Detik-detik Temuan Sumur Jobong yang Menguak Peradaban Tertua Surabaya

Detik-detik Temuan Sumur Jobong yang Menguak Peradaban Tertua Surabaya

Nanda Syafira, Meilisa Dwi Ervinda, Izzah Putri Jurianto - detikJatim
Minggu, 09 Jul 2023 19:12 WIB
Proses penemuan Sumur Jobong di Jalan Pandean Gang I pada 2018.
Foto Dokumen saat Sumur Jobong ditemukan di Jalan Pandean Gang I, Surabaya. (Foto: Istimewa/dok. Ida Armawati, warga Peneleh)
Surabaya -

Akhir Oktober 2018 menjadi waktu krusial bagi warga kampung Jalan Pandean Gang I, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya. Sebuah sumur dari era yang berbeda ditemukan di bawah kampung itu.

Kampung Pandean Gang I menjadi bagian dari Kelurahan Peneleh yang memiliki 16 RW dan 77 RT dengan total penduduk 14.111 jiwa dengan 5.254 kepala keluarga. Temuan sumur itu berada di RT 01, RW 13.

"Sumur Jobong ini ditemukan Rabu Wage, 31 Oktober 2018, pukul 18.20 setelah salat Maghrib," tutur Agus, juru kunci yang juga berperan sebagai Humas RW 13 kepada detikJatim, Rabu (5/7/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Agus menyaksikan sendiri bagaimana sumur itu ditemukan. Mulanya, kata Agus, Kampung Peneleh sedang melakukan renovasi gorong-gorong di sisi timur kampung yang seringkali menyebabkan banjir.

Menurut Agus, dahulu saluran air itu memang cukup sempit dan dangkal dengan kedalaman hanya 40 cm dan lebar hanya 6 cm. Para pengurus kelurahan berinisiatif mengajukan permohonan renovasi dan disetujui pemerintah kota Surabaya.

ADVERTISEMENT

Pada 31 Oktober 2018, proses penggalian sebagai tahap awal renovasi saluran air dimulai. Para penggali yang didatangkan dari Mojokerto antara lain Gandhi, Kun, dan beberapa lainnya yang namanya tidak disebutkan.

Di tengah-tengah penggalian itu tiba-tiba sekop milik pekerja bernama Gandhi membentur benda keras. Dengan refleks, Agus yang waktu itu ditunjuk sebagai pengawas proyek berusaha menghentikan penggalian.

"Apa itu pak Gandhi? Setop, setop. Kok ini ada bata berjajar-jajar. Coba dilihat dulu bawahnya ada apa," kata Agus.

Para pekerja pun dengan hati-hati menaikkan patahan bata besar yang berada di atas tumpukan tanah liat. Bata itu setebal kurang lebih 8 cm dengan panjang 35 cm dan lebar 20-25 cm. Anehnya, susunan bata ini sangat rapi, tidak berantakan seperti patahan bata pada umumnya.

Setelah semua bata berhasil disingkirkan dari tanah liat, baru kemudian tampak sebagian bibir sumur yang terlihat seperti bulan sabit. Penggalian terus dilakukan dengan mengeruk tanah yang ada di dalam sumur hingga membentuk cincin utuh.

Setelah digali dengan kedalaman 20 cm, Pak Agus kembali memberikan instruksi untuk menghentikan penggalian.

"Pak Gandhi, ini jangan dikepruk dulu, ya. Saya mau lapor ke RW, Bu Farida, takutnya nanti ada kesalahan," kata Agus seraya bergegas menemui ketua RW 13 di Kampung Pandean.

Bersamaan dengan Sumur Jobong yang makin terlihat ditemukan pula sejumlah tulang-belulang yang tercecer di sekitar bibir sumur. Awalnya, para pekerja mengira itu perunggu, karena warnanya yang cokelat kehitaman. Barulah setelah dicuci, terlihat wujud tulang-tulangnya.

Mendengar kabar soal penemuan sumur dan tulang yang disampaikan oleh Agus, Farida selaku Ketua RW mendatangi lokasi renovasi saluran air. Ia memotret sumur yang sudah digali sebagian lalu mengirimnya kepada Khusnul Amin, lurah setempat.

