Tari Gandrung dan Sejarahnya Jadi Sarana Intelijen Lawan Penjajahan Belanda

Urban Legend

Tari Gandrung dan Sejarahnya Jadi Sarana Intelijen Lawan Penjajahan Belanda

Ardian Fanani - detikJatim
Kamis, 19 Jan 2023 13:07 WIB
Tari Gandrung dan Sejarahnya Jadi Sarana Intelijen Lawan Penjajahan Belanda
Penari Gandrung zaman dulu (Foto: Ardian Fanani)
Banyuwangi -

Tari Gandrung menjadi ikon Banyuwangi sebagai salah satu kesenian khasnya. Namun di balik keagungan Tari Gandrung, rupanya terdapat sejarah besar perjuangan masyarakat Banyuwangi saat melawan penjajah Belanda.

Budayawan Banyuwangi Eko Budi Setianto mengatakan dalam artikel Gandroeng Van Banyuwangi yang ditulis John Scholte (1926), dikisahkan bahwa penari gandrung awalnya bukanlah perempuan melainkan laki-laki.

Laki-laki tersebut bernama Marsan. Ia menghibur warga menari keliling desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang. Warga yang terhibur dengan pertunjukan tersebut akan memberi hadiah berupa beras dan kebutuhan pangan lainnya. Kalau di masa kini, apa yang dilakukan Marsan dan grup musiknya seperti halnya grup musik pengamen jalanan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Namun bedanya, Marsan dan kawan-kawan menggelar pertunjukan bukan sekedar untuk mengisi perut, melainkan ia mengkonsolidasikan sisa-sisa rakyat Kerajaan Blambangan yang kala itu jumlahnya berkurang drastis hanya sekitar 5 ribu jiwa akibat Perang Puputan Bayu pada Tahun 1767," kata pria yang akrab disapa Budi Osing ini kepada detikJatim, Kamis (10/11/2022).

tari gandrung banyuwangiFoto: Ardian Fanani

Dalam Puputan Bayu, masyarakat Banyuwangi mempertahankan tanah airnya dari serbuan penjajah Belanda yang dibantu Mataram dan Madura. Penjajah ingin merebut Kerajaan Blambangan dari kekuasaan Mangwi.

ADVERTISEMENT

Meski kekuatan tidak berimbang, pasukan Blambangan memilih untuk mati di medan perang. Konon jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri, tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau diselong (dibuang) oleh Kompeni lebih dari enam puluh ribu jiwa.

Sedang sisanya yang tinggal sekitar lima ribu jiwa hidup telantar dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak yang berlindung di hutan-hutan.

Mereka yang berhasil selamat terdiri dari para orang tua, para janda serta anak-anak yang tak lagi punya orang tua. Selain itu ada juga yang melarikan diri menyingkir ke negeri lain, seperti ke Bali, Mataram, Madura dan lain sebagainya.

"Di sinilah peran penting Gandrung Marsan. Pascaperang Puputan Bayu, ia berkeliling ke desa-desa yang ditempati sisa-sisa rakyat Blambangan. Ia menggelar pertunjukan gandrung dengan imbalan dari penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi lainnya dan dalam rangka spionase," ujarnya.

tari gandrung banyuwangiFoto: Ardian Fanani

Sebenarnya yang tampak sebagai imbalan tersebut, merupakan sumbangan yang nantinya dibagi-bagikan kepada mereka yang keadaannya sangat memprihatinkan di pengungsian dan sangat memerlukan bantuan, baik mereka yang mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup di hutan-hutan dengan segala penderitaannya.

Berdasarkan catatan sejarah yang ditulis C. Lekerkerker, usai Puputan Bayu 11 Oktober 1772, sebanyak 2.505 orang lelaki dan perempuan menjadi tawanan Kompeni. Tawanan laki-laki dibantai secara tragis, sementara para wanita dan anak-anak diserahkan kepada orang-orang Madura sebagai hasil rampasan perang.

Sebagian dari mereka yang berhasil melarikan diri ke dalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang dialami mereka. Sehingga udara yang disebabkan mayat-mayat yang membusuk sampai jarak yang jauh. Yang lainnya menetap di hutan-hutan seperti Pucang Kerep, Kali Agung, Petang dan sebagainya. Dan mereka bersikap keras tetap tinggal dalam hutan dengan segala penderitaannya.

Berkat munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat perjuangan untuk mengkonsolidasikan sisa-sisa rakyat yang hidup bercerai-berai, akhirnya masyarakat Blambangan kala itu bisa menyongsong kehidupan baru saat Mas Alit membuka hutan Tirta Arum sebagai ibu kota baru.

Ibu kota baru tersebut selanjutnya dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang dibabad (Tirta-arum).

"Keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan kelahiran kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali bumi Blambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan Kompeni," tegasnya.

Penari Gandrung Sebar Informasi Spionase dengan Gending untuk Lawan Belanda

tari gandrung banyuwangi Penari Gandrung di zaman dulu (Foto: Ardian Fanani)
Tarian Gandrung tak hanya sebagai kesenian khas Banyuwangi. Namun juga sebagai alat melawan penjajah Belanda kala itu. Penari Gandrung menyebarkan informasi dan konsolidasi untuk melawan penjajah melalui gending (lagu) yang dinyanyikan pada saat ngamen keliling Desa.

