Pemkab Mojokerto terus melestarikan ritual unduh-unduh patirtan di situs purbakala Jolotundo, Dusun Biting, Desa Seloliman, Trawas, Kabupaten Mojokerto setiap Bulan Suro. Jolotundo merupakan petirtaan suci berumur 1.046 tahun sebab dibangun pada 899 saka atau 977 masehi jauh sebelum Majapahit berdiri.
Unduh-unduh patirtan di Petirtaan Jolotundo digelar 3 hari 22-24 Juli 2023. Hari pertama diisi dengan bazar UMKM dan pentas seni siswa TK dan SD. Hari kedua bazar UMKM dan pagelaran macapat oleh para budayawan Kabupaten Mojokerto.
Puncaknya hari ini. Ritual unduh-unduh patirtan diawali dengan pengambilan air dari Petirtaan Jolotundo. Air suci di dalam kendi itu dikirab Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati ke lapangan Desa Seloliman. Ritual pun dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng secara massal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Barulah air dari Petirtaan Jolotundo dicampur dengan air dari 6 petirtaan yang juga dianggap suci di Kabupaten Mojokerto. Air dari 7 sumber yang sudah dicampur dalam gentong lantas dibagikan kepada masyarakat. Tentunya setelah doa lintas agama. Ritual diakhiri dengan pertunjukan kesenian bantengan, ujung dan wayang kulit.
"Unduh-unduh patirtan Jolotundo ini salah satu bentuk melestarikan budaya. Melestarikan budaya menjadi salah satu tugas kita semua sebagai anak cucu leluhur terdahulu kita. Sehingga budaya yang ditinggalkan tidak akan pernah terkikis," terang Bupati Ikfina dalam rilis yang diterima detikJatim, Selasa (25/7/2023).
Pelestarian budaya, lanjut Ikfina, juga sebagai wujud syukur masyarakat Kabupaten Mojokerto terhadap warisan para leluhur. Salah satunya Petirtaan Jolotundo, situs purbakala yang sudah berumur 1.046 tahun. Artinya, wilayahnya mempunyai berbagai peninggalan bersejarah dari Kerajaan Majapahit dan kerajaan yang lebih tua.
"Situs Petirtaan Jolotundo ini sangat istimewa. Karena kualitas air di situs ini merupakan air berkualitas tinggi. Maka dari itu, seluruh masyarakat Kabupaten Mojokerto harus terus melestarikan budaya yang bersejarah ini," jelasnya.
Struktur petirtaan Jolotundo seluas 18x12,5 meter persegi. Air yang mengisi kolam berbentuk persegi di dalamnya, mengalir keluar melalui dinding batu di atasnya. Terdapat sebuah pripih nawasanga atau peti berceruk sembilan di dasar kolam. Air tersebut berasal dari Gunung Penanggungan.
Terdapat pahatan angka tahun 899 saka atau 977 masehi pada dinding belakang sisi kanan Petirtaan Jolotundo. Pahatan Gempeng pada sisi kiri dinding yang sama. Sedangkan pada bilik utama terdapat pahatan Mregawati dan Udayana, tokoh kisah Raja Sahasranika dalam kitab sastra kuno India.
Petirtaan Jolotundo dibangun pada masa Ratu Sri Isyana Tunggawijaya, Putri Raja Medang Kamulan atau Mataram Kuno, Mpu Sindok. Istri Sri Lokapala itu memimpin sejak tahun 947 masehi. Sejarah Petirtaan Jolotundo juga berkaitan dengan Prasasti Cunggrang di lereng timur laut Gunung Penanggungan, Desa Bulusari, Gempol, Pasuruan.
Prasasti yang dibuat Mpu Sindok tahun 851 saka atau 929 masehi ini menyebut Pawitra. Yaitu tempat para resi atau petapa atau orang suci melakukan ritual pemujaan. Prasasti tersebut menegaskan Gunung Penanggungan kawasan para resi. Petirtaan Jolotundo terus digunakan dari zaman Mataram Kuno sampai Majapahit.
Pada zaman kerajaan, Petirtaan Jolotubdo menjadi bangunan suci tempat pemujaan terhadap Dewa Wisnu. Konsep yang biasa melekat yaitu pencarian air suci Samudra Mantana. Jika dikaitkan dengan Petirtaan Sumber Tetek dan kawasan Pawitra di Gunung Penanggungan, Jolotundo menjadi tempat menyucikan diri setelah ritual pemujaan.
(prf/ega)