Keluarga Fokker Tinggalkan Blitar Demi Pendidikan-Bisnis Pailit

Keluarga Fokker Tinggalkan Blitar Demi Pendidikan-Bisnis Pailit

Erliana Riady - detikJatim
Minggu, 24 Apr 2022 14:20 WIB
Lokasi rumah ADM Kebon Njoenjoer di radius kurang dari 5 km puncak Kelud, tepatnya di Desa Soso Kec Gandusari Kab Blitar
Rumah ADM Perkebunan Njoenjoer (Foto: Erliana Riady/detikJatim)
Blitar -

Sedikit demi sedikit keluarga Fokker memperluas wilayah mereka di Blitar. Herman Fokker memperoleh sewa di sekitar 500 hektar di lereng selatan Kelud.

Seperti dikisahkan dalam fiksi The Flying Dutchman Who Shaped American Aviation, 29 September 1880, Herman Fokker tidak sendirian di sana. Ada 64 pekebunan bertani di sekitar kota kecil provinsi Wlingi.

Njoenjoer, seperti yang dikenal secara lokal, terletak di medan miring, naik dari 1.300 ke 1.500 kaki di ketinggian. Itu terletak di antara aliran Sungai Semut dan Soso, berdekatan dengan Dusun Semen, lebih tinggi di lereng Kelud.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari rumah perkebunan dengan dinding lumbung yang diplester, ke galeri-galeri yang teduh di sekitarnya. Di "ruang tamu luar" mereka, sang ayah dan ibu memiliki kursi goyangnya sendiri. Meja makan juga di luar. Nah terlepas dari rumah itu, berdiri dapur.

Di halaman depan, Tony dan Toos memainkan mesin pengupas kopi. Ketika mesin tidak berfungsi, seperti yang terjadi sebentar-sebentar, wanita pribumi menyortir dan mengambil kacang dan kulit mereka. Tak lama kemudian lumbung dan tanaman coklat juga menjadi bagian dari dunia mereka.

ADVERTISEMENT

Keluarga Fokker hidup stabil di perkebunan Njoenjoer. Mereka memelihara dua kuda, sapi, ayam, bebek, dan bahkan seekor monyet bernama Kees. Sedikit lebih jauh, di tepi halaman, berdiri watermill. Herman Fokker sang ayah membuat instalasi pipa drainase yang dikaitkan dengan Sungai Soeso. Ini juga berfungsi sebagai pemandian.

Halaman air mancur kecil dengan atap merah runcing, detail luar biasa yang ditangkap dalam lukisan cat minyak halus yang dibuatnya pada Juni 1892 juga dioperasikan dari pipa air.

Di sisi lain rumah itu sekitar 160 kaki di atas bukit, rumah pengawas itu berdiri. Di dekat situ kampung tempat para pekerja Njoenjoer tinggal. Di luar titik itu, kopi diregangkan, dengan semak kopi tinggi dan rendah yang diselingi tanaman kakao.

Tinggi di atas ini, pohon naungan yang ditanami secara khusus naik dengan batang telanjang mereka. Untuk Tony kecil, ini adalah tempat paling indah yang bisa dia bayangkan. "Itu seperti surga".

Tempat itu menjadi surga bagi Tony kecil, tapi tidak bagi kedua orang tuanya, Herman dan Anna. Varietas kopi "Jawa" yang ditanam Herman sangat rentan. Kopi hasil panen sejak 1888 mengecewakan.

Pada tahun bencana 1890, seluruh panen di Jawa runtuh karena penyakit ini. Bisnis kopi mereka jatuh hingga 80 persen. Dua tahun berikutnya meningkat tetapi pada 1893 panen turun lagi hingga mencapai 61 persen.

Sementara persaingan lokal meningkat pesat. Setiap tahun membawa perkebunan baru, membawa tekanan pada harga. Pada tahun 1893 satu kilo kopi diambil 13 persen kurang dari tahun sebelumnya.

