Menelusuri Sisa Kemegahan Kompleks Candi Tribhuwana Tunggadewi di Mojokerto

Menelusuri Sisa Kemegahan Kompleks Candi Tribhuwana Tunggadewi di Mojokerto

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Minggu, 13 Nov 2022 05:03 WIB
Situs Bhre Kahuripan yang lokasinya 300 meter sebelah timur Candi Tribhuwana Tunggadewi, Mojokerto
Situs Bhre Kahuripan yang lokasinya 300 meter sebelah timur Candi Tribhuwana Tunggadewi, Mojokerto. (Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)
Mojokerto -

Kian banyak struktur purbakala yang ditemukan dalam ekskavasi tahap 5 Situs Bhre Kahuripan di Desa Klinterejo, Sooko, Mojokerto. Berbagai struktur kuno itu diyakini saling terkait sehingga membentuk sebuah kompleks bangunan. Kini para ahli sedang meneliti kemungkinan bahwa kompleks bangunan ini merupakan bekas sebuah istana atau murni tempat ibadah di masa lalu.

Ekskavasi tahap 5 digelar sejak 24 Oktober hingga 23 November. Selama sebulan tim ekskavasi dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jatim telah menggali lahan seluas 1.500 meter persegi di area Situs Bhre Kahuripan.

Situs purbakala ini terletak di tengah persawahan di Desa Klinterejo. DetikJatim menelusuri Situs Bhre Kahuripan dari bagian paling barat, sekitar 300 meter dari Candi Tribhuwana Tunggadewi yang terletak di bagian paling timur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada titik ini, tim ekskavasi menemukan tembok bata sekitar 34 meter yang membentang dari selatan ke utara. Dinding sisi barat tebalnya sekitar 70 meter. Sekitar 20 cm di sebelah timurnya terdapat dinding sama dan sejajar. Hanya saja sebagian besar dinding sisi timur ini sudah rusak. Tinggi tembok paling barat hanya tersisa 2-7 lapis bata merah.

"Kami belum bisa pastikan ini struktur paling barat, tapi di data yang ada sementara ini itu paling barat," kata Arkeolog BKP Wilayah XI Jatim Vidi Susanto kepada detikJatim di lokasi, Sabtu (12/11/2022).

ADVERTISEMENT

Sekitar 6 meter di sebelah timur terdapat struktur tembok bata 36 meter yang juga membentang dari selatan ke utara. Struktur dinding kuno ini ditemukan pada ekskavasi tahun lalu.

Ketebalan dinding ini 140 cm dengan sejumlah tonjolan berbentuk pilaster di sisi baratnya. Masing-masing pilaster seluas 100 x 100 cm persegi. Jarak antar pilaster sekitar 6 meter. Terdapat beberapa umpak berbahan batu andesit di sebelah baratnya.

"Kemungkinan ada pagar luar, di dalamnya lagi ada pagar untuk membentuk ruang. Kami temukan tumpukan genting di dalam tanah di sebelah barat struktur ini. Juga temuan serupa di sebelah timur struktur yang digali tahun lalu," kata Vidi.

Situs Bhre Kahuripan yang lokasinya 300 meter sebelah timur Candi Tribhuwana Tunggadewi, MojokertoSitus Bhre Kahuripan yang lokasinya 300 meter sebelah timur Candi Tribhuwana Tunggadewi, Mojokerto. (Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)

Penelusuran berlanjut ke bagian kedua sekitar 60 meter di sebelah timur struktur paling barat. Struktur di titik ini sejatinya ditemukan sejak lama. Sehingga sudah diberi cungkup sebagai pelindung dari panas dan hujan. Dalam ekskavasi tahap 5 ini tim dari BPK Wilayah XI Jatim menggali lebih dalam struktur lama. Begitu juga area di sekitarnya.

Vidi menjelaskan struktur purbakala di bagian kedua ini memiliki bentuk yang unik dan menarik. Dinding bata tebal ini memanjang 14 meter dari selatan ke utara. Persis di tengahnya berbentuk huruf V yang sudutnya berada di sebelah barat.

