Hadi Siswanto alias Hadi Candi memilih tak terbawa arus dalam berbisnis. Sesuai nama panggilannya, pria lajang berusia 35 tahun ini menekuni kerajinan miniatur candi berbahan tanah liat. Bisnisnya itu tetap eksis sejak 15 tahun silam.
Hadi berkecimpung di dunia kesenian sejak 1998. Kala itu, di usianya yang masih remaja, ia bekerja di kerajinan patung cor kuningan di Desa Bejijong, Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Ya, dari situ lah keterampilannya terus diasah bertahun-tahun. Salah satunya keterampilan mengukir.
Ketika ayahnya meninggal dunia tahun 2006, Hadi dipaksa memutar otak. Betapa tidak, mau tidak mau ia menggantikan posisi ayahnya menjadi tulang punggung keluarga, karena ia anak pertama dari 5 bersaudara. Penghasilannya dari bekerja di industri patung cor kuningan tak cukup untuk menafkahi ibu dan keempat adik laki-lakinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seniman warga Dusun Tegalan, Desa/Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto ini secara bertahap beralih ke kerajinan terakota. Sambil masih bekerja di kerajinan patung cor kuningan, Hadi mengisi waktu senggang dengan belajar membuat miniatur candi berbahan tanah liat.
Tak tanggung-tanggung, proses belajarnya itu memakan waktu 3 tahun lebih. Ia menekuni kerajinan yang berbeda seolah enggan terbawa arus. Karena mayoritas perajin di dekat tempat tinggalnya memproduksi patung cor kuningan dan patung batu.
"Coba-coba membuat candi dari tanah liat selama 3 tahun lebih. Awalnya dibeli dengan harga murah, saya kasihkan dari pada tidak ada untuk makan. Lama-lama banyak tamu yang datang, saya kasihkan ke pembeli yang harganya lebih mahal," kata Hadi saat berbincang dengan detikJatim di rumahnya, Senin (25/9/2022).
![]() |
Bisnisnya terus bergulir setelah melalui tahap belajar yang cukup panjang. Sampai-sampai, namanya dikenal dengan Hadi Candi. Selama ini, ia hanya membuat miniatur satu model candi yang artistik. Desain ini terinspirasi Candi Penataran peninggalan Kerajaan Kadiri di Blitar, Candi Jawi peninggalan Singasari di Pasuruan, serta Gapura Bajangratu peninggalan Majapahit di Trowulan.
Bagian kaki candi dihiasi ukiran bunga teratai di keempat sisinya. Terdapat tangga lengkap dengan pipi tangga menuju ke pintu yang tembus dari sisi depan ke belakang. Ukiran bunga menghiasi pipi tangga, gawang pintu hingga dinding kanan dan kiri candi. Tepat di atas pintu candi, terdapat ornamen wajah kala. Begitu juga di sisi kanan dan kiri candi.
Kepala atau mahkota candi terdiri dari 6 susun. Masing-masing susun dihiasi ukiran bunga pada keempat sisinya. Sedangkan hiasan sudut-sudut mahkota candi berupa ukiran kepala kala berbentuk bunga. Pintu candi sengaja hanya dibuat pada sisi depan dan belakang. Karena kalau dibuat di empat sisi, miniatur candi akan mudah patah.
"Model candinya hanya satu, varian produk saya hanya pada ukurannya. Mulai dari tinggi 70 cm, 110 cm, 150 cm, sampai 250 cm," terangnya.
Setiap miniatur candi dibuat Hadi secara manual, sehingga membutuhkan ketelitian dan waktu yang lama. Namun, harga yang ia patok tergolong ramah di kantong. Yaitu Rp 550 ribu untuk miniatur candi setinggi 70 cm, Rp 950 ribu ukuran 110 cm, Rp 1,7 juta ukuran 150 cm, serta ukuran 250 cm seharga Rp 5 juta.
"Fungsinya beragam. Sebagai tempat meletakkan sesaji di pura, hiasan pagar, hiasan taman, hiasan tepi kolam," jelasnya.
Rumitnya proses pembuatan replika candi, baca di halaman selanjutnya!
Proses Pembuatan Miniatur Candi yang Rumit dan Lama
Layaknya kebanyakan candi peninggalan Kerajaan Majapahit, miniatur candi buatan Hadi juga menggunakan bahan dasar tanah liat. Ia menghabiskan 5 hari untuk menyiapkan bahan saja. Semula, tanah liat hitam ia rendam dengan air di sebuah bak di halaman rumahnya. Lumpur tanah liat itu lantas ia saring dan dipindahkan ke bak kedua untuk menghilangkan kerikil.
