Melihat Dam Candi Limo, Waduk Belanda Bersimbol Dewa Kala di Mojokerto

Urban Legend

Melihat Dam Candi Limo, Waduk Belanda Bersimbol Dewa Kala di Mojokerto

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Rabu, 22 Feb 2023 13:39 WIB
Melihat Dam Candi Limo, Waduk Belanda Bersimbol Dewa Kala di Mojokerto
Dam Candi Limo di Mojokerto (Foto: Enggran Eko Budianto)
Mojokerto -

Dam atau pintu air menjadi infrastruktur vital untuk pertanian sejak zaman dulu kala. Begitu pula dengan Dam Candi Limo di Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Dam yang mempunyai simbol Dewa Kala ini direvitalisasi Belanda tahun 1910 untuk Pabrik Gula Dinoyo.

Secara administratif, Pintu Air Candi Limo terletak di Dusun Jetis, Desa Sumberagung, Kecamatan Jatirejo. Namun, dam ini lebih dekat dengan permukaan penduduk Dusun Jatiombo, Desa Baureno, Kecamatan Jatirejo.

Dam Candi Limo mempunyai arca Dewa Kala atau Batara Kala pada dinding sisi baratnya. Persis di atas arca Dewa Kala terdapat pahatan nama Tjadi Lima dan angka tahun 1910.
Ya, pintu air bersejarah ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit, kemudian direvitalisasi kolonial Belanda pada tahun tersebut. Keberadaannya tak lepas dari industri gula di Kabupaten Mojokerto pada masa itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Revitalisasi Dam Candi Limo tahun 1910. Biaya yang dihabiskan berkisar angka 60.000 gulden. Setelah selesai pengerjaannya lalu diresmikan pada tanggal 31 Agustus dengan perayaan meriah," kata Penulis Sejarah Mojokerto, Ayuhanafiq kepada detikJatim, Rabu (22/2/2023).

dam candi limoDam Candi Limo (Foto: Enggran Eko Budianto)

Pemerintah Kolonial Belanda sempat menerapkan sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel tahun 1830-1870. Sistem tersebut digagas Van den Bosch yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Hindia Belanda di Jawa oleh Raja Willem.

ADVERTISEMENT

Pasca Cultuurstelsel, Penjajah Belanda melakukan industrialisasi gula di Jawa untuk diekspor ke berbagai negara. Karena gula menjadi primadona pada masa itu. Agar industrialisasi berjalan, mereka mengundang para investor. Salah satunya Gerard Joachimus (GJ) Eschauzier, taipan asal Belanda.

Perusahaan NV Eschauzier Concern salah satunya melirik Mojokerto untuk bisnis industri gula. Karena kabupaten ini banyak mempunyai sungai yang sangat dibutuhkan untuk pabrik gula. Perusahaan asal Den Haag, Belanda tersebut setidaknya mempunyai 10 pabrik gula di Bumi Majapahit. Salah satunya Suiker Fabriek (SF) atau Pabrik Gula (PG) Dinoyo di Desa Dinoyo, Kecamatan Jatirejo yang berdiri tahun 1882.

"SF Dinoyo yang mampu menghasilkan gula 958 ribu pikul dari lahan seluas 795 bau," terang Ayuhanafiq.

Luas sawah yang ditanami tebu untuk PG Dinoyo pada masa itu sekitar 568 hektare. Karena 1 bau atau bouw sama dengan 7.140 meter persegi. Sedangkan 1 pikul sama dengan 60,479 Kg. Sehingga kapasitas produksi PG Dinoyo kala itu sekitar 57.939 ton gula.

Eschauzier Concern mendapatkan hak konsesi 568 hektare sawah untuk ditanami tebu tidak secara cuma-cuma. Menurut Ayuhanafiq, perusahaan ini harus membangun infrastruktur irigasi. Karena tanaman tebu membutuhkan pengairan yang baik. Sehingga Eschauzier merevitalisasi Dam Tjandi Lima dan Dam Pehngaron di Dusun Pengaron, Desa Mojogeneng, Kecamatan Jatirejo.

