Mengenal Eyang Digdo, Sosok di Balik Makam Gantung Blitar

Urban Legend

Mengenal Eyang Digdo, Sosok di Balik Makam Gantung Blitar

Suki Nurhalim - detikJatim
Kamis, 17 Nov 2022 15:44 WIB
makam gantung
Eyang Digdo (baris bawah, nomor 5 dari kiri)/Foto: Erliana Riady
Blitar -

Makam gantung di Kota Blitar menjadi legenda dari masa ke masa. Itu merupakan makam Eyang Djojodigdo yang sudah tak asing di telinga warga Blitar.

Siapa Eyang Djojodigdo atau Eyang Digdo? Namanya Bawadiman Djojodigdo, yang lahir di Kulon Progo pada 29 Juli 1827. Ia lahir saat berkecamuk Perang Diponegoro.

Dalam catatan sejarah Patih Djojodigdo yang ditulis Rahadi Priyo Sembodo disebutkan, pada usia 12 tahun Eyang Digdo mengikuti pamannya, Bupati Ngrowo yakni RMT Notowijojo 3 di Bono Tulungagung.

Kemudian saat dewasa, Eyang Digdo menjadi menantu Bupati Brebek Nganjuk yakni RMT Pringgodigdo. Dari istri pertamanya yakni RA Djojodigdo lahir 10 putra.

Sepanjang hidupnya, Djojodigdo mempunyai empat istri. Total anaknya sebanyak 30 orang.

"Iya memang betul eyang saya punya empat garwo (istri). Saya ini buyut terakhir dari anak ke 30 dari istri ke empat beliau," tutur Handojo Prijo Soetejo (49) saat ditemui di rumahnya, Rabu (5/9/2018).

Tujuh keturunan Eyang Digdo juga sempat menjabat sebagai bupati di berbagai daerah di Jawa. Seperti Bupati Rembang, Tuban dan Kulonprogo.

"Putra ketiga dari istri pertamanya, yakni RMAA Djojoadhiningrat merupakan suami RA Kartini (pahlawan emansipasi wanita) saat menjabat sebagai Bupati Rembang," imbuhnya.

Eyang Digdo dilantik menjadi Patih Blitar pada 8 September 1877. Jabatan patih pada saat itu, sebagai pelaksana administratur tertinggi di bawah Bupati. Djojodigdo pensiun pada 1895.

Dalam buku catatan sejarah itu juga diselipkan sebuah surat rahasia, yang ditulis Residen Belanda di Kediri. Surat itu tertanggal 18 Maret 1878 yang ditujukan pada Gubernur Jenderal Belanda di Buitenzorg (sekarang Istana Bogor).

Isinya tentang pencalonan Kepala Daerah Brebek, Nganjuk. Di antara beberapa nama yang diajukan, salah satunya menyebutkan Djojodigdo sebagai kandidatnya.

Salah satu warisan budaya Djojodigdo bagi Blitar adalah ritual Rampokan Macan. Acara digelar setiap Hari Raya Ketupat di Alun-Alun Kota Blitar. Tujuannya menolak balak (bencana), terutama dari amukan lahar Gunung Kelud.

Sampai sekarang, Pemkab dan Pemkot Blitar tetap melanggengkan ritual itu. Namun hanya simbolis saja, menyesuaikan dengan peradaban zaman.



Simak Video "Makam Gantung, Tradisi dengan Makna Mendalam Bagi Masyarakan Tana Toraja"
[Gambas:Video 20detik]
(sun/iwd)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT