Dusun Daleman, Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Klaten sejak lama dikenal sebagai sentra kerajinan tusuk sate. Namun seiring waktu, kerajinan itu meredup.
Dusun Daleman letaknya hanya sekitar 200 meter dari makam pujangga Keraton Surakarta, R Ng Ronggowarsito. Dusun tersebut bukan satu-satunya penghasil kerajinan dari bambu sebab di beberapa dusun lain terdapat perajin besek (wadah dari anyaman bambu).
Salah satu perajin tusuk sate yang tersisa, Nandar (70) menceritakan kerajinan tusuk sate sudah ditekuninya sejak tahun 1970 an. Dulunya di Desa Palar banyak yang membuat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu banyak tapi sekarang tusuk sate tinggal sini, yang lainnya ganti untuk tusuk cilok dan siomay karena harian. Sekarang yang sulit bahannya," katanya kepada detikJateng di rumahnya, Sabtu (31/5/2025) siang.
Pantauan detikJateng di rumah Nandar, batang bambu ori dikeringkan lebih dulu sebelum dipotong. Bambu kemudian dipotong 20 sentimeter dan dibelah menjadi bilah kecil untuk dihaluskan.
Istrinya, Paikem dan anaknya kemudian menghaluskan bambu tersebut. Setelah halus satu per satu bambu tusuk diikat dan dimasukkannya kardus.
"Hari biasa cuma 200 ikat per minggu, sekarang ini 300 ikat. Naik 100 ikat per minggu untuk stok," ungkap Paikem (65).
Paikem menuturkan, biasanya permintaan akan meningkat menjelang Idul Adha. Permintaan biasanya datang dari berbagai wilayah di Klaten.
"Pembeli dari Kecamatan Cawas ada, Gentongan (Kecamatan Kalikotes) ada, Tulung juga ada. Dari Jakarta ada cuma ongkos kirimnya yang mahal tidak dilanjut," kata Paikem.
Menurut Paikem, tusuk sate buatan keluarganya berbahan bambu jenis ori. Tahun ini harga bahan bakunya naik sebesar Rp 2.000 per batang.
"Per batang harganya naik Rp 2.000, tahun lalu Rp 20.000 sekarang Rp 22.000. Dengan bambu lain tidak bisa karena kurang keras," terang Paikem.
Untuk bahan, lanjut Paikem, biasanya dari Kabupaten Wonogiri. Satu batang bambu bisa menghasilkan 75-100 ikat tusuk sate.
"Satu batang biasanya 75-100 ikat dengan panjang 20 sentimeter. Per ikat isinya 50 batang tusuk sate dengan harga Rp 3.000, untuk siomai Rp 2.000," sambung Paikem.
Lebih lanjut, Paikem menyatakan, kendala tahun ini adalah pada bahan bambu yang sulit didapatkan. Akibatnya produksi tidak bisa banyak dan tidak ada lembur.
"Tidak ada lembur, wong tidak ada bahan. Tahun-tahun lalu biasanya sampai lembur karena permintaan pasti meningkat," kata Paikem.
Kasi Pemerintahan Desa Palar, Didit Agung Prihantoro membenarkan dusun tersebut dulu banyak perajin tusuk sate. Kerajinan itu sudah ada sejak dulu.
"Sejak dulu. Dulu banyak tapi sekarang sudah jarang. Kemungkinan karena kendala harga jualnya,'' ungkap Didit.
(aku/aku)