Kejaksaan tengah mendalami kasus dugaan korupsi proyek fiktif perusahaan BUMN PT Industri Kereta Api (INKA) di Kota Madiun. Kejati Jatim sendiri membidik lebih dari 1 orang calon tersangka.
Kepala Kejati Jatim Mia Amiati memastikan bahwa proyek PT INKA yang sedang didalami merupakan proyek fiktif yang berpotensi merugikan negara. Disinyalir ada aliran dana yang cukup besar dalam kasus itu.
"Senin sampai Selasa lalu kami geledah di Madiun, tentu kami mencari alat bukti dokumen atau elektronik, tentu kalau disebutkan ada 400 dokumen dan masih dipelajari terkait pidananya. Penyidikan belum, keyakinan penyidik dirumuskan dan siapa yang bertanggung jawab," ujar Mia, Senin (22/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami akan melakukan penyidikan selama 2 minggu ini dan kami berupaya melengkapi alat-alat bukti ini," kata Mia usai menghadiri peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-64.
Mia menjelaskan bahwa penanganan kasus dugaan korupsi di PT INKA ini tidak bisa dibilang mudah. Apalagi kasus dugaan korupsi ini juga melibatkan perusahaan di negara lain.
Sebab itu, Mia menyatakan pihaknya masih perlu koordinasi lebih lanjut dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Termasuk menghitung dugaan kerugian uang negara.
"Ada 6 orang auditor dari bidang pengawasan yang sudah bersertifikasi membantu mendalami kasus itu. Antreannya (di BPKP) sangat panjang, ada 39 kejari (se-Jatim) sehingga mereka minta perhitungan pada BPK dan BPKP, jadi sah dalam hukum acara dan tetap dilaksanakan," ujarnya.
Namun, orang nomor 1 di Kejati Jatim itu enggan berspekulasi siapa pihak yang bertanggung jawab dalam kasus itu. Dia menyatakan hingga kini penyidik masih mengumpulkan alat bukti dan membidik siapa dan pihak mana yang paling bertanggung jawab atas kasus dugaan korupsi itu.
"Dalam tipikor tentu tidak hanya 1 orang (tersangka) pasti ada lebih dari 1 orang, bisa segera diupayakan prosesnya. Maka dari itu kami minta bantuan ke BPKP dan nilai pastinya akan didapat setelah keluar," katanya.
"Tapi dari beberapa rangkaian pemeriksaan ada beberapa uang yang keluar dan tidak jelas peruntukannya sekitar Rp 28 miliar. Apakah itu bisa dikatakan kerugian keuangan negara? Kami menanti kesimpulan BPKP," tuturnya.
(dpe/iwd)