Wujud Situs Bhre Kahuripan Terkuak: Kompleks Candi dan Permukiman Kuno!

Wujud Situs Bhre Kahuripan Terkuak: Kompleks Candi dan Permukiman Kuno!

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Sabtu, 26 Nov 2022 09:03 WIB
Hasil ekskavasi situs Bhre Kahuripan Mojokerto
Hasil ekskavasi situs Bhre Kahuripan Mojokerto. (Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)
Mojokerto -

Wujud Situs Bhre Kahuripan di Desa Klinterejo, Sooko, Mojokerto kian gamblang pascaekskavasi tahap 5 yang berlangsung selama 1 bulan. Situs seluas 6 hektare itu ternyata merupakan kompleks bangunan yang terdiri dari bangunan suci Candi Tribhuwana Tunggadewi serta bekas permukiman kuno.

Ekskavasi Situs Bhre Kahuripan selama 1 bulan dilakukan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jatim. Yakni sejak 24 Oktober-23 November 2022. Tim ekskavasi menuntaskan penggalian pada 5 sektor sekaligus. Kini mereka fokus mengukur dan menggambar hasil ekskavasi.

Sektor pertama ada di sebelah utara Candi Tribhuwana Tunggadewi. Di titik ini tim ekskavasi menemukan struktur dinding kuno berbahan bata merah setebal 50 cm. Bangunan dinding itu berbentuk persegi panjang dengan panjang dari utara ke selatan 9 meter dan lebar timur ke barat 4 meter. Tinggi struktur yang tersisa hanya 4-5 lapis bata merah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada sisa tangga masuk di sisi barat struktur selebar 100 cm yang ditemukan. Lebar anak tangga yang tersisa hanya 20 cm. Di tengahnya terdapat struktur kubus mengerucut seluas 50 x 50 cm persegi. Masing-masing bata penyusunnya berdimensi 32 x 22 x 7 cm. Bangunan ini diperkirakan masih berkaitan dengan Candi Tribhuwana Tunggadewi.

"Interpretasi kami bangunan ini terkait pemujaan, bisa jadi sebuah altar (yang menghadap ke Candi TribhuwanaTunggadewi), tapi kami masih menggali data lagi," kata Ketua Tim Ekskavasi Situs Bhre Kahuripan dari BPK Wilayah XI Jatim Muhammad Ichwan kepada detikJatim, Jumat (25/11/2022).

ADVERTISEMENT

Sektor kedua di sebelah barat Candi Tribhuwana Tunggadewi tepatnya di lapangan sepakbola Desa Klinterejo yang membujur dari utara ke selatan. Penggalian arkeologi sebelumnya menemukan struktur sisa gapura di sudut tenggara lapangan. Ternyata bangunan purbakala ini menyambung dengan dinding tebal yang membujur ke utara.

Ekskavasi tahap 5 menggali struktur dinding tersebut. Hasilnya, ditemukan struktur berbahan bata merah kuno dari gapura membentang ke utara sepanjang 30 meter. Tebal pagar ini mencapai 98 cm, tinggi struktur yang tersisa 5-7 lapis bata merah.

Struktur ini berbelok ke barat sehingga membentuk sudut timur laut di lapangan sepakbola. Di bawah pagar yang membentuk sudut timur laut juga ditemukan struktur fondasi besar seluas 290 x 290 meter persegi.

Dari sudut timur laut struktur itu juga ditemukan bangunan pagar kuno setebal 98 cm. Pagar itu membentang dari timur ke barat sepanjang 45 meter sehingga membelah bagian tengah lapangan sepakbola.

Tinggi struktur yang tersisa juga hanya 5-7 lapis bata merah. Ditemukan juga struktur yang menonjol di sebelah utara dan selatan pagar ini semacam pilaster. Jarak antar tonjolan struktur bervariasi, antara 7-11 meter. Di ujung baratnya atau di sudut barat laut, struktur pagar ini berbelok ke utara-selatan membentuk semacam pertigaan.

"Untuk struktur yang berlanjut ke arah utara belum kami gali karena terbatasnya waktu. Struktur yang ke arah selatan dari sudut barat laut sudah kami gali seluas 14 x 6 meter persegi," ujar Ichwan.

Struktur pagar yang membentang dari utara ke selatan dari sudut barat laut ternyata lebih tebal. Yaitu mencapai 135 cm dengan panjang yang sudah ditemukan 14 meter. Di sebelah timur tembok kuno ini ditemukan 2 struktur yang masing-masing berukuran 2x2 meter persegi. Sedangkan di sebelah baratnya hanya ditemukan 1 struktur yang sama.

Menurut Ichwan, struktur di sisi timur dan barat ini hanya menempel pada pagar. "Di sektor lapangan untuk sementara struktur yang ditemukan berdenah U karena struktur selatan yang membujur dari timur ke barat belum kami temukan," jelasnya.

