Jejak Anthony Fokker di Blitar Sirna Setelah Letusan Kelud Melanda

Jejak Anthony Fokker di Blitar Sirna Setelah Letusan Kelud Melanda

Erliana Riady - detikJatim
Rabu, 20 Apr 2022 14:12 WIB
njoejoer
Rumah ADM Perkebunan Njoejoer Blitar (Foto: Erliana Riady/detikJatim)
Blitar -

Dokumen kelahiran Anthony Fokker, sang pembuat pesawat tempur Perang Dunia (PD) I tertulis di Almanak Belanda. Dokumen itu menulis bahwa Anthony lahir dan tinggal di sekitar area perkebunan Njoenjoer (Nyunyur) Blitar. Namun, jejak kelahiran itu kini tak tersisa akibat letusan Gunung Kelud.

Buku biografi Anthony Fokker: The Flying Dutchman Who Shaped American Aviation, menulis bahwa Anthony dilahirkan Minggu, 6 April 1890. Dia tinggal di perkebunan Njoenjoer, Desa Soso Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar itu hingga usia 4 tahun.

Pada Mei 1894, keluarga Fokker kembali ke Belanda untuk pendidikan anak-anak mereka. Perabotan dan barang-barang rumah tangga mereka dilelang. Sang ayah, Herman Fokker juga menjual perkebunan Njoenjoer kepada keluarga Philip Evers dari Den Haag pada awal Maret 1896.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perkebunan Njoenjoer tidak lagi terdaftar di Almanak Pemerintah Belanda sejak tahun 1898. Pada tahun itu, sejumlah operator prasarana menarik diri dari distrik Wlingi. Kemudian, letusan Gunung Kelud pada Mei 1901 menghancurkan sisa perkebunan. Pada tahun 1911, tanah tersebut telah habis dan digantikan oleh hutan belantara.

"Terakhir yang Kelud meletus tahun 1990 itu, bangunan depan yang bekas pabrik zaman Belanda runtuh semua," tutur Suwantoyo (72), pekerja kebun Njoenjoer paling tua kepada detikJatim, Senin (18/4/2022).

ADVERTISEMENT

Menurut pria yang akrab disapa Mbah Yo itu, letusan tahun 1990 berlangsung selama 45 hari. Yaitu 10 Februari hingga 13 Maret. Sebelum peristiwa itu, kebun Njoenjoer berulang kali luluh lantak terkena lontaran material vulkanik gunung berapi itu. Dan sampai saat ini, tampak batu-batu besar di areal perkebunan maupun persawahan.

Bahkan, sebuah batu besar masih tertancap kuat di sisi timur rumah administratoor (ADM) perkebunan. Kini, rumah itu tampak sebagai bangunan baru. Pengelola perkebunan sekarang, Dwi Setyo Rahadi menyebut, bangunan itu direnovasi sekitar tahun 1970an.

"Kalau disebut kebun Nyunyur satu-satunya ya disini ini. Setelah dialihkan ke pihak swasta, dulu namanya Perkebunan Nyunyur Baru. Kemudian berpindah ke PT Kismo Handayani sampai saat ini. Dari dulu rumah ADM ya disini. Cuma ini direnovasi sekitar tahun 70an," jelas Dwi.

Sementara itu, perkebunan ini pernah mengalami kebangkrutan/pailit akibat dari gejolak ekonomi global saat dikelola perusahaan NV Handels Vereniging Amsterdam. Besarnya utang kepada bank tidak dapat dilunasi, sehingga lahan perkebunan yang diusahakannya menjadi terlantar.

Lahan-lahan yang telantar ini akhirnya dikelola oleh masyarakat bekas buruh dari perusahaan perkebunan Belanda tersebut. Selanjutnya, pasca kemerdekaan tahun 1945, wilayah perkebunan tersebut dikelola oleh Pusat Perkebunan Negara (PPN). Akan tetapi pada tahun 1949, pengelolaan tersebut dibatalkan oleh pihak PPN sendiri. Meski demikian, buruh-buruh tetap mengelola lahan tersebut.

Pada Februari 1963, Pemkab Blitar mengajukan permohonan kepada Menteri Pertanian dan Agraria agar lahan tersebut bisa dijadikan objek landreform (kepemilikan pemerintah). Permohonan itu pun dikabulkan.

Lantas, Pemkab Blitar meredistribusikan lahan garapan tersebut kepada masyarakat setempat. Namun, saat Orde Baru berkuasa tahun 1974, lahan redistribusi seluas 100 Ha tersebut dimasukkan ke dalam wilayah Hak Guna-Usaha (HGU) atas nama PT Nyunyur Baru.

PT Nyunyur Baru lalu menjanjikan masyarakat sebanyak 185 KK itu untuk pindah ke lahan baru dan ganti rugi. Namun, masyarakat memilih untuk tetap bertahan, sehingga PT Nyunyur Baru mengusir paksa masyarakat tersebut.

Lokasi pemindahan yang telah dijanjikan oleh PT Nyunyur seluas 100 Ha tidak dikabulkan seluruhnya. Hanya 50 KK dari 185 KK yang menerima ganti rugi tersebut. Maka dari itu, masyarakat menuntut Pemkab Blitar untuk mengembalikan lahan garapan awal yang berada dalam kuasa PT Nyunyur Baru.

Meski dikabulkan, lahan yang diserahkan ternyata terjal dan berbatu sehingga tidak layak untuk digarap. Justru lahan suburnya adalah objek milik kuasa PT Nyunyur Baru. Pihak perusahaan mengajukan kembali HGU atas sisa tanah perkebunan Nyunyur seluas 368 Ha untuk jangka waktu 25 tahun (1985-2010).

"Kami sudah redistribusi tanah seluas 83 hektare. Dan sisanya sedang proses mengurus perpanjangan HGU kembali," pungkas Dwi.




(hse/sun)


Hide Ads