Beragam polemik, pro kontra, hingga argumen turut mewarnai kenaikan harga BBM di Indonesia. Namun di balik itu semua, pengamat ekonomi Unair menilai langkah yang dilakukan pemerintah sudah tepat.
Pengamat Ekonomi asal Unair Surabaya, Dr. Wisnu Wibowo menilai, langkah pemerintah dalam menaikkan harga BBM memang menjadi satu pilihan yang tidak bisa dihindari. Sebab, salah satu pemicu kenaikan BBM adalah kenaikan harga minyak bumi di pasar dunia.
Wisnu mengatakan, hal ini sudah berlangsung beberapa bulan lalu. Pemerintah juga sudah mencoba untuk melakukan proses adjusment. Namun, meski harga minyak dunia sudah cenderung menurun, tapi masih jauh di atas asumsi APBN yang kala itu berkisar 54 sampai 60 US$ per barel.
"Sekarang, kemudian dampak APBN-nya semakin lama menjadi semakin besar ya, bahkan sudah tembus Rp 502 triliun untuk subsidi. Karena, memang dari sisi kuota untuk BBM yang bersubsidi itu juga membengkak, mau tidak mau maka kemudian penyesuaian untuk harga BBM harus dilakukan," kata Wisnu saat dikonfirmasi detikJatim, Minggu (4/9/2022).
Dosen Makroekonomi dan Ekonomi Moneter itu menjelaskan, dalam titik ini, pemerintah harus membuka ruang diskusi secara terbuka kepada masyarakat. Terutama, terkait situasi fiskal yang dihadapi pemerintah dengan tujuan tetap menjaga suistanability dalam kesinambungan fiskal.
Lalu, soal dampak yang ditimbulkan, Wisnu menyebut ada memberikan dampak jangka pendek dari kenaikan harga BBM. Ada yang bersifat langsung dan tidak langsung.
"Karena, memang BBM ini selain dikonsumsi langsung oleh masyarakat menengah ke bawah, juga menjadi salah satu input bagi salah berbagai sektor, baik industri maupun jasa transportasi," ujarnya.
Selain itu, Wisnu menegaskan, kenaikan BBM juga berdampak pada inflasi. Ia menganggap, naiknya harga pertalite dan pertamax di Indonesia, berpotensi meningkatkan inflasi di kisaran 2%.
"Padahal, kalau terjadi kenaikan inflasi 1%, itu bisa berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,21%, dengan demikian kalau misalnya inflasi ini berdampak pada kisaran 2%, baik dari efek langsung atau tidak langsung, maka nanti pertumbuhan ekonomi juga akan mengalami kontraksi 0,5% dari seharusnya," tuturnya.
Oleh karena itu, Wisnu menekankan agar pemerintah bisa melakukan edukasi kepada masyarakat. Menurutnya, kebijakan itu adalah alternatif terakhir bagi pemerintah selain demi pertumbuhan ekonomi.
"Tentu saja, inflasi ini kan berpotensi meningkatkan beban biaya hidup masyarakat, yang kita khawatirkan kelompok rentan yang miskin ya, mereka yang diduga banyak mengonsumsi BBM pertalite, dia yang memiliki gaji yang sedikit atau di kisaran UMR," katanya.
(hil/fat)