Bagian yang sudah terlihat setinggi 100 cm. Dinding sisi barat menggunakan bata merah kuno yang lebih tipis. Bata-bata ini disusun dengan teknik spasi dengan pola rata dan lengkung.

Tidak hanya itu, persis di sebelah timur ada 5 struktur bata berbentuk persegi yang berjajar rapi. Masing-masing luasnya sekitar 100 x 100 cm persegi. Tinggi tembok ini sekitar 50 cm. Struktur kuno ini diperkirakan berfungsi sebagai umpak atau fondasi tiang bangunan.

Lebih ke timur, ditemukan indikasi struktur cerminan. Yakni dinding tebal berpola huruf V bersayap yang sudutnya ada di sebelah timur. Hanya saja baru bagian selatan struktur ini yang ditemukan. Menurut Vidi, pada bagian kedua ini memang banyak ditemukan fragmen genting dan ukel atau hiasan ujung atap bangunan di zaman Majapahit.

"Kami belum bisa memastikan fungsinya apa. Yang jelas banyak temuan fragmen genting, ada yang tebal dan besar, ada juga yang kecil sekitar 30 cm. Bisa jadi ukuran bangunannya besar yang otomatis memakai atap genting yang tebal dan besar," jelasnya.

Bagian ketiga sekitar 56 meter di sebelah timur struktur berbentuk V. Tepatnya di sebelah utara Balai Tani Desa Klinterejo. Struktur purbakala yang ditemukan di bagian ini hanya berupa 2 dinding sejajar membentang kurang lebih 30 meter dari selatan ke utara.

Jarak antardinding tersebut 160 cm. Tembok sisi timur setebal 96 cm, di tengahnya ada struktur yang menjorok ke timur sekitar 75 cm. Namun, struktur ini tidak mempunyai pilaster. Sedangkan dinding sebelah barat hanya setebal 1 bata merah.

Temuan paling masif di Situs Bhre Kahuripan. Baca di halaman selanjutnya.

Temuan paling masif dalam ekskavasi tahap 5 berada di lapangan sepakbola Desa Klinterejo, yakni di sebelah barat Candi Tribhuwana Tunggadewi, mandapa, dan pagar bergapura.

Salah satu struktur yang ditemukan yakni dinding tebal yang membentang dari barat ke timur. Tembok bata di tengah lapangan sepakbola ini juga berhiaskan sejumlah pilaster. Di sudut timur lautnya terdapat pilar besar.

Pilar di sudut timur laut itu bersambung dengan tembok yang membentang dari utara ke selatan. Pada bangunan inilah para peneliti menemukan sisa-sisa struktur gapura yang diperkirakan berbentuk paduraksa ketika ekskavasi tahap sebelumnya. Sehingga pagar di bagian timur lapangan sepakbola Desa Klinterejo ini diyakini pintu masuk ke Candi Tribhuwana Tunggadewi.

Dalam ekskavasi sebelumnya pula, ditemukan struktur bata yang diduga mandapa yang letaknya hanya beberapa meter di sebelah timur pagar tersebut. Tepatnya di antara pagar bergapura dengan Candi Tribhuwana Tunggadewi. Struktur tersebut dikelilingi dinding berbentuk persegi panjang 20 x 15 meter. Tebal dinding sekitar 70 cm.

Pada zaman Majapahit, mandapa merupakan altar tempat masyarakat melakukan pemujaan menghadap ke Candi Tribhuwana Tunggadewi. Sehingga ritual pemujaan tidak hanya dilakukan di bangunan candi, tetapi juga di mandapa ini.

Sedangkan sekitar 15 meter di sebelah utara Candi Tribhuwana Tunggadewi ditemukan struktur tembok berpola persegi. "Sebelah utara candi juga ada indikasi ruang yang bentuknya persegi," ungkap Vidi.

Selain struktur bata dan umpak batu, tim ekskavasi juga menemukan 10 koin kuno di area struktur paling barat Situs Bhre Kahuripan. Kepingan uang China itu ditemukan bercampur dengan fragmen genting.

