Tambang Emas Ilegal Pesanggaran Tinggalkan Jejak Kerusakan Ekologi

Tambang Emas Ilegal Pesanggaran Tinggalkan Jejak Kerusakan Ekologi

Jihan Navira - detikJatim
Kamis, 11 Des 2025 08:33 WIB
Tambang Emas Ilegal Pesanggaran Tinggalkan Jejak Kerusakan Ekologi
Akademisi soroti tambang emas ilegal di Banyuwangi/Foto: Istimewa
Banyuwangi -

Aktivitas tambang emas ilegal di Kecamatan Pesanggaran kembali menjadi sorotan. Ini setelah akademisi mengungkap sejumlah temuan terbaru terkait dampak ekologis dan sosial di wilayah Petak 56.

Kerusakan ekologi ini tepat di bawah garis lintang -8.6086918 dan garis bujur 114. 0738545.

Akademisi dan Lurah Mukadimah Institute Mahasin Haikal Amanullah mengungkapkan kenyataan tersebut setelah melakukan eksplorasi dalam rangka riset kolektif bersama sejumlah mahasiswa Komite Mahasiswa Diaspora Banyuwangi (KMDB) di Petak 56, Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, pada Senin (1/12/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kekosongan Tata Kelola Pemerintahan Jadi Akar Masalah

Menurut Mahasin Haikal Amanullah atau yang akrab disapa Haikal, fenomena Petak 56 Pesanggaran tidak hanya lahir dari kerusakan lingkungan. Ia menyebut perlu adanya pembedahan secara sistemik karena dampak ekologis yang dihasilkan hanya sebuah efek domino dari paradoks sosial dan apolitic pemerintahan desa.

ADVERTISEMENT

"Jika ditinjau dari aspek antopo-ekologi, Illegal Mining Expands Where the State Withdraws, tambang ilegal tumbuh saat kehadiran negara mundur," ujar Haikal mengutip Roy Abrahan Rappaport, Rabu (10/12/2025).

Haikal menegaskan, masalah bukan hanya isu ekonomi dan kerusakan lingkungan, tetapi kekosongan tata kelola pemerintahan, salah satunya yang terjadi di masyarakat Petak 56.

Haikal menguraikan, anomali terstruktur dari kesenjangan ekologis di Petak 56. Hasil temuannya menunjukkan adanya aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang secara logis memaksa wilayah ini memasuki zona abu-abu.

Menurutnya, hal ini senada dengan pemikiran Giorgio Agamben, fenomena di mana hukum, moral, dan ekologi dipaksa berbenturan. Maka dari itu, ia mengingatkan publik untuk lebih detail dalam mengeja realitas sosial yang terjadi di Pesanggaran.

Haikal menilai, pelaku illegal mining di Petal 56 bukan satu-satunya objek dosa ekologis. Alih-alih akibat, variabel tersirat itu menunjukkan sebab, seiring dengan apa yang tertera salam buku Slow Violence and the Environmentalism of the Poor (2011).

"Ketika pemerintah desa kehilangan legitimasi sosialnya, masyarakat lokal akan berhenti melihatnya sebagai keadilan sosial dan mereka akan memperjuangkan keadilan versi mereka sendiri. Saya dapat menyebutnya sebagai variabel (sebab) yang tak tersentuh tadi," tegasnya.

Premis ini diperkuat oleh pengakuan salah seorang tokoh illegal mining berinisial RI.

"Pemerintah desa sedikit abai pada kemaslahatan desa, Mas. Asal tahu saja, bahwa kita juga terlibat dalam pembangunan mikro desa, termasuk pavingisasi," ujarnya menirukan apa yang disampaikan RI.

Alumni Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UINKHAS) Jember yang sedang menempuh jenjang S2 itu menyebut hal ini sebagai statemen implikatif dari relasi kuasa yang timpang. Ketiadaan forum dialog, musyawarah yang inklusif, dan senjangnya kepercayaan membuat desa tampak berjalan dengan otoritas tertutup.

