Bosan menjadi orang miskin membuat Nur Hasan Yogi Mahendra menempuh jalan pintas. Ia lantas mencari pesugihan dengan pergi ke Gunung Kawi pada tahun 2001.
Di sana, ia membeli keris Retno Wulan seharga Rp 5 juta dari Mbah Mualif. Keris ini konon dipercaya bisa mendatangkan kekayaan secara singkat. Namun Hasan harus membunuh orang laki-laki dan perempuan sebagai tumbal pesugihan tersebut.
Hasan yang sudah lelah dengan kemiskinan langsung menyetujui syarat itu. Ia kemudian pulang sambil membawa keris Retno Wulan ke rumahnya di Desa Nglebur, Kedungpring, Lamongan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa tahun kemudian, nasib ternyata berpihak kepada Hasan. Ia menjelma menjadi seorang pebisnis emas yang sukses. Hidupnya pun berubah tak lagi berkubang dengan kemelaratan.
Hasan bukannya tak pernah bekerja keras sebelumnya. Karena ia sempat bekerja menjadi pembantu, berdagang kerupuk, bahkan menggembala ternak orang. Namun ia tak tahan hidup miskin, tersisih dari keluarga dan dihina di lingkungannya.
Tapi setelah dari Gunung Kawi, roda nasib Hasan berubah, bisnisnya sukses, putaran uang yang dikelola bukan hanya puluhan tapi sudah ratusan juta. Ia juga membuka usaha sampingan warung telepon (wartel) di depan rumahnya. Sebuah usaha yang mewah di zamannya.
Namun pada pertengahan Januari 2005, hidup Hasan berubah saat sejumlah petugas dari Polres Lamongan mendatangi rumahnya. Kehadiran polisi ini juga membuat warga desa bertanya-tanya.
Saat itu petugas tampak menggeledah tiap sudut rumah Hasan. Tak terkecuali setiap halaman rumah yang tak lepas dari pengamatan. Polisi lantas menemukan gundukan tanah tepat di halaman belakang.
Saat dibongkar, ternyata timbunan tanah itu berisi sesosok mayat laki-laki. Polisi lalu memeriksanya dan memastikan mayat tersebut merupakan Arifin, rekan bisnis Hasan yang dilaporkan hilang selama ini.
Disaksikan warga, Hasan selanjutnya digiring ke kantor polisi untuk diperiksa lebih lanjut. Kabar ini kemudian menyebar ke seantero desa. Warga yang penasaran tanpa dikomando berbondong-bondong menuju ke rumah Hasan.
Usai penggeledahan itu, entah siapa yang memulai, warga langsung melakukan perusakan rumah dan wartel Hasan. Polisi yang di lokasi kewalahan lalu melepaskan tembakan peringatan ke udara. Massa pun mundur teratur.
Belakangan terungkap penggeledahan itu berkaitan dengan laporan keluarga Arifin ke polisi. Penggeledahan itu dilakukan karena Arifin menghilang setelah berbisnis dengan Hasan. Arifin diketahui menyerahkan uang Rp 300 juta kepada Hasan untuk kerjasama membuka toko perhiasan emas. Namun ternyata modal yang diserahkan dipakai Hasan untuk keperluan pribadinya. Sedangkan usaha toko emas hanya akal-akalannya saja.
Di hadapan penyidik, Hasan akhirnya mengakui telah membunuh Arifin, rekan bisnisnya. Dalam pengakuannya Hasan nekat menghabisi Arifin karena terus menagih uang modal usaha yang telah dihabiskan untuk membeli kendaraan dan tanah. Selain itu, Arifin juga dijadikan tumbal pesugihannya.
Dari pengakuan ini, Hasan kemudian diperiksa secara intensif. Hasilnya, Hasan rupanya tak hanya membunuh Arifin. Tapi juga membunuh secara berantai dalam waktu dan tempat berbeda tiga korban lainnya. Motifnya sama menguasai uang bisnis dan menjadikan korban-korbannya sebagai tumbal.
Korban pertama yakni Suyitno, warga Desa Tlogohaji, Sumberrejo, Bojonegoro. Ia dibunuh pada tanggal 16 Februari 2002 dengan diracun di Surabaya dan mayatnya dilarung di Pantai Kenjeran. Kemudian Sumiati, pengusaha tempe asal Kedungpring, Lamongan. Ia dibunuh pada 2 Agustus 2002 dengan diracun saat akan diajak ziarah ke Makam Sunan Ampel Surabaya. Dalam perjalanannya, ia membunuh Sumiati dengan diracun lalu mayatnya dibuang di Tol Dupak, Surabaya.
Sedangkan seorang korban lainnya yakni Imam. Ia juga hendak dibunuh karena terus menagih uang bisnis yang dikelola Hasan. Tapi beruntung, ia selamat meski sempat meminum racun yang ditaburkan di minuman.
Korban yang paling tragis adalah Arifin, sebab ia dibunuh berbeda dengan korban-korban lainnya. Arifin diketahui dihabisi dengan disembelih saat menginap di rumah Hasan pada malam tahun Baru atau 1 Januari 2005. Mayatnya lalu dikubur di halaman rumahnya. Kasus pembunuhan berantai ini segera menyita perhatian masyarakat.
Selama menjadi pesakitan di Pengadilan Negeri Lamongan, sidang Hasan tak pernah sepi dari pengunjung umum dan para keluarga dan kolega korban. Tak jarang sidang selalu berakhir dengan kericuhan dari keluarga korban.
Tak hanya Hasan, istri dan anaknya juga turut menjadi sasaran amuk dan sumpah serapah dari keluarga korban saat hadir di pengadilan. Mengetahui ini, Hasan bukan tak bertindak, ia memohon maaf dan siap dihukum mati tapi ia meminta istri dan anaknya yang masih kecil tak turut jadi sasaran.
Senin, 23 Mei 2005, majelis hakim Pengadilan Negeri Lamongan menjatuhkan vonis mati terhadap Hasan. Vonis ini sesuai dengan tuntutan jaksa sebelumnya. Meski demikian eksekusi mati Hasan hingga kini belum terlaksana.
Sebaliknya di dalam Lapas Kelas I Surabaya di Porong, Hasan telah bertaubat dan telah menjadi ustaz atau guru ngaji. Muridnya sesama narapidana pun tak sedikit. Hasan bahkan dipercaya pihak lapas sebagai khatib setiap salat Jumat.
Crime Story merupakan rubrik khusus yang mengulas kisah kriminal yang pernah terjadi di Jatim. Crime Story tayang setiap Senin dan Jumat.