Dari jumlah yang ditemukan, Vidi mengungkapkan baru 4 koin yang tulisannya bisa dibaca. Terdiri dari 3 koin yang dirilis tahun 1006-1008 masehi pada masa Dinasti Song Utara di Tiongkok. Sedangkan 1 koin dari zaman Dinasti Ming abad 14 masehi.

Situs Bhre Kahuripan yang lokasinya 300 meter sebelah timur Candi Tribhuwana Tunggadewi, MojokertoSitus Bhre Kahuripan yang lokasinya 300 meter sebelah timur Candi Tribhuwana Tunggadewi, Mojokerto. (Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)

"Temuan koin China ini menguatkan kalau struktur barat ada kaitannya dengan Tribhuwana Tunggadewi. Selain itu, temuan koin juga menambah penanggalan relatifnya. Sehingga nantinya bisa kami rangkai perkiraan situs ini digunakan dari abad berapa sampai berapa," cetusnya.

Bermacam struktur bata kuno yang ditemukan sejauh ini, kata Vidi, mengindikasikan bahwa Situs Bhre Kahuripan berupa sebuah kompleks bangunan yang besar dan luas. Kompleks bangunan di tempat ini tak kalah luas dengan Situs Kumitir di Kecamatan Jatirejo, Mojokerto.

Luas Situs Bhre Kahuripan diperkirakan mencapai 6 hektare, yakni sepanjang 300 meter dari barat ke timur dan 200 meter dari utara ke selatan.

Sayangnya, hingga saat ini pihaknya belum bisa menarik kesimpulan bentuk dan fungsi Situs Bhre Kahuripan. Tak tertutup kemungkinan kompleks bangunan ini sisa-sisa sebuah istana raja yang dilengkapi dengan bangunan suci.

Alasannya, di bagian barat situs tersebut selain ditemukan banyak fragmen genting dan ukel, juga ditemukan koin China, mangkuk, jambangan besar, periuk, tutup kekep, gacuk atau alat permainan, serta pecahan jobong sumur. Berbagai temuan lepas ini mengindikasikan lokasi itu dulu merupakan tempat tinggal.

Kemungkinan kedua, Situs Bhre Kahuripan sebuah kompleks candi yang besar. Di zaman Majapahit, kompleks bangunan suci ini dibagi menjadi 3 halaman, yakni di halaman jaba sebagai area profan, halaman jaba tengah sebagai area semi sakral yang menjadi tempat persiapan kegiatan keagamaan, serta halaman jero atau inti tempat bangunan suci atau candi untuk aktivitas pemujaaan.

Antarhalaman itu biasanya dipisahkan dengan pagar. Hanya saja sampai saat ini belum bisa dipastikan di mana letak pagar-pagar pembagi halaman itu.

"Harus dibedakan antara pura dengan puri. Kalau puri (istana) ada rumah tinggal juga punya tempat suci. Kalau pura semuanya untuk kepentingan peribadatan tanpa tempat tinggal. Kami belum berani bicara sampai situ, apakah ini puri, pura atau istana," tandasnya.

Telah menjadi korban penjarahan. Baca di halaman selanjutnya.

Candi Tribhuwana Tunggadewi di Situs Bhre Kahuripan ditemukan dari ekskavasi sebelumnya yang bergulir sejak 2018. Bangunan suci di zaman Majapahit seluas 14 x 14 meter persegi ini terbuat dari potongan batu andesit. Struktur tangga masuk ke candi ada di bagian barat. Puncak tengah candi ada batu yoni berdimensi 191 x 184 x 121 cm.

Pada permukaan atas sisi barat yoni terdapat ukiran angka tahun 1294 saka atau 1372 masehi menggunakan Aksara Jawa Kuno. Struktur bata merah kuno hanya ditemukan di bawah batu yoni, yakni berupa struktur penyangga yoni berukuran 345 x 345 cm dan sumur kotak 250 x 250 cm dengan kedalaman yang sudah diekskavasi 390 cm.