Herman dan Anna duduk di beranda mendiskusikan apa yang harus dilakukan. Di tengah suara-suara khas yang terdengar melalui jendela-jendela yang kusut itu, Tony dan Toos mendengar keseriusan suara orang tua mereka. Mereka berpikir ibu dan ayahnya khawatir tentang pilihan untuk pendidikan mereka.

Pada April 1893 Herman meminta saudaranya Anthony untuk menilai Perkebunan Njoenjoer. Dia percaya bahwa dirinya telah menginvestasikan sebagian besar warisannya dan begitu banyak upaya kerjanya sehingga nilai kebun itu mencapai 175.000 gulden ($70.000).

Tetapi penilai tidak melihatnya bahkan di angka 150.000 gulden ($ 60.000). Itu jauh dari apa yang Herman inginkan sehingga upaya menjual perkebunan itu gagal. Herman pun mencoba menjual properti itu secara pribadi, menempatkan iklan untuk Njoenjoer di lokomotif, surat kabar perdagangan, serta iklan Semarang pada Desember 1893.

Walaupun keluarga Fokker mandiri secara finansial, mereka mulai berpikir meninggalkan Hindia Belanda. Tanpa menjual perkebunan dia mendapat dorongan dari saudara laki-laki Herman, Anthony, mentornya yang kuat di Batavia.

Pada Mei 1894 dia pun berangkat ke Belanda bersama keluarganya. Mengingat keadaan bisnisnya semakin tidak menguntungkan dan bukan ide baik untuk tetap tinggal di Wlingi. Apalagi setelah empat bulan hujan angin melanda Wlingi dan mengancam panen mereka.

Herman dan Anna Fokker pun meninggalkan Hindia Belanda dengan dua anak mereka di awal musim kemarau pada 1894. Perabotan dan barang-barang rumah tangga seperti kebiasaan kolonial dilelang ke pihak yang berkepentingan. Namun penjualan perkebunan itu sendiri masih belum terjadi selama beberapa tahun setelah kepergiannya.

Sementara itu, dia berusaha mencari pembeli di Belanda. Butuh waktu hingga Maret 1896 sebelum ia akhirnya menyetujui tawaran sekitar 160.000 gulden. Sebelas investor Belanda dari 'Den Haag berputar ke keluarga Evers yang makmur dan bersatu dalam' s-Gravenhaagsche Koffie Cultuur Maatschappij (Perusahaan Kopi Den Haag).

Mereka akhirnya membayar Perkebunan Njoenjoer itu senilai 120.000 gulden ($ 48.000). Itu suatu kebetulan. Karena pajak Njoenjoer waktunya dibayar pada 1897 sudah membengkak. Philip Evers putra pendiri perusahaan kopi itu yang menjadi penanam baru.

Saat itu keadaan tidak berjalan lancar di Njoenjoer. Perkebunan pada 1898 tidak lagi terdaftar di Almanak Pemerintah. Pada tahun itu beberapa operator prasarana menarik diri dari distrik Wlingi.

Letusan Gunung Kelud pada Mei 1901 menghancurkan apa yang tersisa dari perkebunan. Pada tahun 1911, tanah itu telah habis dan rusak, serta hampir dikuasai oleh hutan belantara.

Perjalanan keluarga Fokkers pada 1894 dari Wlingi ke Batavia cukup menyenangkan. Pengalaman pertama membawa mereka ke Malang dengan mobil, jarak sekitar 60 mil. Dari sana ada layanan kereta ke Surabaya, di mana mereka naik kapal uap ke Batavia. Sehari kemudian Fokker bertolak dengan kapal dari Pelabuhan Tandjung Priok-Batavia.

Pada 16 Mei mereka memulai perjalanan dengan kapal uap Van Diemen, kapal barang dengan akomodasi penumpang dari Royal Packet Company yang membawa mereka ke Singapura.

Pemberhentian pertama perjalanan panjang ke Belanda dari pagar buritan kapal yang diarsir, mereka menyaksikan Hindia Belanda tropis surut dan perlahan menjadi lebih sempit. Tetapi pemandangan ini membuat perasaan Anthony Fokker campur aduk.




(dpe/fat)


Hide Ads