Mengenal Wayang Kattok, Kesenian Asli Bondowoso
Bondowoso - Salah satu kesenian asli Bondowoso adalah Wayang Kattok. Wayang kattok merupakan kesenian berupa boneka kayu yang dimainkan dalang menggunakan tangan.
Nama Kattok diambil dari bahasa sehari-hari masyarakat setempat yang mempunyai arti menimbulkan suara ketika berbenturan satu sama lain. Wayang Kattok sepintas mirip dengan Wayang Golek di Jawa Barat, Wayang Potehi di masyarakat Tionghoa, Wayang Kulit, dan sejenisnya yang dimainkan oleh dalang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bedanya, jika dalang wayang golek atau sejenisnya memainkan wayang dengan kedua tangan menggunakan kayu kecil sebagai pengendali wayang. Pada Wayang Kattok cara memainkannya si dalang cukup menggunakan satu tangan yang dimasukkan ke bagian wayang.
Sepintas, bentuk wayang kattok mirip dengan boneka Si Unyil, termasuk kostumnya. Jika si Unyil menceritakan kehidupan sehari-hari, maka wayang kattok menampilkan cerita rakyat atau seorang tokoh.
"Dalam pagelarannya, Wayang Kattok selalu diiringi seperangkat gamelan seperti gong, kendang, dan kenong. Perangkat gamelan ditabuh sebagai musik pengiring," ujar salah satu sejarawan Bondowoso Tantri Raras Ayuningtyas kepada detikJatim, Kamis (8/12/2022).
Menurut Tantri, wayang kattok memiliki sejarah panjang dalam kebudayaan masyarakat Bondowoso. Wayang ini biasanya dimainkan saat ada hajatan. Baik acara khitanan atau perkawinan, pun acara seremoni lainnya.
Berdasarkan sejumlah literatur dan sejumlah sumber, kesenian Wayang Kattok kali pertama dikenalkan tahun 40-an oleh Ramidin dan Arji, warga Poncogati, Curahdami, Bondowoso.
Saat itu mereka merupakan pemain ludruk. Namun kesenian ludruk dibekukan oleh penjajah Jepang saat itu. Arji kemudian membuat wayang berupa boneka yang awalnya digunakan sebagai hiburan mengisi waktu.
Namun apa yang dibuat dan dimainkan Arji rupanya menarik perhatian orang-orang. Karena saat dimainkan wayang itu menimbulkan bunyi tok tok, maka orang-orang menyebutnya wayang kattok.
Masa Keemasan Wayang Kattok di Tahun 70-an, Sempat Jadi Tontonan Favorit
Anak-anak sedang memainkan wayang kattok (Foto: Dok. Parbudpora Bondowoso)
|
Saat itu, Wayang Kattok jadi hiburan ketika orang punya hajatan. Baik khitanan maupun pesta pernikahan. Sebab, tarifnya relatif terjangkau, dibanding pagelaran ludruk, wayang, serta kesenian lainnya.
Konon, tarif sekali pagelaran Wayang Kattok 5-10 kali lebih murah dibanding tarif kesenian lainnya. Tapi Wayang Kattok tetap mampu menyedot warga untuk datang menonton pagelaran tersebut.
Tak hanya itu, dalam penampilannya Wayang Kattok kerap dijadikan sarana untuk sosialisasi. Caranya dengan memasukkan unsur-unsur penjelasan pada masyarakat dalam isi ceritanya.
"Dulu saya ketika SD, guru sering menampilkan wayang kattok sebagai sarana pembelajaran maupun penjelasan," kisah salah satu warga Bondowoso, Munandar (55), kepada detikJatim, Kamis (8/12/2022).
Pria yang mengaku warga asli Bondowoso itu menuturkan, zaman itu hampir setiap ada tontonan Wayang Kattok ia selalu datang menyaksikan. Meski ia mengaku kerap kena marah orang tuanya karena jadi lupa belajar.