Sumur ini menjadi tempat menyimpan peripih, barang berharga sebagai roh candi. Sayangnya peripih maupun wadahnya sudah dijarah. Satu-satunya barang berharga yang ditemukan di sumur Candi Tribhuwana Tunggadewi hanya lempengan emas berbentuk kura-kura sepanjang 6 cm.

Dalam mitologi Hindu, kura-kura sebagai makhluk penyangga bumi. Emas itu telah diamankan di kantor BPK Wilayah XI Jatim. Sementara Pada kaki Candi Tribhuwana Tunggadewi ditemukan batu astadikpalaka. Batu berukir simbol dewa-dewa penjaga dalam Agama Hindu itu dipasang di 8 sisi mata angin.

Selain itu Sebuah arca berbahan batu andesit setinggi 200 cm, lebar 180 cm dan tebal 25-30 cm juga ditemukan di candi ini. Sayangnya, wujud arca itu tidak bisa dikenali karena sudah dirusak.

Arca besar ini diduga berbentuk Harihara, yaitu gabungan Dewa Wisnu dengan Dewa Siwa yang dipasang di atas batu yoni Candi Tribhuwana Tunggadewi. Batu yoni di candi ini ditemukan tanpa lingga sebagai pasangannya.

Lazimnya di candi beraliran Hidu Siwa, yoni sebagai simbol perempuan berpasangan dengan lingga sebagai simbol laki-laki. Nah, di zaman Majapahit arca itu diduga dipasang pada yoni sebagai pengganti lingga.

Situs Bhre Kahuripan yang lokasinya 300 meter sebelah timur Candi Tribhuwana Tunggadewi, MojokertoSitus Bhre Kahuripan yang lokasinya 300 meter sebelah timur Candi Tribhuwana Tunggadewi, Mojokerto. (Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)

Sesuai angka tahun di batu yoni, Candi Tribhuwana Tunggadewi dibangun pada zaman Majapahit ketika Raja Hayam Wuruk memerintah 1350-1389 masehi. Namun, belum bisa dipastikan apakah candi ini untuk mendarmakan Tribhuwana atau raja lain. Sebab penguasa ketiga Majapahit atau ibu kandung Hayam Wuruk wafat pada 1294 saka atau 1372 masehi. Tahun itu pula batu yoni selesai dibuat.

Artinya, jika candi ini dibangun Hayam Wuruk untuk mendarmakan ibunya, maka tak sesuai dengan konsep srada yang dianut pada zaman Majapahit. Yakni upacara pemujaan arwah leluhur yang digelar setelah 12 tahun kematiannya.

Kemungkinan lainnya adalah, candi ini memang untuk mendarmakan Tribhuwana. Hanya saja pembangunannya yang dilakukan secara bertahap pada akhirnya tak pernah tuntas. Sebabnya, tidak ada satu pun batu pada dinding candi yang dipahat halus.

Selain itu, tim ekskavasi juga tidak menemukan fragmen batu berelief yang biasa dipasang pada dinding candi. Pada struktur mandapa jarang sekali ditemukan bata yang berprofil unik, seperti tatahan, relief, dan pelipit. Terlebih lagi tidak ada angka tahun di bangunan candi sebagai penanda waktu selesainya pembangunan.

Tribhuwana Tunggadewi tercatat sebagai raja perempuan (ratu) pertama dalam sejarah Majapahit. Pemilik nama Dyah Gitarja ini putri dari Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya dan Dyah Gayatri atau Rajapatni. Putri pendiri Majapahit ini pernah menjabat sebagai Bhre Kahuripan di wilayah Sidoarjo.

Ia lantas menggantikan kakak tirinya Jayanegara yang berkuasa di Majapahit tahun 1309-1328 masehi. Istri Cakradhara atau Kertawadhana atau Bhre Tumapel ini menjadi raja ketiga Majapahit sejak 1328 masehi. Ratu Tribhuwana Tunggadewi memilih turun tahta tahun 1350 masehi. Ia mewariskan tahta ke putranya, Hayam Wuruk.

Halaman 2 dari 3
(dpe/iwd)


Hide Ads