Aktivitas tambang emas ilegal di Kecamatan Pesanggaran kembali menjadi sorotan. Ini setelah akademisi mengungkap sejumlah temuan terbaru terkait dampak ekologis dan sosial di wilayah Petak 56.
Kerusakan ekologi ini tepat di bawah garis lintang -8.6086918 dan garis bujur 114. 0738545.
Akademisi dan Lurah Mukadimah Institute Mahasin Haikal Amanullah mengungkapkan kenyataan tersebut setelah melakukan eksplorasi dalam rangka riset kolektif bersama sejumlah mahasiswa Komite Mahasiswa Diaspora Banyuwangi (KMDB) di Petak 56, Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, pada Senin (1/12/2025).
Baca juga: Polres Bangkalan Tutup 7 Tambang Ilegal |
Kekosongan Tata Kelola Pemerintahan Jadi Akar Masalah
Menurut Mahasin Haikal Amanullah atau yang akrab disapa Haikal, fenomena Petak 56 Pesanggaran tidak hanya lahir dari kerusakan lingkungan. Ia menyebut perlu adanya pembedahan secara sistemik karena dampak ekologis yang dihasilkan hanya sebuah efek domino dari paradoks sosial dan apolitic pemerintahan desa.
"Jika ditinjau dari aspek antopo-ekologi, Illegal Mining Expands Where the State Withdraws, tambang ilegal tumbuh saat kehadiran negara mundur," ujar Haikal mengutip Roy Abrahan Rappaport, Rabu (10/12/2025).
Haikal menegaskan, masalah bukan hanya isu ekonomi dan kerusakan lingkungan, tetapi kekosongan tata kelola pemerintahan, salah satunya yang terjadi di masyarakat Petak 56.
Haikal menguraikan, anomali terstruktur dari kesenjangan ekologis di Petak 56. Hasil temuannya menunjukkan adanya aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang secara logis memaksa wilayah ini memasuki zona abu-abu.
Menurutnya, hal ini senada dengan pemikiran Giorgio Agamben, fenomena di mana hukum, moral, dan ekologi dipaksa berbenturan. Maka dari itu, ia mengingatkan publik untuk lebih detail dalam mengeja realitas sosial yang terjadi di Pesanggaran.
Haikal menilai, pelaku illegal mining di Petal 56 bukan satu-satunya objek dosa ekologis. Alih-alih akibat, variabel tersirat itu menunjukkan sebab, seiring dengan apa yang tertera salam buku Slow Violence and the Environmentalism of the Poor (2011).
"Ketika pemerintah desa kehilangan legitimasi sosialnya, masyarakat lokal akan berhenti melihatnya sebagai keadilan sosial dan mereka akan memperjuangkan keadilan versi mereka sendiri. Saya dapat menyebutnya sebagai variabel (sebab) yang tak tersentuh tadi," tegasnya.
Premis ini diperkuat oleh pengakuan salah seorang tokoh illegal mining berinisial RI.
"Pemerintah desa sedikit abai pada kemaslahatan desa, Mas. Asal tahu saja, bahwa kita juga terlibat dalam pembangunan mikro desa, termasuk pavingisasi," ujarnya menirukan apa yang disampaikan RI.
Alumni Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UINKHAS) Jember yang sedang menempuh jenjang S2 itu menyebut hal ini sebagai statemen implikatif dari relasi kuasa yang timpang. Ketiadaan forum dialog, musyawarah yang inklusif, dan senjangnya kepercayaan membuat desa tampak berjalan dengan otoritas tertutup.
Simak Video "Video: Polisi Bongkar Kasus Tambang Ilegal di Gorontalo, 3 Orang Ditangkap"
(irb/hil)