Di sebelah barat lapangan sepakbola terdapat bangunan balai tani milik Desa Klinterejo. Lapangan dengan balai tani hanya dipisahkan jalan cor. Area di sebelah utara balai tani menjadi sektor ketiga dalam ekskavasi tahap 5 Situs Bhre Kahuripan.

Di lokasi itu juga ditemukan pagar kuno setebal 96 cm. Hanya saja ujung utaranya sudah hilang karena aktivitas produksi bata merah dan pertanian warga setempat. Struktur ini membujur ke selatan sampai halaman balai tani. Ujung selatan struktur juga belum ditemukan lantaran belum digali.

Hipotesis Tim Ekskavasi Candi. Baca di halaman selanjutnya.

Sektor keempat berada di area sebelah barat balai tani. Di tempat ini ditemukan struktur purbakala beberapa tahun lalu yang sudah dilindungi cungkup. Masyarakat biasa menyebut area ini Situs Klinterejo. Sedangkan Candi Tribhuwana Tunggadewi biasa disebut Situs Watu Ombo karena merujuk pada batu yoni besar di atas bangunan suci itu.

Ekskavasi tahap 5 pun menggali sekitar struktur yang dilindungi cungkup di Situs Klinterejo. Tim arkeolog pun menemukan sisa-sisa bangunan kuno berdenah unik di sektor empat ini. Yaitu bangunan berdenah bujur sangkar seluas 17 x 17 meter persegi.

Setiap sisi bangunan itu ditemukan struktur berbentuk segitiga sama sisi. Setiap sisinya berukuran 5 meter. Di bagian dalam struktur ini banyak ditemukan bangunan seperti umpak berbahan bata merah.

"Kami masih menduga terkait penjuru mata angin, kan ada dewa-dewa penjuru mata angin," cetus Ichwan.

Bangunan kuno juga ditemukan di sebelah barat Situs Klinterejo. Yakni berupa 2 pagar sejajar yang membentang dari utara ke selatan. Tebal masing-masing sekitar 95 cm, sedangkan panjangnya lebih dari 30 meter.

Jarak antara kedua pagar mencapai 7 meter. Temuan struktur di sektor kelima ini diperkirakan menjadi bagian paling barat Situs Bhre Kahuripan. Menurut Ichwan, situs ini gabungan dari Situs Watu Ombo dengan Situs Klinterejo yang luasnya ditaksir mencapai 6 hektare.

"Dua situs yang selama ini terpisah, yakni Situs Watu Ombo dan Situs Klinterejo ternyata menyambung. Luas keseluruhan situs ini secara pasti belum kami ketahui. Perkiraan kami panjang barat ke timur 300 meter, lebarnya utara ke selatan 200 meter," ungkapnya.

Usai menuntaskan ekskavasi tahap 5, kini Ichwan mempunyai hipotesis terkait Situs Bhre Kahuripan. Ia memperkirakan situs ini berupa kompleks bangunan yang luas, terdiri dari bangunan suci dan permukiman penduduk.

Bagian bangunan suci masih jelas terlihat berupa Candi Tribhuwana Tunggadewi di sisi timur. Sedangkan bagian permukiman diperkirakan berada di sebelah barat balai tani Desa Klinterejo. Sebabnya pada struktur unik maupun di pagar paling barat banyak ditemukan fragmen genting, ukel atau hiasan ujung atap, serta bubungan atap.

Tidak hanya itu, di area ini juga banyak fragmen perabotan rumah tangga berbahan tembikar dan keramik. Menurut Ichwan fragmen tembikar berupa periuk, kendi, jambangan kecil atau pasu. Juga ditemukan fragmen keramik berupa mangkuk dan buli-buli yang diduga diimpor dari Tiongkok pada masa Dinasti Ming abad 14-17 dan Dinasti Yuan abad 13-14 masehi.

Tim ekskavasi juga menemukan 10 koin kuno di area struktur paling barat Situs Bhre Kahuripan. Kepingan uang China itu ditemukan bercampur dengan fragmen genting. Dari jumlah itu, baru 4 koin yang bisa dibaca tulisannya. Terdiri dari 3 koin yang dirilis tahun 1006-1008 masehi pada masa Dinasti Song Utara di Tiongkok. Sedangkan 1 koin dari zaman Dinasti Ming.

Berbagai temuan lepas itu menurut tim ekskavasi masih relevan dengan Candi Tribhuwana Tunggadewi yang dibangun tahun 1372 masehi. Sesuai angka tahun yang diukir pada yoni candi ini.

"Hipotesis kami Situs Bhre Kahuripan merupakan kompleks bangunan suci sekaligus permukiman. Kalau melihat angka tahun di yoni, memang pada masa Hayam Wuruk. Di Pararaton disebutkan sebagai pendarmaan Tribhuwana Tunggadewi yang lokasinya kemungkinan di situs ini. Bangunan pendarmaan untuk menghormati tokoh yang sudah meninggal, semacam monumen. Biasanya dibangun 12 tahun setelah meninggalnya dalam upacara srada. Namun, masih perlu kami kaji lagi," katanya.

