Jumat, 10 November 1945, pesawat tentara sekutu menyebarkan kertas pamflet dari atas langit Surabaya. Isinya yakni ultimatum agar senjata yang dikuasai pejuang Surabaya diserahkan dengan mengangkat tangan ke atas.
Penyerahan senjata ini diberi waktu hingga 10 November 1945 pukul 06.00 WIB. Jika tidak, maka sekutu akan menggempur Kota Surabaya dari laut, udara dan darat. Ultimatum ini buntut dari tewasnya perwira Inggris Brigadir AWS Mallaby di Jembatan Merah pada 29 Oktober 1945.
Ultimatum ini jelas membuat ketegangan di segala penjuru Surabaya. Sebab Inggris jelas lebih unggul dalam pengalaman dan persenjataan. Namun sebagai bangsa yang telah memproklamirkan diri, ultimatum tak digubris dan dijawab dengan perlawanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak lama pada pukul 17.00 WIB di Jalan Pregolan 4 Surabaya, seluruh kekuatan elemen rakyat berkumpul. Mereka menyatakan sikap akan mempertahankan Surabaya. Di antara elemen ini terdapat Jibakutai atau Barisan Berani Mati (BBM).
![]() |
Jibakutai merupakan salah satu laskar elite pada Pertempuran 10 November 1945. Para anggotanya merupakan didikan Jepang. Sesuai namanya, laskar ini siap mengorbankan diri ala pasukan Jepang Kamikaze atau Kaiten.
Achmad Zaki Yamani, pegiat sejarah Surabaya mengatakan Jibakutai memang dihimpun kembali dalam rangka menghadapi Pertempuran 10 November 1945. Cirinya mereka selalu berseragam hitam-hitam.
"Para anggotanya ini mantan pasukan Jibakutai didikan Jepang. Jadi mereka dididik siap melakukan serangan dengan mengorbankan diri. Makanya dinamakan Jibakutai atau dalam perang Surabaya disebut Barisan Berani Mati," kata Zaki kepada detikJatim.
"Mereka ini pakaiannya hitam-hitam. Meski dididik Jepang. Mereka bukan PETA yang juga bentukan Jepang sama seperti Heiho, Putera dan lainnya. Tapi mereka khusus dididik menjadi pasukan berani mati," imbuhnya.
Selanjutnya, Jibakutai melebur dan menjadi Batalyon Mayangkara...