"Dam Candi Limo dan Pehngaron sama-sama dibangun PG Dinoyo. Dam Candi Limo di Sungai Landaian, sedangkan Dam Pehngaron di Sungai Pikatan. Kedua sungai itu membentuk Sungai Brangkal yang berujung di Sungai Brantas," jelasnya.

Dam Candi Limo membendung Sungai Landaian agar permukaan airnya tinggi. Selanjutnya air sungai dialirkan ke perkebunan tebu yang pada masa itu dikuasai PG Dinoyo. Yang membuat dam ini unik adalah arca Dewa Kala pada dinding sisi baratnya. Dalam ajaran Hindu, Kala adalah putra Dewa Siwa yang mempunyai wujud seram dengan taring panjang. Batara Kala merupakan dewa penguasa waktu.

"Kala itu kan dewa penjaga waktu. Jelas itu sebagai penghormatan bagi mereka yang dianggap suci yang dimuliakan oleh masyarakat sekitar. Pembangunan dam itu pastinya masyarakat dilibatkan. Mereka juga akan diajak bicara. Mungkin salah satu usulan masyarakat pembuatan kepala Kala itu sebagai lanjutan tradisi yang lama," tandas Ayuhanafiq.

Dam Candi Limo Kini Mengairi 1.515 Hektare Sawah di Mojokerto

dam candi limo Dam Candi Limo yang mengairi kebun tebu pabrik gula Dinoyo (Foto: Enggran Eko Budianto)
Dam Candi Limo di Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto direvitalisasi pada masa kolonial Belanda tahun 1910. Pada masa itu, pintu air ini untuk mengairi ratusan hektare sawah yang ditanami tebu untuk Pabrik Gula (PG) Dinoyo. Setelah 113 tahun berlalu, dam bersimbol Dewa Kala ini masih berdiri kokoh dan berfungsi mengairi 1.515 hektare lahan pertanian.

Dam Candi Limo hampir sepenuhnya masih utuh. Pada dinding baratnya terdapat arca Dewa Kala, yakni sang penguasa waktu putra Dewa Siwa. Persis di atas arca ini terukir nama Tjandi Lima dan angka tahun 1910. Sisi kanan dan kirinya terdapat tangga beton yang masing-masing tersusun dari 11 anak tangga.

Ketika menuruni tangga, kita akan bisa melihat lebih jelas arca Kala maupun 3 pintu air yang berbentuk lingkaran. Di bagian atasnya terdapat 3 roda untuk mengatur pintu air secara manual. Semuanya nampak dipelihara dengan baik. Di sebelah utaranya juga terdapat roda pengatur satu pintu air di sungai besar.

Sedangkan di sungai besar persis di sebelah timur Dam Candi Limo, terdapat bendungan permanen yang juga besar. Infrastruktur irigasi kuno ini terletak di tengah persawahan. Secara administratif, Dam Candi Limo masuk Dusun Jetis, Desa Sumberagung, Kecamatan Jatirejo. Namun, pintu air ini lebih dekat dengan permukaan penduduk di Dusun Jatiombo, Desa Baureno, Kecamatan Jatirejo.

Kepala UPTD Pengelolaan Jalan dan Sumber Daya Air Wilayah Sumengko Dinas PUPR Kabupaten Mojokerto, Shofi'i mengatakan Dam Candi Limo membendung Sungai Landean yang arusnya deras. Pintu air yang direvitalisasi penjajah Belanda 113 tahun silam ini masih berfungsi dengan baik hingga kini.

dam candi limoDewa Kalan di Dam Candi Limo (Foto: Enggran Eko Budianto)

"Dam Candi Limo mengairi baku sawah 1.515 hektare di wilayah Kecamatan Jatirejo, Trowulan dan Sooko," kata Shofi'i kepada wartawan di kantornya, Jalan Pangeran Diponegoro, Desa Dinoyo, Kecamatan Jatirejo, Rabu (22/2/2023).

Ia menjelaskan bendungan permanen di sebelah timur Dam Candi Limo berfungsi meningkatkan ketinggian air Sungai Landean. Bendungan tetap ini dilengkapi 1 pintu air untuk menggelontor debit Sungai Landean jika dirasa terlalu tinggi.