Ada beberapa gending (lagu) yang dipercaya sebagai perlawanan masa penjajahan zaman Belanda. Gending itu merupakan lagu baku yang juga sering ditembangkan dalam pertunjukan Gandrung. Di antaranya adalah Podo Nonton, Seblang Lukinto, dan Kembang Pepe.

Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Choliqul Ridho mengatakan tiga gending atau tembang itu sarat dengan arti perjuangan. Gandrung pada masa itu menjadi intelijen pergerakan dan mengenal titik lemah musuh.

tari gandrung banyuwangiFoto: Ardian Fanani

"Karena kan pada zaman itu Gandrung itu semacam ngamen. Keliling ke desa hingga ke benteng penjajah. Jadi informasi terkait kelemahan Belanda masa itu, Gandrung memberikan informasi. Kemudian perlawanan gerilya pun terjadi setelah adanya info dari penari Gandrung masa itu," ujar Choliqul kepada detikJatim, Kamis (10/11/2022).

Gandrung pada masa itu menyebarkan informasi dengan gending atau lagu yang dinyanyikan setiap manggung. Lagu itu memiliki simbol atau kode yang hanya diketahui oleh pejuang.

Gending Podo Nonton dimainkan ketika tahapan awal tari Gandrung yakni Jejer Gandrung. Syair Podo Nonton mengandung pesan-pesan perjuangan rakyat Blambangan.
Dalam tampilan yang paling eksplisit lagu tersebut adalah irama vokal untuk memberi penghormatan kepada tamu, tetapi secara simbolis mengandung makna perjuangan.
Pesan perjuangan diungkap melalui kata-kata yang tidak dimengerti maksud sebenarnya oleh penjajah dan hanya dimengerti para pejuang Blambangan.

"Dalam liriknya ada kata-kata yang menggambarkan perjuangan. Seperti kata 'kembang abang' dalam bait 7 dan 'ring paseban' dalam bait 8. Kata-kata tersebut melukiskan peperangan yang banyak menimbulkan korban, begitu pula 'selebrang tiba ring kasur' yang berarti korban terkapar di Bumi Blambangan," jelasnya.

tari gandrung banyuwangiFoto: Ardian Fanani

Ada pula gending Seblang Lukinto. Syair-syair dalam Seblang Lukinto merupakan deskripsi waktu menjelang fajar yang disampaikan dengan menggunakan tanda alam cahaya merah di timur dan suara ayam berkokok.

"Banyak orang tua yang menyaksikan tidak dapat menahan tangis karena lagu-lagu tersebut mampu membangkitkan ingatan atau kenangan tentang masa lalu suku Using yang kelam ketika menghadapi Belanda," bebernya.

Sementara, gending Kembang Pepe adalah gending yang memiliki tiga bait dan setiap baitnya terdiri dari empat lirik. Sama seperti Seblang Lukinto, Kembang Pepe dimainkan saat babak Seblang Subuh atau Seblang-seblang.

"Kembang Pepe menitikberatkan penggunaan Tari Gandrung sebagai siasat untuk melawan penjajah. Tari Gandrung dipentaskan bersama dengan pertunjukan Barong untuk membuat tentara Belanda lengah. Mereka dibuat larut lewat tarian dan suguhan minuman-minuman keras. Di saat itulah, tentara-tentara Belanda diserang," pungkasnya.

Pengaruh Islam Terhadap Pergeseran Peran Penari Gandrung di Banyuwangi

tari gandrung banyuwangi Penari Gandrung Banyuwangi zaman dulu (Foto: Ardian Fanani)
Tari Gandrung adalah salah satu tari tradisional Banyuwangi yang sudah cukup populer di dikalangan masyarakat Indonesia bahkan mancanegara. Menjadi salah satu ikon Banyuwangi karena tari ini menjadi salah satu identitas masyarakat Suku Osing Blambangan.

Dalam catatan artikel Gandroeng Van Banyuwangi yang ditulis John Scholte (1926), dikisahkan bahwa penari gandrung awalnya bukanlah perempuan melainkan laki-laki. Dia bernama Marsan.

Mulanya tari ditampilkan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Selain sebagai seni pertunjukkan Gandrung adalah sarana Marsan dkk untuk gerilya mengumpulkan bahan pangan dan juga spionase selama masa penjajahan Belanda di Blambangan.

Seiring dengan masuknya ajaran Islam, penari Gandrung laki-laki (Gandrung Lanang) mulai berkurang sejak tahun 1894 dan lenyap pada tahun 1904.

tari gandrung banyuwangiFoto: Ardian Fanani

Peran penari kemudian digantikan oleh perempuan. Dalam catatan Scholte Gandrung perempuan pertama adalah Semi. Itu terjadi sekitar tahun 1895, setelah Semi sembuh dari sakitnya yang parah.

