Kisah Louis Braille, Ciptakan Sistem Baca-Tulis untuk Tunanetra di Usia 15 Tahun

ADVERTISEMENT

Kisah Louis Braille, Ciptakan Sistem Baca-Tulis untuk Tunanetra di Usia 15 Tahun

Devita Savitri - detikEdu
Kamis, 19 Sep 2024 09:30 WIB
khataman Al-Quran braille
Ilustrasi. Kisah hidup Louis Braille, pencipta sistem baca-tulis bagi tunanetra. Foto: Aprilia Devi
Jakarta -

Pada tahun 1819, Louis Braille yang kala itu berusia 10 tahun menjadi siswa termuda yang pernah diterima di Royal Institute for Blind Youth, Paris. Ketika menjadi siswa, ia sedih ketika mengetahui bila perpustakaan sekolahnya hanya memiliki tiga buku.

Hal ini karena satu-satunya sistem mencetak buku bagi tunanetra saat itu adalah huruf timbul. Proses pencetakannya sulit, sehingga hanya sedikit buku yang dibuat.

Pada saat itu, Braille mencari solusi agar dirinya bisa membaca dan menulis dengan cepat. Hingga penemuannya membuat gempar dan berguna hingga masa kini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip dari laman History, begini kisah hidup Louis Braille yang akhirnya menciptakan sistem baca-tulis yang mengubah dunia pada usia 15 tahun.

Kehidupan Masa Kecil

Louis Braille lahir di desa Coupvray, Prancis pada tahun 1809. Ia adalah anak bungsu dari empat bersaudara yang lahir sehat dan sempurna.

ADVERTISEMENT

Ayah Braille, Simone-Rene adalah seorang pengrajin tali kekang. Sejak kecil, Braille dikenal sebagai anak yang penuh rasa ingin tahu. Sehingga ia kerap menemani sang ayah di bengkelnya.

Suatu ketika, Simone-Rene tengah berbincang dengan seorang klien. Baru berusia 3 tahun kala itu, Braille mengambil alat penusuk tali kekang dari meja kerja ayahnya.

Ia meniru sang ayah dan mencoba menusuk alat tajam itu ke sepotong kulit. Tapi tangannya terpeleset.

Penusuk itu akhirnya menusuk mata kiri Braille dan berakibat fatal. Dokter desa hanya bisa mengoleskan salep herbal. Tetapi luka itu sudah dalam dan menjadi infeksi.

Lebih buruk lagi, infeksi itu segera menyebar dari mata kiri ke mata kanan Braille. Kejadian kala itu akhirnya membuat hidupnya berubah dan tak pernah lagi melihat cahaya matahari pagi.

Pada awal abad ke-19, kebanyakan tunanetra tidak memiliki harapan untuk hidup. Mereka biasanya dilembagakan atau dibiarkan mengemis di jalanan.

Namun Braille berbeda. Ia diberkati dengan keluarga yang penuh kasih sayang dan mendapat pendidikan yang layak. Braille bersekolah di sekolah desa, bisa memainkan alat musik, dan dibantu mengerjakan tugas di rumah.

Simone-Rene tidak membedakan Braille dengan anak-anaknya yang lain. Ia tetap mengajarkan alfabet kepada putranya itu dengan memaku papan hingga berbentuk huruf-huruf.

Braille akhirnya belajar alfabet dengan memperbanyak huruf menggunakan potongan jerami. Karena tetap belajar seperti anak normal lainnya, Braille sangat cerdas.

Ia mengungguli semua teman sekelasnya. Karena itu, kepala sekolah mendorong orang tua Braille untuk mendaftar di Royal Institute for Blind Youth.

Lembaga tersebut adalah sekolah pertama untuk mereka yang memiliki disabilitas netra di seluruh dunia. Braille berhasil masuk sekolah tersebut di usianya yang baru berusia 10 tahun dengan beasiswa.

Sistem Baca-Tulis Tunanetra Pertama

Royal Institute for Blind Youth didirikan pada tahun 1784 oleh Valentin Hauy. Hauy adalah pendidik muda Prancis yang terkejut dengan pertunjukan jalanan dengan materi mengejek orang buta.

Akhirnya ia mendirikan sekolah yang layak, dengan satu siswa pertama bernama Farcois Lesueur, seorang pengemis buta. Untuk mengajari Lesueur membaca, Hauy membuat alfabet dari balok kayu dan menyusunnya di rak.

Secara tidak sengaja, Hauy akhirnya mengetahui bila Lesueur juga dapat mengenali lekukan di sisi belakang halaman cetak. Hal itu memberi ide baru bagi Hauy.

Ia akhirnya mencetak huruf timbul yang lebih besar menggunakan lembaran kertas lilin. Setelah berbagai percobaan, Hauy akhirnya menemukan sistem primitif pertama untuk mengajarkan siswa tunanetra cara membaca.

Sistem ini juga diperkenalkan Braille ketika masuk sekolah pada tahun 1819. Ketika Braille akhirnya berhasil mendapatkan tiga buku berhuruf timbul milik sekolah, ia sangat kecewa.

Karena proses menguraikan huruf timbul yang besar itu sangat lambat. Akhirnya belajar pun jadi terhambat, bahkan Braille sering lupa kata-kata dari awal kalimat yang telah ia pelajari.

Peran Kapten Barbier

Dengan keterbatasan yang ada, Braille muda bertekad untuk menemukan cara membaca dan menulis dengan lancar. Hingga inspirasi datang pada tahun 1821, ketika seorang kapten Angkatan Darat Prancis yang sudah pensiun mengunjungi sekolahnya

Ia adalah Kapten Charles Barbier yang bertugas di bawah perintah Raja Louis XVII dan menghabiskan waktu di Korps Sinyal. Barbier merancang bahasa rahasia untuk komunikasi militer.