Naiknya ketinggian Sungai Landean membuat air bisa dialirkan ke arah barat melalui Dam Candi Limo. Artinya, arus sungai yang awalnya dari selatan ke utara, menjadi berbelok ke kiri menuju ke kanal dengan lebar sekitar 2,5 meter setelah melalui Dam Candi Limo. Jika ditelusuri, kanal dari Dam Candi Limo mengarah ke barat, lalu berbelok ke utara.

Air dari kanal ini kemudian dibagi ke banyak saluran irigasi. Sehingga bisa mengairi ribuan hektare lahan pertanian di Kecamatan Jatirejo, Trowulan dan sebagian Sooko. Ratusan hektare sawah di wilayah tersebut mayoritas ditanami padi, palawija dan tebu.

"Candi Limo itu terdiri dari 4 kejuron, setiap kejuron butuh 4-5 orang petugas yang mengendalikan. Aliran airnya keluar di Sungai Ngotok di Desa Balongwono (Kecamatan Trowulan)," jelas Shofi'i.

Menurut Shofi'i, Dam Candi Limo sejatinya menjadi kewenangan Dinas PU Sumber Daya Air Pemprov Jatim. Namun, hingga kini operatornya adalah orang-orang dari Dinas PUPR Kabupaten Mojokerto.

"Dam Candi Limo menjadi kewenangan Pemprov Jatim. Sementara sekarang dari kabupaten, cuma membantu. Kalau sudah pensiun semua, otomatis tidak ada pekerjanya," ungkapnya.

Pada masa penjajahan Belanda, Dam Tjandi Lima dibangun untuk mengairi ratusan hektare kebun tebu yang dikelola PG Dinoyo. Pintu air bersimbol Dewa Kala ini dibangun Perusahaan NV Eschauzier Concern asal Den Haag, Belanda tahun 1910. Perusahaan milik Gerard Joachimus (GJ) Eschauzier inilah yang mengoperasikan Suiker Fabriek (PG) Dinoyo pada masa itu.

Penulis Sejarah Mojokerto Ayuhanafiq menjelaskan Dam Candi Limo dan Dam Pehngaron di Dusun Pengaron, Desa Mojogeneng, Kecamatan Jatirejo sama-sama untuk mengairi perkebunan tebu yang dikelola PG Dinoyo. Jika Candi Limo direvitalisasi Eschauzier Concern tahun 1910, Pehngaron direvitalisasi perusahaan yang sama tahun 1911.

Dam Candi Limo untuk membendung dan membagi air Sungai Landean yang hulunya di Gunung Arjuno. Sedangkan Dam Pehngaron membendung dan membagi air dari Sungai Pikatan yang hulunya di Gunung Welirang. Kedua pintu air itu direvitalisasi atas perintah pemerintah kolonial Belanda. Karena Eschauzier Concern mendapatkan hak konsesi lahan sekitar 568 hektare untuk ditanami tebu.

"Sungai Pikatan bersama Sungai Landean kemudian membentuk Sungai Brangkal yang berujung di Sungai Brantas," tandasnya.

Dam Candi Limo Ternyata Peninggalan Kerajaan Majapahit

dam candi limo Dewa Kala di Dam Candi Limo (Foto: Enggran Eko Budianto)
Dam Candi Limo di Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto ternyata peninggalan Kerajaan Majapahit. Pintu air bersimbol Dewa Kala ini direvitalisasi Belanda tahun 1910 untuk mengairi perkebunan tebu yang dikelola pabrik gula (PG) Dinoyo. Manfaatnya dirasakan masyarakat hingga kini untuk mengairi 1.515 hektare lahan pertanian.

"Keberadaan Dam Tjandi Lima ternyata sudah ada sejak zaman Majapahìt. Pada masa itu, bendungan tersebut dinamakan Bendungan Baureno karena terletak di perbatasan Desa Baureno dengan Desa Dinoyo," kata Penulis Sejarah Mojokerto, Ayuhanafiq kepada detikJatim, Rabu (22/2/2023).