Sebelum tampil sebagai penari gandrung profesional, Semi adalah seorang penari Seblang di Desa Bakungan. Konon, ia jadi penari Seblang itu karena nazar dari ibundanya, Raminah.

"Tampilnya Semi sebagai seorang penari gandrung wanita pertama, sekaligus merupakan akhir dari era Gandrung lanang, dengan penari terakhirnya bernama Marsan," kata Eko Budi Setianto Penulis Buku Isun Gandrung, Kamis (10/11/2022).

Pria yang akrab disapa Budi Osing ini bercerita kala itu masuknya Islam ke Bumi Blambangan membawa pengaruh signifikan terhadap pergerakan gandrung laki-laki ke gandrung perempuan.

tari gandrung banyuwangiFoto: Ardian Fanani

Hal yang yang paling disorot adalah cara berpakaian, tampilan dan gerakan gandrung yang memanifestasikan feminisme.

"Ajaran Islam mulai masuk dan muncul tekanan-tekanan tampilan laki-laki yang menyerupai perempuan. Itu yang kemudian menjadikan gandrung laki-laki perlahan berkurang dan pada akhirnya lenyap," ujar Budi.

Kendati berubah secara peran, namun secara komposisi, pertunjukkan gandrung masih tetap sama. Tarian tetap diiringi oleh Panjak seperti gendang, kenong, terbang (rebana) gong, dan biola.

Banyuwangi Letakkan Gandrung Sebagai Ikon Kebangkitan Kesenian dan Pariwisata

tari gandrung banyuwangi Gandrung Sewu yang menarik banyak wisatawan datang ke Banyuwangi (Foto: Ardian Fanani)
Tarian Gandrung menjadi tarian khas dan menjadi Icon Banyuwangi. Tak hanya bertebaran patung Gandrung di penjuru kota, tarian Gandrung pun di pentaskan secara kolosal dalam Festival Gandrung Sewu. Ini sebagai wujud penghormatan Gandrung sebagai pahlawan pada masa penjajahan.

Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani Azwar Anas mengatakan, Gandrung bukan hanya sebagai icon Banyuwangi. Namun Gandrung merupakan salah satu pergerakan perjuangan warga Banyuwangi pada masa penjajahan.

"Spirit Gandrung sebagai salah satu gerakan melawan penjajah masa itu menjadi semangat kebangkitan kami dalam memajukan Banyuwangi melalui sektor pariwisata hingga sektor lain," ujarnya kepada detikJatim, Kamis (10/11/2022).

tari gandrung banyuwangiFoto: Ardian Fanani

Festival Gandrung Sewu diadakan sejak tahun 2012, yang pada awalnya digelar untuk mengenalkan kebudayaan Banyuwangi khususnya Gandrung ke khalayak luas. Pada saat ini Gandrung Sewu sudah menjadi ikon pariwisata budaya Banyuwangi. Acara ini diadakan setiap tahun sekali di Pantai Boom, yang berlatarkan Selat Bali.

"Sejak 2012 kita gelar ajang Festival Gandrung Sewu. Ini bukti jika kami mengangkat perjuangan Gandrung dan dikenal hingga dunia internasional," tambahnya.

Sejak 2012 tema Festival Gandrung Sewu merunut cerita perjuangan Gandrung. Tahun 2012 tema pertama yang digelar adalah Jejer Gandrung dengan 1044 penari; tahun 2013 mengambil tema Paju Gandrung dengan 2106 penari; tahun 2014 mengambil tema Seblang Subuh dengan 1300 penari dan tahun 2015 mengambil tema Podho Nonton dengan 1208 penari.

Pada tahun 2016 Festival Gandrung Sewu dilanjutkan dengan tema Seblang Lukinto dengan 1300 penari; tahun 2017 sebanyak 1286 penari membawakan tema Kembang Pepe; tahun 2018 tema Layar Kumendhung dibawakan oleh 1173 penari dan tahun 2019 tema Panji - Panji Sunangkoro dibawakan oleh 1.350 penari.

tari gandrung banyuwangiFoto: Ardian Fanani

"Tahun 2020 Ditiadakan karena Pandemi COVID-19. Karena memang tidak memungkinkan dengan kondisi pembatasan yang ketat," ujar MY Bramuda, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi.

Pada tahun 2021, kata Bramuda, menyesuaikan dengan kondisi pandemi COVID-19, Pemkab Banyuwangi menggelar Gandrung Sewu Nusantara.

"Gandrung Sewu Nusantara digelar 2021. Ajang ini digelar secara virtual dari perwakilan 24 daerah di Indonesia dan 1 perwakilan Hong Kong," tambahnya.

Dan di tahun 2022, tema Sumunare Tlatah Blambangan diangkat sebagai tema dengan 1.284 penari yang merupakan pelajar di seluruh pelosok Banyuwangi.

"Tema Gandrung Sewu terus akan berganti. Kami tentu akan terus menceritakan Gandrung sebagai pahlawan perjuangan Banyuwangi. Gandrung tidak harus diakui sebagai pahlawan namun wajib diketahui perjuangannya saat melawan penjajah," pungkasnya.

Halaman 2 dari 4
(sun/iwd)


Hide Ads