Akhirnya, proses penggalian dihentikan untuk sementara pada hari itu. Keesokan harinya, 1 November 2018, Khusnul Amin menghubungi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota serta para ahli sejarah.

Ketegangan antara peneliti dan warga. Baca di halaman selanjutnya.

Pemerintah Kota Surabaya kemudian sepakat untuk memanggil sekitar 3 hingga 4 peneliti dari Trowulan Mojokerto. Mereka yang datang ke lokasi menyebutkan bahwa sumur itu adalah jenis Sumur Jobong yang mirip dengan yang banyak ditemukan di Trowulan dan Jombang, yang berasal dari era Majapahit.

Tidak hanya arkeolog dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) IX Jatim yang datang. Sejumlah peneliti dari Fakultas Ilmu Budaya Unair juga datang ke sana untuk melakukan peninjauan dan penelitian awal. Salah satunya adalah Adrian Perkasa.

Adrian yang merupakan Dosen sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga menceritakan bahwa temuan sumur itu sempat memunculkan ketegangan antara warga dengan sejarawan dan arkeolog yang datang.

Dia mengakui ada sedikit konflik yang dilandasi perbedaan pendapat antara warga dengan para peneliti saat itu. Warga ingin agar proyek saluran air itu tetap jalan, sedangkan para peneliti ingin proyek itu dihentikan sementara.

"Supaya tidak berlarut-larut, saya mengusulkan untuk menjabarkan duduk perkaranya secara objektif supaya penelitian Sumur Jobong dan pembangunan saluran air itu bisa tetap jalan," kata Adrian kepada detikJatim, Senin (5/7/2023).

"Saat itu saya menyampaikan sedikit saran, bagaimana jika proyek saluran airnya dibelokkan. Contohnya seperti di gang 7, yang lokasinya dekat dengan rumah HOS Cokroaminoto," ujarnya.

Lantaran keduanya sama-sama tinggi urgensinya, Adrian berkata bahwa meski perlindungan terhadap sumur yang baru saja ditemukan itu penting, jangan sampai penelitian itu mengganggu proyek saluran air warga.

Setelah berselisih pendapat, Adrian menyebutkan akhirnya konflik itu bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Penelitian terhadap sumur Jobong bisa berjalan dan proyek saluran air pun hasilnya tidak sampai melenceng dari yang diharapkan.

"Pada intinya, yang terpenting adalah sumur Jobong ini masih tetap ada di lokasi asalnya, karena sumur itu adalah bukti utama yang mendukung hipotesis bahwa Kampung Peneleh dulunya merupakan situs Kerajaan Majapahit," tandasnya.

Seperti disebutkan oleh Adrian, para peneliti menganggap bahwa temuan Sumur Jobong di Kampung Pandean sebagai artefak peninggalan Kerajaan Majapahit memang membuktikan sesuatu.

Setelah itu, semuanya berjalan dengan begitu cepat. Tulang-tulang yang ditemukan di sekitar sumur diteliti Tim Cagar Budaya dari Universitas Airlangga dengan dikirim ke Australian National University untuk dilakukan uji karbon.

Begitulah, hasil uji karbon terhadap tulang itu menunjukkan fakta baru tentang Kampung Pandean dan Perkampungan Peneleh secara umum. Uji karbon terhadap salah satu fragmen tulang manusia itu menunjuk pada rentang tahun 1430-1608 Masehi.

Baik Sumur Jobong dan tulang dengan hasil uji karbon yang menunjukkan ketuaannya menyiratkan bahwa Kampung Pandean, atau Perkampungan Peneleh secara umum, diduga kuat sudah ada sejak era Kerajaan Majapahit.

Bahkan, ada pihak yang menduga bahwa perkampungan itu merupakan kampung tertua yang menjadi cikal bakal Surabaya yang disebutkan dalam Prasasti Canggu atau Trowulan I. Peneleh sekarang diduga adalah Desa Churabaya yang menjadi satu di antara Praditra Nadeca yang dicatat Raja Hayam Wuruk, serta menjadi cikal bakal nama 'Kota Surabaya'.

Halaman 2 dari 2
(dpe/dte)


Hide Ads