Kerajaan Majapahit, lanjut Ayuhanafiq mempunyai tata kelola air yang memadai. Baik untuk irigasi maupun pengendalian banjir di Kota Raja yang terletak di Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Mereka membangun bendungan, waduk hingga jaringan kanal. Antara lain Dam atau Waduk Baureno, Waduk Kumitir, Waduk Penewon dan Waduk Kraton.

Sungai Landean dan Pikatan di Kecamatan Jatirejo menjadi salah satu sumber air untuk Kota Raja Majapahit. Karena arusnya yang deras, debit air kedua sungai tersebut dikendalikan dengan dam, bendungan dan sejenisnya.

dam candi limoDam Candi Limo (Foto: Enggran Eko Budianto)

"Dengan demikian tidak pernah terjadi kekeringan di ibu kota Majapahit meski kemarau. Karena Sungai Pikatan dan Landean tidak pernah kering sepanjang tahun," terangnya.

Ayuhanafiq meyakini Bendungan Baureno terbuat dari bata merah pada zaman Majapahit. Bendungan ini menjadi objek vital sehingga ditetapkan sebagai sima atau tanah bebas pajak oleh sang raja. Sehingga masyarakat memeliharanya dengan baik.

Namun, ketika Majapahit runtuh, Bendungan Baureno menjadi terbengkalai. Tidak ada lagi masyarakat yang merawatnya. Konstruksinya yang hanya bata merah, lambat laun rusak tergerus derasnya Sungai Landean.

"Masyarakat di sekitar dam mungkin masih menyimpan artefak-artefak batu bata dari dam. Termasuk adanya kepala raksasa atau kita sebut Batara Kala masih ada yang bisa ditemukan di sekitar situ. Salah satunya masih diletakkan di sekitar Pasar Dinoyo," jelasnya.

Revitalisasi terhadap Bendungan Baureno dikerjakan ketika Belanda melakukan industrialisasi gula. Pemerintah kolonial memerintahkan NV Eschauzier Concern, perusahaan asal Den Haag, Belanda merevitalisasi pintu air kuno itu tahun 1910. Perusahaan milik Gerard Joachimus (GJ) Eschauzier inilah yang mengoperasikan Suiker Fabriek (PG) Dinoyo di Kecamatan Jatirejo kala itu.

Saat diresmikan 31 Agustus 1910, Dam Baureno diberi nama Tjandi Lima. Belanda mempertahankan kearifan lokal dengan memasang arca Dewa Kala pada dinding baratnya. Menurut Ayuhanafiq, Dewa Kala dipercaya sebagai penjaga keselamatan.

"Jelas itu sebagai penghormatan bagi mereka yang dianggap suci yang dimuliakan oleh masyarakat sekitar. Pembangunan dam itu pastinya masyarakat dilibatkan, mereka juga akan diajak bicara. Mungkin salah satu usulan masyarakat pembuatan kepala Kala itu sebagai lanjutan tradisi yang lama," cetusnya.

Setahun kemudian, NV Eschauzier Concern juga merevitalisasi Dam Pehngaron di Dusun Pengaron, Desa Mojogeneng, Kecamatan Jatirejo untuk mengatur air Sungai Pikatan. Revitalisasi kedua dam dikerjakan perusahaan tersebut sebagai kompensasi atas hak konsesi ratusan hektare lahan untuk ditanami tebu. Kedua pintu air tersebut juga menjadi sarana irigasi sekitar 568 hektare kebun tebu yang dikelola PG Dinoyo pada masa itu.

Nama Dam Candi Limo dikait-kaitkan dengan Dusun Candi, Desa Dinoyo di sebelah utaranya. Simbol Dewa Kala di dam ini menjadi benang merahnya. Karena terdapat simbol serupa di beberapa gapura Desa Dinoyo. Meskipun pintu air kuno itu lebih dekat dengan Dusun Jatiombo, Desa Baureno. Secara administratif, Tjandi Lima masuk Dusun Jetis, Desa Sumberagung.

"Kan lokasi dam di Dusun Candi, di situ ada lima arca Kepala Buto (Dewa Kala). Sehingga dinamakan Candi Limo. Satu di intake atau di dam, 2 di sebelah Bank BRI, 2 lainnya di gang masuk pondok," ujar Kepala UPTD Pengelolaan Jalan dan Sumber Daya Air Wilayah Sumengko Dinas PUPR Kabupaten Mojokerto, Shofi'i.