Lumpur tersebut ia diamkan selama 4 hari sampai mengendap. Selanjutnya endapan tanah liat ia pindahkan ke bak ketiga yang terbuat dari tatanan bata merah. Permukaan tanah liat yang sudah lembut itu juga ia tutup dengan bata merah untuk mempercepat berkurangnya kadar air. Kemudian tanah liat itu ia aduk-aduk sebelum dicetak menjadi miniatur candi.
"Perlakuan untuk tanah liat ini agar menghasilkan miniatur candi yang kuat dan tidak mudah pecah," cetusnya.
Produksi miniatur candi berlanjut ke tahap pencetakan. Dibantu salah seorang adik kandungnya, Hadi mencetak tanah liat menjadi bentuk kasar miniatur candi. Miniatur setinggi 250 dan 150 cm ia cetak dalam 4 bagian. Sedangkan produk yang tingginya 110 cm dan 70 cm ia cetak menjadi 3 bagian. Yaitu kaki, tubuh dan kepala candi.
Setiap bagian lalu diukir secara manual untuk membentuk garis-garis bata dan berbagai ornamen yang menghiasinya. Hadi dan adik kandungnya mengukir miniatur candi ini menggunakan sebilah bambu yang dibentuk mirip pisau. Sedangkan ornamen kepala kala untuk sudut-sudut mahkota candi dibuat terpisah.
"Pengeringan tidak bisa di bawah sinar matahari langsung karena bisa pecah. Makanya itu pengerjaan dan pengeringannya di dalam ruangan," ujarnya.
Oleh karena itu, tahap pengeringan miniatur candi membutuhkan waktu sangat lama. Karena Hadi membiarkan setiap miniatur yang selesai diukir kering dengan sendirinya di suhu kamar. Pengerjaan dan pengeringan ia lakukan di ruang tamu rumahnya. Miniatur setinggi 150 cm setidaknya membutuhkan waktu 3 minggu sampai benar-benar kering. Sedangkan produk setinggi 70 cm itu baru 2 pekan bisa kering.
Belum lagi tahap pembakaran. Tahap ini baru dilakukan Hadi ketika miniatur candi benar-benar kering dan jumlahnya sesuai kapasitas tungku pembakaran miliknya. Yaitu 4 miniatur candi 150 atau 110 cm dan 10 ukuran 70 cm. Strategi ini ia tempuh untuk menekan biaya pembakaran. Karena setiap pembakaran selama 5 jam menghabiskan kayu jati seharga Rp 300 ribu.
"Misalnya hari ini dibakar, besoknya baru diangkat menunggu benar-benar dingin. Setelah itu menempelkan ornamen-ornamen," terangnya.
![]() |
Sebagai tahap akhir, setiap miniatur candi dihaluskan permukaannya dengan mesin gerinda. Selanjutnya, dicat menggunakan oker yang dicampur lem. Rumitnya produksi miniatur ini membuat Hadi sangat jarang bersedia menerima pesanan. Karena ia tidak mau mengecewakan pembeli dari sisi kualitas produk maupun ketepatan waktu menyelesaikan pesanan.
"Karena kalau pengerjaannya terburu-buru, hasilnya jelek dan sering kali rusak. Misalnya masih basah dibakar, pasti pecah. Makanya saya main stok, tidak berdasarkan pesanan," jelasnya.
Terkait pesanan, Hadi belajar dari pengalamannya sekitar 5 tahun lalu. Kala itu, ia mendapat pesanan 300 miniatur candi ukuran 70 cm untuk pembangunan sebuah resort di Bali. Ia hanya diberi waktu 3 bulan untuk menyelesaikannya.
"Saya kerjakan berdua dengan adik saya. Waktu pengerjaan molor satu minggu," ungkapnya.
Bersama adik kandungnya, Hadi setiap hari membuat miniatur candi. Seperti bulan ini, ia menghasilkan 4 miniatur candi 150 cm, 10 miniatur candi ukuran 110 cm dan 20 miniatur 70 cm. Produk-produk ini akan ia kirim ke teman-temannya di Bali setelah benar-benar selesai dengan sempurna. Ia mengaku mempunyai banyak teman yang bergerak di bidang konstruksi dan dagang produk kesenian.
"Kalau pengerjaan benar-benar selesai semua, baru saya kabari teman-teman saya di Bali. Pengiriman saya titipkan ke teman-teman perajin patung cor kuningan untuk menghemat biaya," cetusnya.
Hadi hanya bersedia menerima pesanan yang waktu pengerjaannya tidak dibatasi waktu. Ia tidak pernah memasarkan produknya melalui media sosial. Selama ini, ia mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut. Meski begitu, pembeli produknya datang dari Bali, Yogyakarta, Jakarta dan Gresik. Tempat usahanya di tepi Jalan Nasional Surabaya-Madiun membuat pembeli kadang kala tiba-tiba mampir.
"Saya pernah membuat miniatur candi setinggi 250 cm dipesan pura Tengger dan Gresik," tandasnya.