Candi Tribhuwana Tunggadewi dan dugaan pembangunan yang tak tuntas. Baca di halaman selanjutnya.

Candi Tribhuwana Tunggadewi di Situs Bhre Kahuripan sendiri ditemukan dari ekskavasi sebelumnya yang bergulir sejak 2018. Bangunan suci pada zaman Majapahit seluas 14 x 14 meter persegi ini terbuat dari potongan batu andesit. Struktur tangga untuk masuk ke candi terletak di bagian barat. Pada puncak bagian tengah candi terdapat batu yoni besar berdimensi 191 x 184 x 121 cm.

Pada permukaan atas sisi barat yoni terdapat ukiran angka tahun 1294 saka atau 1372 masehi menggunakan Aksara Jawa Kuno. Struktur bata merah kuno hanya ditemukan di bawah batu yoni. Yaitu berupa struktur penyangga yoni berukuran 345 x 345 cm dan sumur kotak 250 x 250 cm dengan kedalaman yang sudah diekskavasi 390 cm. Sumur ini menjadi tempat menyimpan peripih, barang berharga sebagai roh candi.

Sayangnya peripih maupun wadahnya sudah dijarah. Satu-satunya barang berharga yang ditemukan di sumur Candi Tribhuwana Tunggadewi hanya lempengan emas berbentuk kura-kura sepanjang 6 cm. Dalam mitologi Hindu, kura-kura sebagai makhluk penyangga bumi. Emas tersebut telah diamankan di kantor BPK Wilayah XI Jatim.

Pada kaki Candi Tribhuwana Tunggadewi ditemukan batu astadikpalaka. Batu berukir simbol dewa-dewa penjaga dalam Agama Hindu itu dipasang di 8 sisi mata angin. Sebuah arca berbahan batu andesit setinggi 200 cm, lebar 180 cm dan tebal 25-30 cm juga ditemukan di candi ini. Sayangnya, wujud arca tersebut tidak bisa dikenali karena sudah dirusak.

Arca besar ini diduga berbentuk Harihara, yaitu gabungan Dewa Wisnu dengan Dewa Siwa yang dipasang di atas batu yoni Candi Tribhuwana Tunggadewi. Karena yoni di candi ini ditemukan tanpa lingga sebagai pasangannya. Lazimnya di candi beraliran Hidu Siwa, yoni sebagai simbol perempuan berpasangan dengan lingga sebagai simbol laki-laki. Nah, di zaman Majapahit arca tersebut diduga dipasang pada yoni sebagai pengganti lingga.

Sesuai angka tahun di batu yoni, Candi Tribhuwana Tunggadewi ini dibangun pada zaman Majapahit ketika Raja Hayam Wuruk memerintah 1350-1389 masehi. Namun, belum bisa dipastikan apakah candi ini untuk mendarmakan Tribhuwana atau raja lain. Sebab penguasa ketiga Majapahit atau ibu kandung Hayam Wuruk itu wafat tahun 1294 saka atau 1372 masehi. Tahun itu pula batu yoni selesai dibuat.

Artinya, jika candi ini dibangun Hayam Wuruk untuk mendarmakan ibunya, maka tak sesuai dengan konsep srada yang dianut pada zaman Majapahit. Yaitu upacara pemujaan arwah leluhur yang digelar setelah 12 tahun kematiannya. Kemungkinan lainnya adalah candi ini memang untuk mendarmakan Tribhuwana. Hanya saja pembangunannya yang dilakukan bertahap, akhirnya tak pernah tuntas.

Karena tidak ada satu pun batu pada dinding candi yang dipahat halus. Selain itu, tim ekskavasi juga tidak menemukan fragmen batu berelief yang biasa dipasang pada dinding candi. Pada struktur mandapa jarang sekali ditemukan bata yang berprofil unik, seperti tatahan, relief dan pelipit. Terlebih lagi tidak ada angka tahun di bangunan candi sebagai penanda waktu selesainya pembangunan.

Tribhuwana Tunggadewi tercatat sebagai raja perempuan (ratu) pertama dalam sejarah Majapahit. Pemilik nama Dyah Gitarja ini putri dari Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya dan Dyah Gayatri atau Rajapatni. Putri pendiri Majapahit ini pernah menjabat sebagai Bhre Kahuripan di wilayah Sidoarjo.

Ia lantas menggantikan kakak tirinya, Jayanegara yang berkuasa di Majapahit tahun 1309-1328 masehi. Istri Cakradhara atau Kertawadhana atau Bhre Tumapel ini menjadi raja ketiga Majapahit sejak tahun 1328 masehi. Ratu Tribhuwana Tunggadewi memilih turun tahta tahun 1350 masehi. Ia mewariskan tahta ke putranya, Hayam Wuruk.

Halaman 2 dari 3
(dpe/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads