Syaikh Prof Dr Mohammad Fadhil Al Jailani hadir khusus membedah Tafsir Al Jailani karya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Bedah tafsir di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya itu dihadiri Khofifah Indar Parawansa, Ketua Muslimat NU.
Syaikh Fadhil dalam forum itu menceritakan bagaimana dia membedah karya tafsir Al Jailani yang berhasil ditemukan setelah 800 tahun hilang. Uniknya lagi, tafsir itu justru ditemukan di perpustakaan di Vatikan, utuh 30 juz.
Siapakah Syekh Abdul Qodir Al-Jailani ?
Syekh Abdul Qodir al-Jailani adalah seorang ulama dan sufi besar Islam yang lahir tahun 471 H, di Jilan, Kurdistan Selatan. Selain itu pendiri Thoriqoh Qodiriyyah, pengikutnya tersebar di berbagai belahan dunia Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syekh Abdul Qodir al-Jailani sosok ulama tasawuf yang mempunyai banyak gelar, salah satunya adalah wali kutub. Di Indonesia, nama Syekh Abdul Qodir al-Jailani tidak asing bagi masyarakat Islam, khususnya Ahlussunnah wal Jama'ah.
Salah satu tradisi yang sering dilakukan masyarakat Islam aswaja adalah manaqiban. Yaitu membaca manaqib atau riwayat hidup Syekh Abdul Qodir al-Jailani. Syekh Abdul Qodir al-Jailani mempunyai banyak karya di berbagai bidang. Salah satunya adalah tafsir.
Dilansir dari berbagai sumber, tafsir yang ditulis Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Tafsir bernama lengkap al Faqtih al-Ilahiyyah wal Mafatih al-Ghaibiyah al-Maudhuhah lil Kalam al-Qur'aniyyah wa al-Hukm al-Furqaniyyah ini selesai ditulis Al-Jailani pada hari Selasa 4 Sya'ban 1275 H. Tafsir lengkap menguraikan 144 surah dalam Al-Quran, mulai dari Surah Al-Fatihah sampai Al-Nas.
Bahkan salah satunya pernah hilang adalah kitab Tafsir al-Jailani. Tafsir al-Jailani, menurut para ahli sejarah dan pengkaji tasawuf pernah hilang selama 800 tahun. Dan kemudian ditemukan cucu Syekh Abdul Qodir al-Jailani yang ke-25. Yakni, Syekh Fadhil al-Jailani al-Hasani al-jimazraq di perpustakaan Vatikan.
Dalam kitab Tafsir al-Jailani, tidak ditemukan alasan yang jelas kenapa Syekh Abdul Qodir al-Jailani mengarang kitab tafsir tersebut. Tetapi berdasarkan keterangan yang ada, Syekh Abdul Qodir al-Jailani menulis kitab-kitabnya karena adanya kekecewaan dengan keadaan masa ketika beliau hidup.
Sebab pada masa itu, banyak kemunafikan dan kesenangan duniawi yang merajalela. Sehingga beliau hijrah dan mengasingkan diri, serta gencar memberikan nasihat-nasihat tasawuf. Hal ini yang, mungkin, menjadi latar belakang Syekh Abdul Qodir Jailani menulis kitab-kitabnya termasuk Tafsir al-Jailani.
Tafsir Jailani menggunakan bentuk al-Iqtirani, yaitu perpaduan antara Tafsir bi al-Matsur dan Tafsir bi al-Ra'yi. Syekh Abdul Qodir al-Jailani memadukan antara riwayat yang kuat dan shahih, dengan hasil ra'yi yang sehat.
Terkadang dalam mengemukakan riwayat, baik asbabun nuzul atau hadis yang mendukung, Syekh Abdul Qodir al-Jailani tidak menyebutkan sanad yang lengkap.
Dilansir dari Tebuireng Online, tata cara penfsiran Al-Jailani masih sama dengan ulama salaf. Yakni menguraikan ayat dengan sepenggal-sepenggal tiap kata atau kalimatnya. Sebagaimana metode syarh dan hasyiah dalam literatur Islam klasik.
Kutipan-kutipan hadis sebagai argumentasi juga tidak luput digunakan oleh Al-Jailani dalam kitab tersebut. Di akhir surah Syekh Abdul Qodir Jailani juga memberikan beberapa paragraf tadabbur terhadap tiap surah.
Contoh Penafsiran Tafsir Abdul Qadir Al Jailani
Salah satu contoh model penafsiran Al-Jailani dari beberapa ayat yakni:
1. Memaknai wala al-dhallin (وَلَا الضَّالِّيْنَ)
ولا الضالين﴾ بتغريرات الدنيا الدنية، وتسويلات الشياطين عن منهج الحق ومحجة اليقين.
Al-Jailani memaknai orang-orang tersesat pada kalimat terakhir di surah Al-Fatihah adalah orang-orang yang diombang-ambingkan kehidupan dunia fana, dan tipu daya setan yang menjauhkan dari jalan kebenaran dan arah keyakinan.
Sementara mufasir lain seperti Syaikh Nawawi al-Bantani memaknai orang-orang tersesat adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang jauh dari agama Islam:
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ أي غير دين اليهود الذي غضبت عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ أي غير دين النصارى الذين ضلوا عن الإسلام ويقال: المغضوب عليهم هم الكفار، والضالون هم المنافقون
2. Memaknai (توَاصَوْا بالصَبْرِ)
Imam Ibn Kastir memaknai sabar pada penggalan surah Al-'Ashr adalah perintah untuk bersabar atas musibah dan bencana atau tabah terhadap seseorang menolak untuk diajak kepada kebaikan dan menjauhi keburukan:
{وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ} عَلَى الْمَصَائِبِ وَالْأَقْدَارِ، وَأَذَى مَنْ يُؤْذِي مِمَّنْ يَأْمُرُونَهُ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَهُ عَنِ الْمُنْكَرِ
Sementara Abdul Qadir Al-Jailani memaknai ayat tersebut sebagai bentuk perintah kesabaran terhadap sulitnya berlaku taat, lelahnya riyadah, beratnya bersikap lebih dari kebiasaan umum, dan sukarnya meninggalkan kegemaran hewani (bagi mereka yang punya sifat nafsu kuat)
وتواصوا أيضا (بالصبر» [العصر: 3] على مشاق الطاعات ومتاعب الرياضات الطارئة عليهم، من قطع المألوفات الإمكانية، وترك اللذات البهيمية اللازمة للقوى البشرية.
Pola penafsiran Abdul Qadir Al-Jailani jika dibandingkan dengan mufasir lain sangat terlihat perbedaannya. Abdul Qadir Al-Jailani memiliki pemaknaan ayat al-Quran secara mendalam dan tidak terlalu fokus terhadap hukum fikih yang terkandung di dalamnya. Hal ini wajar sebab beliau merupakan salah satu ulama yang membidangi dirinya pada ilmu tasawuf. Pada awal pengantar kitabnya belia berpesan kepada para pembaca dan pengkajinya:
والملتمس من الإخوان، والمرجو من الخلان الا ينظروا فيه إلا بعين العبرة لا بنظر الفكرة وبالذوق والوجدان لا بالدليل والبرهان، وبالكشف والعيان لا بالتخمين والحسبان
Dimohon dengan hormat terhadap saudara-saudara dan orang-orang yang menuju kesunyian, agar memaknai tafsir ini dengan kaca mata hikmah, tidak dengan sudut pandang logika. Juga dengnan rasa, perhatian, tidak dengan dalil dan petunjuk. Juga dengan terbukanya mata hati dan pikiran, tidak dengan dugaan dan perhitungan.
(dpe/fat)