Arkeolog Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jatim Vidi Susanto nama Candi Limo tersurat di Naskah Negarakertagama pupuh XVII dan pupuh pupuh LXXVI. Naskah kuno ini ditulis Mpu Prapanca pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang berkuasa di Majapahit 1350-1389 masehi.

Pupuh XVII berbunyi "Tiap bulan sehabis musim hujan beliau (Hayam Wuruk) biasa pesiar keliling Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan. Girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan Candi Lima".

Sedangkan pupuh LXXVI "Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak: biara relung Kunci, Kapulungan Roma, Wwatan, Iswaragreha, Palabdi, Tanjung, Kutalamba, begitu pula Taruna Parhyangan, Kuti Jati, Candi Lima, Nilakusuma, Harimandana, Uttamasuka, Prasada-haji, Sadang. Panggumpulan, Katisanggraha, begitu pula Jayasika".

Vidi menduga terdapat bangunan suci berupa candi di wilayah Candi Limo pada masa Majapahit. Sehingga kala itu, Candi Limo raja menetapkan Candi Limo sebagai desa perdikan Siwa yang bebas pajak. Lazimnya, hasil pajak untuk merawat candi tersebut. Candi Limo lantas diadopsi Belanda untuk menamai pintu air yang berdiri kokoh sampai sekarang.

"Harusnya ada candi sebab di pupuh bawahnya ada kata sima tanpa candi dan disebutkan macam-macamnya. Kala yang ditempel di Dam Candi Limo itu sudah menjadi pertanda adanya bekas candi, di makam dekat situ infonya juga ada bekas permukiman era Majapahit," tandasnya.

Dam Candi Limo Saksi Bisu Industri Gula Mojokerto yang Sengsarakan Rakyat

dam candi limo Dam Candi Limo buatan Belanda (Foto: Enggran Eko Budianto)
Dam Candi Limo di Kecamatan Jatirejo menjadi salah satu saksi bisu pesatnya industri gula di Mojokerto pada masa kolonial Belanda. Namun, di balik besarnya produksi gula di Bumi Majapahit, banyak penderitaan yang dirasakan rakyat kala itu.

Penulis Sejarah Mojokerto Ayuhanafiq mengatakan terdapat 14 pabrik gula (PG) di Mojokerto sejak Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) tahun 1830-1870 sampai mereka terbuka dengan investor. Dari jumlah itu, 7 PG atau suiker fabriek (SF) milik Gerard Joachimus (GJ) Eschauzier, taipan asal Belanda.

Melalui perusahaannya, NV Eschauzier Concern yang bermarkas di Den Haag, Belanda, GJ Eschauzier mengelola 7 PG sekaligus. Yaitu SF Sentanen Lor yang dibangun tahun 1834, SF Bangsal tahun 1838, SF Gempolkrep tahun 1845, SF Brangkal tahun 1866, SF Ketanen sebelum tahun 1880an, SF Dinoyo tahun 1882, serta SF Pohjejer tahun 1891.

Sedangkan PG lainnya adalah SF Perning di Kecamatan Jetis SF Jabung di Jatirejo milik pengusaha asal Jerman, Von Bultzingtowen. Namun, PG Jabung tutup tahun 1899 karena rasio tebu yang diolah tak sebanding dengan gula yang dihasilkan. Sehingga PG itu dinilai tidak efisien.

dam candi limoDam Candi Limo (Foto: Enggran Eko Budianto)

Juga SF Koning William II di Mojosari yang dibangun Van Dalden, SF Tangoenan di Kecamatan Puri, SF Sedati di Kecamatan Ngoro, SF Ketanen di Kutorejo, serta SF Sumengko di Kecamatan Jatirejo yang dibangun pengusaha Tiongkok, keluarga Tan. PG yang disebut terakhir dijual kepada kongsi dagang Jepang ketika krisis ekonomi tahun 1920an.

