Kasus pemerkosaan dan pencabulan santriwati di Ponpes Darul Muttaqin di Desa Sampangagung, Kutorejo, Mojokerto memasuki babak akhir. Sang pengasuh ponpes, Achmad Muhlish (52) dihukum 13 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Muhlish terbukti memperkosa dan mencabuli 5 santriwatinya. Diketahui, 5 santriwati tersebut masih anak-anak.
Sidang pembacaan putusan Muhlish digelar di Ruangan Candra, PN Mojokerto sekitar pukul 13.30 hingga 14.30 WIB. Sidang ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Ardiani, serta hakim anggota Syufrinaldi dan Made Cintia Buanah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Muhlish duduk di kursi pesakitan didampingi penasihat hukumnya, Agung Supangkat. Sidang juga diikuti jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto, Kusuma Mawardani.
"Mengadili, satu, menyatakan terdakwa Ahmad Muhlish terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya sebagai pendidik dan dengan sengaja melakukan tipu muslihat untuk melakukan perbuatan cabul yang berlanjut," kata Ketua Majelis Hakim Ardiani di ruang sidang, Selasa (12/4/2022).
"Dua, menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 13 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," tegas Ardiani.
Kasus Diungkap Seorang Santri
Sebelumnya, kasus ini mencuat usai dilaporkan ke Polres Mojokerto pada Jumat (15/10/2021). Pengasuh Ponpes di Kecamatan Kutorejo ini diduga mencabuli dan memerkosa seorang santriwati yang baru berusia 14 tahun.
Santriwati asal Kecamatan Buduran, Sidoarjo itu diduga diperkosa dan dicabuli sejak 2018. Korban akhirnya mengadu kepada orang tuanya karena sudah jengah.
Namun, perjalanan kasus ini, akhirnya terungkap jika ada 5 santri yang menjadi korban. Rinciannya, 4 santri menjadi korban pencabulan dan seorang santri korban persetubuhan.
Ponpes Darul Muttaqin Ilegal dan Ditutup
Ternyata, Ponpes tersebut juga ilegal dan tidak layak dijadikan pesantren. Ponpes ini pun ditutup.
"Lembaga ini memang relatif tidak dikenal, secara kelembagaan pondok tahfiz ini belum terdaftar di Kementerian Agama. Sehingga lepas dari monitoring kami. Ada kejadian seperti ini benar-benar mengagetkan kami semua dan memprihatinkan bagi kalangan pesantren di Mojokerto khususnya. Mudah-mudahan tidak terulang lagi di tempat-tempat lain hal seperti ini," kata Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Mojokerto Barozi kepada wartawan di kantornya, Jalan RA Basuni, Kecamatan Sooko, Kamis (21/10/2021).
Ia menjelaskan, setiap ponpes harus mempunyai izin operasional dari Kementerian Agama. Untuk mengantongi izin tersebut, ponpes wajib mempunyai badan hukum, sarana dan prasarana berupa gedung, asrama santri, ruang kelas untuk kegiatan belajar mengajar, mempunyai santri, serta pengasuh.
"Nah, lembaga Ponpes ini termasuk tidak memenuhi kriteria itu. Karena tempatnya saja tidak representatif berupa hunian rumah biasa," terang Barozi.
Ponpes yang berdiri sejak 2010 itu, saat ini mempunyai sekitar 100 santri. Para santri ditempatkan di dua lokasi berbeda yang merupakan rumah keluarga AM. Yakni rumah di Desa Sampangagung, Kecamatan Kutorejo dan rumah di Desa Simbaringin, Kecamatan Kutorejo.
Mencuatnya kasus pencabulan dan pemerkosaan santriwati yang dilakukan pengasuh Ponpes, menurut Barozi, otomatis membuat pesantren tersebut ditinggalkan para santri. Ponpes yang dipimpin AM itu ditutup sejak Jumat (15/10) oleh masyarakat dan tiga pilar desa setempat.
Lolos dari Kebiri Kimia, Muhlish Divonis Lebih Ringan
Sejumlah pihak sempat meminta Muhlish dikebiri kimia. Namun, ia lolos dari hal ini. Vonis majelis hakim PN Mojokerto lebih ringan dibandingkan tuntutan JPU pada 15 Maret 2022.
Saat itu, jaksa menuntut Muhlish dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia dihukum 13 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Jaksa menilai Muhlish terbukti menyetubuhi dan mencabuli 4 santriwatinya. Terdakwa melanggar pasal 76D juncto pasal 81 ayat (2) dan (3), serta pasal 76E juncto pasal 82 ayat (1) dan (2) UU RI nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Korban perbuatan bejat Muhlish berjumlah 4 santriwati yang usianya di bawah umur atau anak-anak. Yaitu gadis berusia 14 tahun asal Sidoarjo yang disetubuhi terdakwa sejak 2018 sampai 2021.
Lalu, gadis berusia 10 tahun asal Sidoarjo, gadis berusia 12 tahun asal Lamongan, serta gadis berusia 12 tahun asal Mojokerto. Ivan memastikan, jumlah korban tidak bertambah selama persidangan.
Polisi menetapkan Muhlish sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Polres Mojokerto sejak 19 Oktober 2021. Berkas perkara pemerkosaan dan pencabulan yang menjeratnya dinyatakan lengkap (P21) oleh jaksa pada 13 Desember tahun lalu.
Sehingga penyidik melakukan tahap 2 atau menyerahkan Muhlish dan barang bukti kepada JPU pada 16 Desember 2021. Saat itu, penyidik juga menyerahkan barang bukti berupa baju yang dipakai para korban dan tersangka saat pemerkosaan dan pencabulan terjadi.
(hil/iwd)