Namun, bahasa rahasia ini ditolak oleh Angkatan Darat Prancis. Tetapi, ia pikir bahasa itu dapat merevolusi kemampuan membaca dan menulis para tunanetra.

Di medan perang, suara atau kedipan cahaya apapun bisa memberi tahu musuh tentang posisi kita. Sehingga Barbier menyebut sistemnya sebagai night writing atau tulisan malam.

Nama itu dipilih karena sistem itu dapat ditulis dan diuraikan dalam keheningan dan kegelapan total. Sistem Barbier ini menggunakan titik-titik timbul yang dilubangi di kertas. Cara membacanya diraba dengan jari.

Simbol-simbol ini dibuat menggunakan kisi-kisi yang terdiri dari dua ruang horizontal dan enam ruang vertikal. Jumlah dan orientasi titik-titik di setiap kisi menentukan bunyi yang dihasilkan simbol. Kata-kata dieja secara fonetis, bukan huruf demi huruf.

Ketika Barbier memperkenalkan sistemnya, Braille baru berusia 12 tahun. Namun, ia sudah terkesan dengan sistem itu.

Titik-titik timbul jauh lebih mudah dan cepat dirasakan daripada cetakan huruf timbul. Akibatnya ia sering bereksperimen dengan sistem tersebut. Semakin dicari tahu, semakin banyak kekurangan yang mulai terlihat.

Menurut Braille, kisi 12 titik terlalu besar karena memerlukan 100 titik untuk satu kata. Karena setiap simbol mewakili bunyi fonetik, maka siswa tunanetra tidak akan pernah belajar cara mengeja dengan benar.

Sistem Barbier juga benar-benar tentang kalimat dan mengecualikan simbol untuk tanda baca, angka, atau notasi musik. Hal ini dinilai Braille kekurangan karena tunanetra tidak bisa mempelajari matematika tingkat tinggi atau bahkan menulis musik.

Sistem Barbier Disempurnakan

Usai mengenal sistem Barbier, Braille menghabiskan setiap menit luangnya di sekolah untuk mengutak-atik sistem penulisan titik timbul. Hal ini dilakukannya selama tiga tahun.

Ada berbagai perbaikan yang dilakukan Braille, seperti:

1. Memotong ukuran kisi menjadi setengahnya. Dua spasi di bagian melintang dan tiga spasi di bagian bawah. Sehingga totalnya adalah 6 spasi.

2. Setiap simbol di sistem Braille mewakili satu huruf alfabet, bukan bunyi. Huruf A hingga J dibuat dengan kombinasi yang berbeda yakni kombinasi empat spasi pertama di bagian atas kisi.

Sedangkan huruf K hingga T, pola titik diulang dalam urutan yang sama dengan penambahan satu titik di bagaian bawah. Terakhir huruf U hingga Z mengikuti sebelumnya tetapi dengan tambahan dua titik di baris bawah.

3. Setiap pola huruf juga bisa mewakili angka jika ada simbol khusus.

4. Ada tanda baca juga sehingga lebih lengkap dari sistem Barbier.

Hingga akhirnya pada musim gugur tahun 1824, Braille mempersembahkan sistem titik timbulnya kepada kepala sekolah Royal Institute. Ia adalah Dr Alexandre Rene Pignier.

Penulisan yang dilakukan Braille sangat cepat bahkan satu dekade kemudian, ia berhasil mencapai kecepatan 2.500 titik per menit. Penemuan siswa berusia 15 tahun ini membuat Pignier tercengang.

Kepala sekolah akhirnya mulai memakai sistem titik timbul Braille di Royal Institute. Ia juga menulis surat kepada menteri pendidikan yang merekomendasikan penerapan teknik Braille secara nasional. Namun saat itu rekomendasi ini diabaikan.

Pada usia 19 tahun, Braille diangkat menjadi profesor tunanetra pertama di Royal Institute. Ia juga resmi menerbitkan sistem titik timbulnya dalam sebuah buku yang berjudul "Method of Writing Words, Music and Plain Songs by Means of Dots, for Use by the Blind and Arranged for Them."

Sistem Braille Dipakai Seluruh Dunia

Pada tahun 1852, Braille meninggal dunia karena penyakit tuberkulosis dalam usia 43 tahun. Semasa hidupnya, sistem revolusioner milik Braille tidak diadopsi dunia luar.

Setelah perdebatan yang panjang mengenai sistem alternatif mana yang bisa digunakan tunanetra, pada tahun 1932 dunia menggunakan metode Braille.

Tahun 1952, pemerintah Prancis memindahkan jenazah Louis Braille dari pemakaman sederhana di Coupvray (tanah kelahiran Braille) ke Pantheon di Paris. Pemakaman ini adalah tempat para pahlawan Prancis beristirahat.

Namun atas permintaan warga Coupvray, tangan Braille tetap berada di dalam guci kecil yang disimpan di desa tersebut. Dalam sebuah perayaan yang menandai peringatan 100 tahun kematian Braille, Helen Keller menyampaikan pidato di hadapan para pejabat internasional.

"Kami, para tunanetra berutang budi kepada Louis Braille seperti halnya manusia berutang budi kepada Gutenberg (penemu mesin cetak)," kata Keller.

"Huruf timbul di bawah jari-jari kami (kini) adalah polong berharga yang menumbuhkan kekayaan intelektual kami. Tanpa sistem titik, betapa kacau dan tidak memadainya pendidikan kita," tutup Keller.




(det/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads