Seperti dikisahkan dalam fiksi The Flying Dutchman Who Shaped American Aviation. Pada 29 September 1880, Herman Fokker memperoleh sewa di sekitar 500 hektar di lereng selatan Kelud.
Dia tidak sendirian, ada 64 petani di sekitar kota kecil provinsi Wlingi yang turut serta. Mereka menetap di Perkebunan Njoenjoer, demikian nama perkebunan itu dikenal secara lokal, di medan miring naik dari 1.300 ke 1.500 kaki di ketinggian.
Perkebunan itu juga terletak di antara aliran Sungai Semut dan Soso serta berdekatan dengan Dusun Semen, lebih tinggi dari lereng Kelud. Saat itu, tugas yang menunggu Herman di properti barunya, seperti diceritakan M. L. J. Dierikx, bukanlah hal yang mudah.
Untuk mulai menanam, Herman harus membersihkan hutan dan tanah. Ini berarti perlu adanya upaya pemindahan dan pembakaran pohon dan semak yang ada di lokasi perkebunan. Setelah itu, tanah harus diratakan dan diatur menjadi perkebunan terstruktur di mana bibit kopi bisa tumbuh.
Sebelum 1883 silam, perkebunan Njoenjoer memiliki pabrik kopi pertama yang siap ditanami. Dalam tiga tahun, Herman menanam kopi di lahan 175 hektar dengan sebanyak 113.567 semak kopi.
Herman mengerjakan itu semua kesabaran tinggi. Hingga dia mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan ukuran 50 are pada Mei 1885. Setelah persiapan, Herman pun menanam 9.544 semak belukar pada 1888 dan 1889, hingga membuahkan kopi berkualitas baik pada 1891.
Menurut perkiraan Herman sendiri, perkebunan kopi itu menghasilkan panen lebih dari 30.000 pound kopi pada 1893 dengan nilai pasar sekitar 60.000 gulden (tafsiran sekitar $ 24.000) di Batavia.
Namun biayanya juga tidak sedikit. Herman telah menghabiskan 265.385 gulden di Njoenjoer. Sebagian pada mesin pengupasan Lidgerwood yang mahal yang ternyata benar-benar mengecewakan.
"Selain itu penanaman tahun 1888 dan 1889 sangat merugi. Penyakit daun kopi yang ditakuti dan jamur menghancurkan seluruh panen di Jawa saat itu," kata penelusur sejarah Blitar Prabowo dalam terjemahan bebasnya, Minggu (24/4/2022).
Pada tahun-tahun pertamanya di Njoenjoer, Herman Fokker lebih sibuk. Pada 1888 tepatnya pada 13 Januari, ia berangkat ke Semarang dengan kapal Uap Pangeran Alexander dari Perusahaan Kapal Induk Hindia Belanda, menuju Batavia.
Tepat 2 minggu kemudian, ia berangkat dari sana ke Belanda, di atas Semarang atau Hotterdamsche Lloyd. Niatnya mencari pendamping hidup untuk diajak tinggal di sebuah rumah di antara kebunnya di Njoenjoer.
Pada 1888 seorang wanita Belanda di perkebunan Jawa masih cukup jarang. Sebagian besar petani kopi mencari kasih sayang lebih dekat ke rumah dan hidup dalam pergundikan dengan wanita pribumi.
Namun Herman Fokker telah mencari cinta dalam lingkaran keluarga sendiri. Pada akhir Februari ia menginjakkan kaki di tanah Belanda di Rotterdam dan bertunangan dengan sepupunya yang berusia 22 tahun, Anna Diemont. Pernikahan itu menjadi penguat hubungan antara keluarga Fokker dan Diermont.
Pada bulan Oktober 1884. Herman dan Anna menukar sumpah awal mereka pada 18 Maret. Upacara pernikahan itu sendiri diadakan di Arnhem 11 hari kemudian. Pasangan muda itu pun berangkat ke Amsterdam pada 23 Juni di atas kapal Putri Marie untuk perjalanan kembali ke Hindia Belanda.
Akhir Agustus 1888, pasangan itu akhirnya tiba di Njoenjoer. Di sana, di rumah perkebunan sederhana dengan galeri yang luas dan ide-ide atap kantilever yang dibangun Herman bahwa pernikahan mereka mulai terbentuk.
Lalu lahirlah Catarina (Toos) anak perempuan pertama. Disusul kemudian Anthony Fokker yang ketika dewasa dikenal sebagai pencipta pesawat tempur D VII pada Perang Dunia I.
Bagi Tony dan saudara perempuannya, Toos, tahun-tahun awal Njoenjoer adalah sumber kenangan indah. Di dalam lingkaran kecil anak-anak Belanda yang dijaga ketat oleh babu pribumi dan perawat pribadi.
(dpe/fat)