Suasana penuh ketegangan terjadi di Gedung Internatio pada tanggal 30 Oktober 1945, sore. Sebuah perundingan gencatan senjata akan digelar setelah Inggris semakin terpojok di Perang 3 Hari melawan para pejuang di Surabaya.
Di luar gedung, ratusan Arek-arek Suroboyo bersenjata seadaanya tampak berkumpul seolah mengepung gedung. Sedangkan tentara Inggris berada di dalam gedung yang memang sudah terpojok.
Dalam perundingan itu, Pihak Indonesia diwakili Koesnandar, Roeslan Abdulgani, Doel Arnowo, dan Soengkono. Sedangkan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Shotern (AWS) Mallaby berada di dalam mobilnya yang terparkir di depan gedung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun saat akan dimulai perundingan, sebuah tembakan entah dari mana asalnya tiba-tiba menyalak. Aksi balas tembakan tak terelakan, kekacauan pecah saat itu juga. Para perwakilan yang hendak masuk ke gedung pun langsung berlari dan berlindung di sungai Kali Mas bersama para pejuang.
Dalam insiden itu, perwira tinggi Inggris Brigadir Jenderal Mallaby dinyatakan tewas. Ia tewas tertembak saat di dalam mobilnya yang juga hangus karena ledakan granat yang dilempar oleh prajuritnya sendiri, yang sebenarnya ingin membubarkan kerumunan. Granat itu meledak di dekat mobil Mallaby.
Tewasnya Mallaby adalah bencana untuk sekutu. Hal ini membuat Panglima Sekutu Asia Tenggara, Letjen Philip Christison murka. Ia mengancam akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menggempur Surabaya.
Benar saja, Pasukan Inggris Divisi V dengan kekuatan 24 ribu tentara, 21 tank Sherman dan 24 pesawat terbang di bawah pimpinan Jenderal EC Mensergh berangsur dikirim ke Surabaya. Pengiriman ini terjadi sejak tanggal 4 hingga 9 November dikirim ke Surabaya.
Tak lama, perang Surabaya kembali pecah pada tanggal 10 November 1945. Tewasnya Mallaby dijadikan dalih Inggris menggempur Surabaya selama 21 hari. Namun, siapa sosok yang menewaskan Mallaby tak pernah diungkap atau disebut secara jelas.
Hingga suatu kali, seorang wartawan Harian Sore Surabaya Post bernama Amak Altuwy menulis bahwa pemuda yang menewaskan Mallaby adalah Abdul Azis. Tulisan tersebut ditayangkan di koran berjudul 'Kesaksian Saya Mengenai Terbunuhnya Brigadir Mallaby' tertanggal 10 November 1982.
Dalam ulasannya, Altuwy menyebut, Abdul Azis berasal dari kawasan Ampel dan saat peristiwa itu terjadi berusia sekitar 16-17 tahun. Altuwy juga mengungkapkan bahwa Abdul Azis tercatat sebagai anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dari kesatuan wilayah Sambongan.
Pegiat sejarah Surabaya, Kuncarsono Prasetyo mengatakan, apa yang diungkapkan Altuwy di Harian Surabaya Post bukan tanpa dasar. Sebab, Altuwy merupakan salah seorang pelaku sejarah dalam pertempuran itu sendiri.
Tulisan Altuwy, lanjut Kuncar, juga dikuatkan dengan keterangan dalam buku induk Perang Surabaya. Buku tersebut merupakan kumpulan kesaksian para veteran pertempuran dan khususnya saksi mata peristiwa tewasnya Mallaby.
Selanjutnya, Abdul Azis tetap tak mengakui sampai akhir hayatnya.
"Abdul Azis itu memang fakta pertama yang diungkap sama Altuwy, wartawan Surabaya Post. Karena pertama, Altuwy itu memang orang Ampel. Kedua, dia juga ikut peristiwa dan kemudian jadi wartawan. Nah, Haji Abdul Azis ini tinggalnya di Ampel Menara dulu. Jadi pada tahun 1970, para veteran itu membuat kesaksian dan ditulis dalam buku induk perang Surabaya," terang Kuncar.
"Tapi Haji Abdul Azis sendiri anehnya tidak ikut menulis atau memberi kesaksian. Nah, apakah pelakunya Abdul Azis saat itu? Kesaksian para veteran ini saling 'menjahit'," ujar inisiator forum diskusi sejarah Begandring Soerabaia itu.
Menurut Kuncar, usai menembak Mallaby, Abdul Azis saat itu kemudian melapor ke salah satu tokoh TKR Doel Arnowo. Mendapat laporan itu, Doel Arnowo kaget lalu meminta Abdul Azis merahasiakan dan jangan pernah mengungkapkan aksinya itu.
"Nah di sana (Kalimas) Abdul Azis kemudian melapor bahwa telah menembak mati Mallaby. Dan Doel Arnowo yang kemudian pernah menjadi wali kota itu meminta Abdul Azis menyembunyikan rahasia. Sehingga hingga akhir hayatnya, Abdul Azis tidak pernah mengaku dia pelakunya," jelas Kuncar.
Kuncar menambahkan permintaan Doel Arnowo ke Abdul Azis juga tidak pernah diketahui apa alasan pastinya. Namun, dia menilai hal itu berkaitan dengan Konvensi Jenewa terkait larangan menembak seseorang jika bukan dalam situasi perang.
"Pertimbangannya mungkin karena kalau mengakui, kita sebagai pelaku (penembak Mallaby) itu kan tidak gentle. Dalam perjanjian perang Jenewa kan tidak diperbolehkan dalam keadaan tidak perang orang kemudian ditembak," tutur Kuncar.
Dia melanjutkan, usai terbitnya tulisan Amak Altuwy di Surabaya Post, Abdul Azis kemudian banyak dicari oleh wartawan dan para sejarawan. Namun, Abdul Azis tetap bungkam tak mengakui. Bahkan, Kuncar menyebut Abdul Azis sempat menyembunyikan diri dan tinggal di Kota Batu, Malang hingga akhir hayatnya.
"Setelah diungkap di tulisannya Altuwy, Abdul Azis ini kemudian banyak dicari untuk dimintai keterangan. Tapi tetap nggak mau (mengaku). Bahkan dia sempat menghindari dan menyembunyikan diri ke Batu dan tinggal di sana," ungkap Kuncar.
"Jadi kalau ada yang berhasil mewawancarai Abdul Azis itu pasti bukan pengakuan dari dirinya. Karena Abdul Azis tetap diam sampai akhir hayatnya. Abdul Azis sendiri meninggal dan dimakamkan di Batu sana," tambah Kuncar.
Meski telah diungkapkan Altuwy, tewasnya Mallaby sendiri masih tetap berselimut kabut misteri hingga ini. Karena dua versi yang berkembang terkait kematian Mallaby masih belum terpecahkan.
"Dalam mobil yang ditumpangi Mallaby itu sebenarnya ada dua orang dari Inggris dan Belanda. Nah, mereka sempat mengakui dan menyaksikan bahwa memang ada pemuda yang diduga Abdul Azis itu menembak Mallaby, tapi tidak sampai mati. Tapi Mallaby tewas karena terkena ledakan granat yang dilempar," terang Kuncar.
"Pada versi yang lain, Mallaby memang telah tewas karena terkena tembakan Abdul Azis ini dan kemudian disusul dengan lemparan granat. Jadi sebenarnya masih sumir antara dua versi ini sampai sekarang," tandas Kuncar.