Majapahit di Masa Hayam Wuruk Ternyata Punya BMKG

Majapahit di Masa Hayam Wuruk Ternyata Punya BMKG

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Sabtu, 12 Nov 2022 17:02 WIB
Gempa di Jawa Timur Terasa di Daerah-daerah Ini
Ilustrasi. (Foto: AFP)
Surabaya -

Ahli Sejarah Universitas Negeri Malang Rakai Hino menjelaskan bahwa sejumlah candi atau bangunan suci di era zaman Jawa Klasik telah menggunakan sistem-sistem khusus seperti puzzle dan kunci. Tujuannya unutk mengantisipasi guncangan gempa.

Rakai menegaskan, Jatim sejak era Jawa Kuno kerap dilanda bencana. Baik banjir, gempa, maupun tanah longsor. Karena itu ia mengajak BMKG dan para ahli geologi serta bencana, juga pemerintah, agar mempelajari kearifan lokal di Indonesia.

Salah satunya dengan memahami artefak, relief, hingga petunjuk dari sang juru kunci suatu situs atau gunung yang ada di Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebenarnya, banyak tempat dan kajian untuk mengetahui terjadinya gempa di masa lalu selain prasasti. Bisa juga dari arsitektural. Lalu, ada kitab-kitab kuno yang mengatur tata cara pembangunan candi, terutama ketika ada guncangan itu dijelaskan jangan sampai ambruk atau runtuh," katanya.

Rakai menyampaikan itu dalam bincang bencana road to Ekspedisi JawaDwipa yang berlangsung via Zoom, diikuti detikJatim pada Sabtu (11/10/2022).

ADVERTISEMENT

Rakai menilai di masa sebelum Jawa Klasik atau zaman prasejarah diketahui ada massa neozlecum. Kala itu, ada kebudayaan yang dikenal budaya megalit atau batu besar. Dia pun menyebutkan tentang ditemukanya mitigasi bencana dengan meletakkan batu fondasi di bangunan semi permanen.

"Sekarang batu itu dikenal dan disebut batu payudara, karena bentuknya memang menyerupai payudara manusia. Dengan adanya artefaktual, baik dari temuan artefak, teknofak, sampai ideofak, juga ditemukan mitigasi tentang banjir," ujarnya.

Khusus soal Banjir, Rakai menjelaskan bahwa pada masa Jawa Kuno ditemukan cara mengantisipasi banjir di dalam Prasasti Adi Parwa dan Bomo Kawya yang disebut dengan 'Wah'.

"Zaman dulu, dibangun bendungan dan harus ada pemecahan arus pada bulan-bulan tertentu. Saat musim hujan pada November misalnya, termasuk di wilayah Kamalagyan, sekarang Sidoarjo dan sekitarnya, volume atau debit air yang lebih besar tidak lari ke laut sehingga terjadi banjir. Nah itu isinya Kamalagyan tentang bagaimana memecah debit air, itu bisa jadi salah satu tempat untuk susur JawaDwipa di Jatim," ujar pria yang juga tergabung dalam Tim Ahli Sejarah Kota Malang itu.

Sejak zaman dulu masyarakat telah mengenal tsunami. Namun, penyebutannya adalah Rwab atau Rob. Meski penyebutan tersebut dijelaskan lebih detail dan gamblang di dalam prasasti yang ada.

Rakai menjelaskan bahwa dalam temuan prasasti dan relief Kamalagyan itu air laut yang memuntahkan ke daratan adalah Rwab. Lalu, hal itu juga dijelaskan dalam Nagara Kertagama era Hayam Wuruk bahwa Rob membanjiri dan memuntahkan air ke daratan.

Tim BMKG di Era Hayam Wuruk. Baca di halaman selanjutnya.

Kitab Negara Kertagama juga menjelaskan bahwa di era kepemimpinan Hayam Wuruk ada orang-orang tertentu yang namanya tidak tercatat yang bertugas untuk mengawasi tanda-tanda terjadinya bencana alam.

"Di negara kertagama 80.4, Hayam Wuruk punya orang-orang tertentu yang tidak kita temukan namanya untuk mengawasi bencana-bencana alam di wilayah-wilayah yang telah dia kunjungi," sambungnya.

Rakai menegaskan visi misi Hayam Wuruk pelesiran ke sejumlah candi di Indonesia adalah supaya aman dari bencana. Artinya, dia mengantisipasi kerusakan candi dari bencana, bukan dari musuh.

Menurutnya, BMKG dengan kearifan lokal zaman dulu disebut tidak kalah canggih meski tidak menggunakan teknologi mutakhir seperti saat ini.

"Di kawasan Jember ada wihara tepi laut dengan harapan para pemuka agama di sana menjaga dan mengabarkan fenomena alam. Mereka di sana melakukan hal-hal yang bisa memberikan magnet kepada orang di situ, kemudian untuk mengabari masyarakat agar menghindar lalu kembali saat sudah surut. Nah, itu BMKG zaman dulu," ujarnya.

Rakai menyebut, salah satu kunci konkret yang pernah terabadikan adalah semasa hidup Mbah Marijan. Sejak dulu hingga sepeninggalnya, Mbah Marijan adalah juru kunci Gunung Merapi.

Rakai menyatakan bahwa kemampuan-kemampuan seperti itulah yang ada pada masa klasik dan seyogyanya masih bisa diaplikasikan saat ini. Meski, juru kunci itu bukan orang yang sakti mandraguna nan ajaib.

"Bukan karena mereka sakti, tapi memang, benar-benar tahu cirinya. Sehingga kita samakan dengan ilmu astronomi itu bisa dicirikan. Nah orang-orang seperti itulah yang dibutuhkan raja agar masyarakatnya terhindar dari bencana alam," katanya.

Tak ayal, di era kerajaan, jauh sebelum Indonesia ada, Rakai mengatakan sudah ada sejumlah petuah untuk masyarakat agar merawat pepohonan. Supaya, saat ada hujan lebat, debit air tidak mengalir deras sampai membanjiri wilayah bawah. Termasuk tentag peringatan menghindari gempa bumi.

"Zaman dulu adanya relief, misalnya mitigasi gempa bumi yang saya gambarkan dengan Watu Kenong atau Watu Gong. Selain itu, ada lagi bangunan-bangunan yang pakai umpak. Itu semuanya tersirat dalam relief Parthayajna," kata dia.

Tidak hanya itu, imbauan mitigasi bencana juga tercatat dalam beberapa kitab sastra tutur. Misalnya tentang sungai yang mana seluruh rakyat di era itu diimbau agar menjaga kebersihan sungai agar terhindar dari banjir.

"Imbauan terkait mitigasi bencana sudah ada sejak dulu, kalau dulu ada di dalam sastra tutur di Tantu Panggelaran. Dulu, mereka menekankan agar jangan sampai sungai itu kotor karena bisa terjadi banjir. Nah pesan itu sudah ada sejak zaman klasik," ujarnya.

Halaman 2 dari 2
(dpe/iwd)


Hide Ads