Asal-usul dan Makna Tradisi Halalbihalal di Indonesia

Asal-usul dan Makna Tradisi Halalbihalal di Indonesia

Nanda Syafira - detikJatim
Rabu, 26 Apr 2023 18:16 WIB
Halalbihalal merupakan tradisi di Indonesia yang dilakukan dengan bermaaf-maafan pada momentum Lebaran. Lalu, bagaimana sejarah halalbihalal di Indonesia?
Ilustrasi halalbihalal/Foto: iStock
Surabaya -

Halalbihalal merupakan suatu tradisi yang dijalani oleh masyarakat Indonesia. Tradisi ini merupakan bentuk silahturahmi yang dilakukan pada masa Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri.

Kegiatan ini dilakukan dengan saling bermaaf-maafan dan bersalaman ini dilakukan dengan bersilaturahmi ke tetangga, saudara, serta kerabat.

Asal-usul Tradisi Halalbihalal

Halal bihalal dalam KBBI memiliki arti maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, yang biasanya dilakukan di suatu tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang yang merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Prof Quraish Shihab dalam karyanya 'Membumikan Al-Qur'an' (1999), menyebut halal bihalal bermakna menyambung sesuatu yang tadinya putus menjadi terikat kembali (silaturahim).

Dalam bahasa Arab, halalbihalal berasal dari kata 'Halla' atau 'Halala' yang memiliki arti berbeda tergantung konteksnya, yakni menyelesaikan permasalahan, meluruskan benang kusut (halal al-habi), mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu.

ADVERTISEMENT

Meski berbahasa Arab, namun tradisi ini bukan berasal dari Arab. Hanya saja, anjuran untuk melakukan silahturahmi ini tertulis dalam suatu riwayat hadist sebagaimana yang dilansir dari NU Online,

من كان يؤمِنُ باللهِ واليَومِ الآخِرِ فلْيُكْرِمْ ضَيفَه، ومَن كان يؤمِنُ بِاللهِ واليَومِ الآخِرِ فلْيَصِلْ رَحِمَه، ومن كان يؤمِنُ باللهِ واليَومِ الآخِرِ فلْيَقُلْ خَيرًا أو لِيَصمُتْ

Artinya: "Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Muhammad SAW, ia bersabda, 'Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menjaga hubungan baik silaturahim dengan kerabatnya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam," (HR Bukhari dan Muslim).

Selain itu, terdapat juga hadits:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

Artinya: "Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah." (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Dalam kamus Jawa-Belanda karya Dr. Th. Pigeaud pada tahun 1938, terdapat kata 'halal behalal' yang diartikan dengan 'salam (datang, pergi) untuk (saling memaafkan di waktu Lebaran)'.

Sedangkan dilansir dari laman resmi DITSMP Kemendikbud, disebutkan bahwa istilah tersebut berasal dari seorang pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari Solo sekitar tahun 1935-1936. Martabak yang kala itu merupakan makanan yang baru bagi masyarakat Indonesia dipromosikan oleh pedagangnya yang dengan kalimat "martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal".

Sejak saat itu lah kata halal behalal mulai populer di masyarakat Solo. Masyarakat menggunakan kata ini sebagai sebutan untuk pergi ke Sriwedari di hari Lebaran atau silahturahmi di hari Lebaran. Kemudian, kegiatan ini berkembang menjadi acara silahturahmi saling bermaafan saat Lebaran.

Tradisi ini juga diperkenalkan oleh seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama, K.H. Abdul Wahab Hasbullah kepada Soekarno sebagai bentuk silahturahmi antarpemimpin politik pada masa itu. Atas saran K.H. Abdul Wahab Hasbullah, kemudian di Hari Raya Idul Fitri 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk bersilahturahmi di Istana Negara dengan judul 'Halalbihalal'.

Semenjak saat itu, berbagai instansi pemerintahan di era Soekarno menggelar halalbihalal dan berkembang luas di masyarakat hingga menjadi suatu tradisi tahunan di masyarakat Indonesia, utamanya di kalangan masyarakat muslim Jawa.

Selain itu, terdapat tradisi serupa yang diyakini telah ada sejak masa Mangkunegara I atau yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa. Pada saat itu, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah salat Idul Fitri.

Pada pertemuan itu, diadakan tradisi sungkem atau saling memaafkan kepada raja dan permaisuri. Kegiatan ini kemudian yang mengilhami organisasi-organisasi Islam untuk menggelar tradisi serupa dengan istilah halalbihalal.

Makna Tradisi Halalbihalal

KH Abdul Muiz Ali sebagaimana dilansir dari laman resmi mui.or.id menyebut, esensi dari halalbihalal ialah jika orang berpuasa, maka Allah SWT memaafkan kesalahan dan dosa-dosanya. Maka, kesalahan dan dosa kepada Allah SWT (haqqullah) dapat diampuni jika seorang hamba memperbanyak istigfar dan amalan ibadah.

Namun, jika melakukan kesalahan kepada sesama manusia (haqqu al-adami), maka Allah SWT mengampuninya jika diantara sesama manusia tersebut telah saling memaafkan. Maka dari itu, di sini lah letak esensi dari dilakukannya tradisi halal bi halal.

Tradisi saling memaafkan ini sejatinya dapat dilakukan kapan saja, termasuk saat momentum pasca Hari raya Idul Fitri.

Dikutip dari situs BAKORWIL Bojonegoro, Pakar Budaya Universitas Airlangga (Unair) Puji Karyanto SS MHum menyebut, secara kebudayaan Indonesia, halalbihalal merupakan turunan dari bentuk silahturahmi.

"Kalau kita lihat secara umum ini memang khas kita, kan sama dengan tradisi mudik itu juga khas kita," ungkapnya sesuai rilis dari Dinas Kominfo Provinsi Jawa Timur.

Puji menjabarkan, halalbihalal merupakan ekspresi rasa guyub rukun antar kerabat yang dipertemukan pada momen Lebaran. Ia menyebut, pada awalnya halalbihalal merupakan suatu tradisi keluarga di masyarakat Indonesia, yang kemudian menjadi suatu tradisi formal di suatu instansi.




(hil/fat)


Hide Ads