membuat tugas dan wewenang antarlembaga tidak jelas. Pelaksanaan pendekatan restoratif bisa jadi terhambat. Pasalnya, bisa jadi tidak ada pihak yang merasa memiliki kewenangan penuh untuk memfasilitasi proses tersebut.

Restorative justice, kata Sri, dapat terganggu apabila masih terdapat tumpang tindih kewenangan antara jaksa dan kepolisian. Hal ini bukan hanya berdampak pada persoalan tekhnis, tetapi juga mengenai kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia.

"Jika masyarakat melihat bahwa aparat penegak hukum saling bersaing daripada bersinergi bersama maka legitimasi hukum akan semakin tergerus. Oleh karena itu, reformasi hukum yang komprehensif mendesak untuk direalisasikan," tandasnya.




(dpe/fat)


Hide Ads