Jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan banding kasus Bripka Ribut Aji Nugroho terjerat narkotika. Pasalnya, vonis majelis hakim PN Mojokerto untuk anggota Polsek Jetis, hanya seperempat dari tuntutan jaksa.
Kasipidum Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto, Ivan Yoko mengatakan, banding telah diajukan ke PN Mojokerto dua hari lalu, Senin (25/4). Menurutnya, terdapat 2 alasan kuat sehingga banding harus diajukan dalam perkara yang menjerat Bripka Ribut.
"Pertama, dalam putusannya majelis hakim menjatuhkan putusan pidana jauh dari tuntutan jaksa penuntut umum," kata Ivan kepada wartawan di kantornya, Jalan RA Basuni, Sooko, Rabu (27/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain putusan untuk Bripka Ribut, kata Ivan, pihaknya juga mengajukan banding terhadap vonis yang diterima 3 terdakwa yang masuk dalam perkara ini. Yaitu Putri Mariyanti, Yepi Susanto dan Prisma Anggita Sari.
JPU menuntut Bripka Ribut dan 3 temannya tersebut dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Karena jaksa menilai keempat terdakwa terbukti melakukan tindak pidana pasal 114 ayat (1) juncto pasal 132 ayat (1) UU RI No 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Namun, majelis hakim PN Mojokerto dengan formasi Ketua Majelis Hakim Sunoto, serta hakim anggota Pandu Dewanto dan Lukmanul Hakim menjatuhkan vonis hanya seperempat dari tuntutan jaksa sepekan lalu, Rabu (20/4). Masing-masing terdakwa dihukum 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Alasan kedua JPU mengajukan banding terhadap perkara Bripka Ribut dan kawan-kawan, menurut Ivan, karena vonis majelis hakim PN Mojokerto tak sampai setengah dari hukuman minimal yang diatur pasal 114 ayat (1) UU RI nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Hukuman minimal bagi setiap orang yang terbukti melakukan tindak pidana pasal ini adalah 5 tahun penjara.
Menurutnya, majelis hakim PN Mojokerto seharusnya menjatuhkan hukuman kepada Bripka Ribut dan kawan-kawan tidak kurang dari 5 tahun penjara. Karena ia menilai, keempat terdakwa terbukti melakukan transaksi jual beli narkotika jenis ekstasi dan sabu.
"Jadi, dalam putusan itu majelis hakim membuktikan bahwa Ribut, Putri, Prisma dan Yepi terbukti melakukan jual beli narkotika ekstasi 15 butir dan sabu. Dalam pasal 114 minimal hukumannya 5 tahun. Namun, majelis hakim menjatuhkan pidana 2 tahun, di bawah minimal pasal tersebut. Itu salah satu alasan kami mengajukan banding atas putusan majelis hakim terhadap 4 terdakwa tersebut," jelasnya.
Humas PN Mojokerto, Pandu Dewanto menjelaskan, berdasarkan fakta-fakta di persidangan, Bripka Ribut dan kawan-kawan memang terbukti melakukan tindak pidana pasal 114 ayat (1). Karena mereka terbukti membeli narkotika jenis ekstasi yang masuk golongan I bukan tanaman. Namun, ekstasi yang mereka beli untuk dikonsumsi sendiri, bukan diedarkan.
"Kalau dalam tuntutan, para terdakwa dikategorikan sebagai para pengedar, penjual. Fakta di persidangan terbukti mereka membeli untuk dipakai bersama-sama di vila Pacet. Perbuatan itu oleh majelis hakim dikategorikan sebagai penyalahguna narkotika, bukan perantara, bukan pengedar," jelasnya.
Karena terbukti sebagai penyalahguna narkotika, lanjut Pandu, seharusnya JPU mendakwa Bripka Ribut dan kawan-kawan dengan pasal 127 UU RI nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal ini mengatur hukuman bagi penyalahguna narkotika golongan I maksimal 4 tahun penjara.
Namun, JPU tidak menggunakan pasal 127 dalam dakwaan maupun tuntutan. Sehingga, kata Pandu, majelis hakim menggunakan dasar surat edaran Mahkamah Agung nomor 3 tahun 2015 dan nomor 1 tahun 2017 untuk memvonis Bripka Ribut dan kawan-kawan.
"Apabila di persidangan terdakwa terbukti sebagai penyalahguna narkotika, tapi penuntut umum tidak mendakwakan itu, maka hakim boleh menyimpangi ketentuan minimum dari pasal yang dimaksud. Ketentuan minimum untuk pasal 114 ayat (1) kan 5 tahun penjara," cetusnya.
Menggunakan pertimbangan hukum itu, tambah Pandu, majelis hakim memvonis Bripka Ribut dan kawan-kawan dengan pidana penjara 2 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
"Karena kasihan para penyalahguna, pecandu atau yang sekali pakai atau yang coba-coba kalau dihukum sebagai pengedar, penjual atau perantara. Padahal, mereka hanya pakai. Selain tidak adil bagi mereka, overload lapas semakin parah," tandasnya.
(fat/fat)