"Terpaksa lihatnya sembunyi-sembunyi. Biasanya berangkat dengan jalan kaki dengan teman-teman sekampung," ujar warga Kota Kulon ini, seraya tertawa.
Bukan cuma itu. Ia mengaku wayang kattok kala itu sempat menjadi tontonan favorit. Terutama saat di gelar pada malam akhir pekan. Wayang Kattok selalu dibanjiri penonton.
Sebab, bahasa yang digunakan dalam Wayang Kattok tersebut bahasa lokal, Madura. Pun pentururan dalam lakonnya menggunakan bahasa sehari-hari. Sehingga mudah dipahami penonton, yang mayoritas suku Madura.
Dalam penampilannya, selain dialog bahasa Madura, sesekali juga diselingi tembang-tembang apik yang cukup populer di zaman itu. Yakni lagu-lagu Madura. Lengkap dengan iringan gamelannya.
"Konon wayang Kattok di zaman itu jadi tontonan favorit warga," kata Tantri Raras, pemerhati sejarah dan budaya Bondowoso.
Tantri mengatakan pada awal kemunculannya, wayang kattok sempat dilarang oleh pemerintah Jepang. Sebab, Jepang menilai kesenian itu berbau provokasi dan bermuatan heroisme dan nasionalisme.
Setelah Jepang menyingkir dari Indonesia, secara perlahan wayang kattok mulai dikenal dan digemari warga. Namun wayang kattok meredup lagi di tahun 60-an. Sebabnya adalah adanya pelarangan kesenian yang dianggap berafiliasi dengan PKI.
"Dalam perkembangannya, wayang kattok sempat terkisis menjelang masa G30S PKI. Maklum, saat itu memang marak dengan kesenian yang berafiliasi ke PKI," kata Tantri.
Wayang Kattok yang Sempat Populer Kini Punah Terpinggirkan Zaman
Wayang kattok kini punah tergerus zaman (Foto: Dok. Parbudpora Bondowoso)
|
Wayang Kattok saat ini seolah tergerus zaman. Bahkan boleh dibilang punah. Karena sudah jarang ditampilkan dan sudah tak ada dalangnya lagi. Setidaknya wayang kattok sudah tak dimainkan dalam kurun sekitar 20 tahun terakhir.
Menurut salah satu sejarawan Bondowoso, Tantri Raras Ayuningtyas, di era multimedia ini memang tak bisa dipungkiri bahwa budaya tradisional banyak yang ditinggalkan, terutama generasi milenium.
"Mungkin anak-anak generasi melenium saat ini lebih memilih gadgetnya untuk hiburan mereka," terang magister jebolan Universitas Negeri Sebelas Maret Solo ini, saat berbincang dengan detikJatim, Kamis (8/12/2022).
Dituturkannya lebih jauh, dirinya selama ini melalui Dewan Kesenian Daerah (DKD) Bondowoso sering mendiskusikan hal tersebut dengan komunitas dan para pegiat budaya setempat.
"Kami pernah mencoba mengundang para pegiat budaya lokal di desa-desa. Kami ajak bersama untuk terus menyosialisasikan kesenian lokal," terang Tantri, sapaan karib pengurus DKD Bondowoso ini.
Sejumlah kesenian daerah juga sudah nyaris punah dan jarang sekali ditemui. Misal nabbhu ronjhengan, mamacah, topeng konah, ludruk madura, dan lainnya.
Baca juga: Asal-usul Nama Desa Pocong di Bangkalan |
"Cuma memang semua butuh waktu. Karena meregenerasi dari yang tua ke muda ini butuh pemahaman, untuk mereka agar bangga dengan budaya lokal sendiri," kata Tantri Tantri.
Tantri menyampaikan wayang kattok yang saat ini sudah mulai punah tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk stakeholder terkait. Sebab, budaya dan kesenian tradisional itu merupakan peninggalan yang adiluhung.
"Semua pihak mungkin perlu duduk satu meja. Menyamakan konsep dan strategi. Agar budaya tidak tergerus zaman," pungkas Tantri.