"Kemungkinan pada awalnya pengusaha China lebih dulu membuat beberapa pabrik di Mojokerto yang kemudian diakuisisi oleh pengusaha Eropa," terang Ayuhanafiq dalam tulisannya yang dikutip detikJatim, Rabu (22/2/2023).

Banyak faktor yang membuat investor China maupun Eropa membangun industri gula di Mojokerto. Salah satunya Bumi Majapahit itu dekat dengan pelabuhan di Surabaya. Wilayahnya juga mempunyai beberapa sungai besar yang mampu memenuhi kebutuhan industri gula.

Menurut Ayuhanafiq, pada masa itu, PG membutuhkan suplai air yang besar untuk mengisi ketel uap. Sehingga mesin pabrik bisa terus bergerak dengan tenaga uap. Limbah produksi gula pasir juga bisa dibuang begitu saja ke sungai. Tidak hanya itu, sungai juga untuk mengairi perkebunan tebu masing-masing PG.

Seperti yang terjadi di PG Dinoyo. NV Eschauzier Concern merevitalisasi Dam Candi Limo di Dusun Jetis, Desa Sumberagung, Jatirejo tahun 1910. Pintu air bersimbol Dewa Kala itu mengalirkan sebagian Sungai Landean untuk mengairi perkebunan tebu di sekitar pabrik gula tersebut.

Setahun kemudian, NV Eschauzier Concern juga merevitalisasi Dam Pehngaron di Dusun Pengaron, Desa Mojogeneng, Kecamatan Jatirejo untuk mengatur air Sungai Pikatan. Kedua pintu air tersebut menjadi sarana irigasi sekitar 568 hektare kebun tebu yang dikelola PG Dinoyo pada masa itu. Pabrik ini mampu menghasilkan sekitar 57.939 ton gula.

"Industri gula Jawa menjadi eksportir gula terbesar dunia bersaing dengan Kuba. Oleh banyak orang, Jawa dijuluki Suikerlandia, tanah penghasil gula. Di antara penghasil gula terbesar di Jawa adalah Mojokerto," jelasnya.

Ayuhanafiq menjelaskan, kala itu masing-masing PG menyewa sawah pribumi secara paksa. Luas sawah yang mereka sewa ditentukan pemerintah penjajah Belanda sesuai kapasitas produksi. Para investor memanfaatkan birokrat tingkat desa sebagai makelar dengan imbalan 2,5 gulden per bau atau per 7.140 meter persegi.

Imbalan untuk kepala desa dipotongkan dari biaya sewa kepada pemilik sawah yang nilainya 30-35 gulden per bau untuk satu kali musim tanam 1,5 tahun. Manajemen pabrik juga memberi komisi secara langsung kepada bupati. Tak ayal para kepala desa menggunakan segala cara agar warganya merelakan sawah mereka disewa pabrik gula.

Para birokrat zaman itu, lanjut Ayuhanafiq, juga menerima komisi ketika masa panen tebu. Sehingga kebun tebu dijaga para perangkat desa. Sedangkan pribumi dipaksa bekerja dengan upah rendah. Ditambah lagi kepala desa memotong pajak yang tinggi dari upah mereka.

"Setelah dipotong komisi buat lurah, uang sewa itu juga diambil langsung buat bayar pajak tanah dan pajak kepala. Sisanya untuk makan selama tanahnya dalam masa sewa. Tentu saja tidak mencukupi," terangnya.

Penderitaan rakyat kala itu tak sampai di situ saja. Menurut Ayuhanafiq, produksi pangan anjlok seiring banyaknya sawah yang dikuasai PG. Sehingga banyak anak menderita busung lapar dan mudah terserang penyakit. Salah satunya kolera yang mewabah hingga disebut Pagebluk atau serangan makhluk halus yang mematikan.

Industri gula mulai surut ketika krisis ekonomi menerjang tahun 1930. Sebagian PG di Mojokerto dialihkan untuk industri lain. Faktor lainnya adalah karena penjajahan Jepang dan penjarahan pada masa kemerdekaan Republik Indonesia. Sampai akhirnya hanya PG Gempolkrep yang bertahan hingga kini.

Halaman 2 dari 4
(sun/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads