Sejumlah bangunan peninggalan masa kolonial Belanda masih berdiri kokoh di Tulungagung. Namun hingga kini belum ada yang ditetapkan menjadi cagar budaya. Kenapa?
Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Tulungagung, Triono mengatakan beberapa konstruksi peninggalan Belanda tersebut terdiri dari bangunan rumah, kantor, jembatan maupun DAM. Bangunan itu bahkan ada yang berusia hampir 100 tahun.
"Kalau peninggalan Belanda itu banyak, seperti bekas Kantor Pengadilan Negeri Tulungagung di depan SMPN 1, kemudian Jembatan Plengkung, Dam Cluwok. Kemudian Hotel Tanjung," kata Triono, Selasa (22/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sekian banyak peninggalan kolonial itu, sebagian besar masih berdiri kokoh dan difungsikan masyarakat.
"Tapi belum ada yang ditetapkan sebagai cagar budaya," ujarnya.
Baca juga: Menengok Rumah Masa Muda SBY di Pacitan |
Menurutnya, proses penetapan menjadi cagar budaya (CB) tidaklah mudah. Karena terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Diantaranya, minimal berusia 50 tahun dan memiliki nilai khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan.
"Untuk usia bangunan memang sudah memenuhi persyaratan, kemudian secara sejarah juga ada yang punya nilai khusus," imbuhnya.
Namun, rata-rata tidak memiliki bukti otentik terkait sejarah bangunan tersebut. Bukti-bukti perjalanan sejarah hanya sebatas pada pendapat masyarakat.
"Misalkan jembatan Plengkung itu rekaman sejarahnya hanya ada secara oral atau pendapat masyarakat. Kalau insinyurnya siapa tidak tahu, ini yang masih kami cari," jelasnya.
Hal yang sama juga terjadi pada bangunan bekas Kantor PN Tulungagung. Bangunan bergaya indische tersebut juga masih berdiri tegak, bahkan menjadi saksi bisu sejarah perjalanan peradilan di Tulungagung.
"Kalau terkait bekas PN ini kami kesulitan untuk mengakses data-data sejarahnya, karena di kantor pengadilan di Tulungagung saat ini tidak bisa kami mintai, harus ke Jakarta. Nah ini perlu biaya banyak," ujarnya.
Persoalan lain juga muncul dalam proses untuk ditetapkan sebagai cagar budaya, yakni status kepemilikan bangunan yang sebagian adalah milik swasta. Sebab, apabila bangunan milik swasta dan ditetapkan menjadi CB, maka pemerintah wajib untuk melakukan perawatan.
"Kalau milik swasta dan ternyata anggaran yang disiapkan untuk perawatan minim, kan jadi repot juga," imbuh Triono.
Dari catatan TACB, konstruksi yang dinilai menarik adalah Jembatan Plengkung dan bekas Kantor PN Tulungagung. Jembatan yang dibangun pada 1925 itu hingga kini masih berdiri kokoh dan dimanfaatkan masyarakat untuk menyebrang sungai.
"Kalau dari cerita masyarakat, jembatan ini sebetulnya adalah jembatan kereta api yang digunakan mengangkut tebu dan gula dari PG Mojopanggung ke stasiun Tulungagung. Kalau jembatan orang itu yang dua kecil di sampingnya itu," tambah Triono.
Namun, seiring tidak dioperasionalkan lagi kereta di atas jembatan itu, sehingga dialihfungsikan menjadi jembatan orang dan kendaraan lain.
"Dari cerita, jembatan itu pernah dibom Belanda sendiri pada masa transisi dengan Jepang, tapi tidak roboh. Konon itu juga ada kaitannya dengan Kiai Abdul Fattah," jelasnya.
"Sedangkan untuk bekas PN, saya yakin catatan sejarahnya ada, hanya tinggal komitmen dari daerah seperti apa, kalau berniat bisa ditelusuri di Jakarta. TACB akan membantu mendorong dan memprosesnya," pungkas Triono.
(hil/fat)