Komparasi Dampak dan Pentingnya Kritik yang Fair

Dari studi analisis kawasan, aktivitas tambang ilegal di Petak 56 secara empiris meninggalkan jejak kerusakan. Seperti bekas lubang galian tertelantarkan, hutan rusak, vegetasi hilang, hingga gangguan terhadap sistem air dan ekosistem sekitar.

Dalam momentum ini, Haikal menekankan pentingnya kritik yang adil (fair) dan tidak terbelenggu pada stereotip sosial. Termasuk tambang PT Bumi Suksesindo (PT BSI) yang sudah menjadi langganan kritik, atau tambang ilegal di Petak 56. Semua harus dianalisis dengan paradigma locus ekologi yang sama.

"Perihal dampak ekologis, Petak 56 lebih mengkhawatirkan keadaannya. Meski berskala kecil, saya belum melihat adanya transformasi ekologis di sana. Cukup berbeda dengan PT BSI dengan reklamasi progresifnya," katanya.

Haikal juga mengurai wacana pincang dan kritik sentimen yang kerap hadir dalam discours tambang.

Meminjam istilah Hermeneutics of Suspicion milik Paul Ricoeur, epistemologi suatu wacana dapat ditafsir jika ada kecurigaan terhadap motif laten yang tak pernah diucapkan. Dalam konteks ini adalah illegal mining.

"Pro-Kontra itu wajar. Saya hanya berharap ada pembacaan yang mencari kemungkinan untuk transformasi, kesembuhan, dan rekonsiliasi terhadap alam. Bukan propaganda belaka," harapnya.

Mengutip buku Symbolism of Evil (1967), ia menegaskan bahwa tidak cukup jika hanya kontra, apalagi pilah-pilih kontranya. Dominasi wacana kritik kepada PT BSI yang cukup sepihak, menurut Haikal, mengindikasikan adanya sebuah kepentingan wacana.

"Meski memakai gaya yang cukup revolusioner, terkadang dosis doxa (dogma sosial) nya lebih tebal dari pada datanya. Ironisnya, yang justru melempar bola panas itu bukanlah warga lokal, tetapi lebih sering warga tak dikenal atau dari luar wilayah, dengan semboyan perlawanan," kritik Haikal.

Konflik wacana tambang yang tak berkesudahan, baik yang berizin maupun yang ilegal, Haikal menyimpulkan bahwa wacana publik di Banyuwangi, sering terjerembab pada "The Long Journey Between Suspicion and Hope".

"Tudingan seperti itu cukup wajar, dulu saat saya masih kuliah juga ahli dalam hal itu. Saya cukup dekat kok dengan istilah kekhilafan intelektual, dasarnya makek heuristik radikal. Nuduh dulu, belajar mikir kemudian," cetusnya menanggapi tudingan terhadap tulisannya.

Mengutip Michel Foucault, ia mengingatkan bahwa setiap kehadiran wacana, termasuk wacana revolusioner (kritik tambang) sekalipun, juga mengandung relasi kuasa yang tersembunyi. Kritik hanya sah bila ia sanggup mengkritik dirinya sendiri, membersihkan bias, dan menghadirkan data konkret.

"Jika struktur wacana selama ini hanya dapat memecah-belah masyarakat lokal, apa bentuk narasi alternatif yang dapat memulihkan relasi sosial-ekologis di sana? Jangan jadikan wilayah selatan Banyuwangi, sebagai simtom dari prahara ini," pinta akademisi sekaligus Lurah Mukadimah Institute ini.

Pemuda asal Dusun Sukopuro Wetan, Desa Sukonatar, Kecamatan Srono, Banyuwangi ini menambahkan. Dari apa yang dia temukan dilapangan, warga lokal di Pesanggaran merasa lelah dibenturkan dengan PT BSI yang kehadirannya banyak berkontribusi.

Sementara itu, kebanyakan peniup wacana di poros berseberangan menghilang seiring konflik mencapai stadium akhir.

"Itu pengakuan absah dari warga yang pernah menjadi korban wacana," beber Haikal.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Polisi Bongkar Kasus Tambang Ilegal di Gorontalo, 3 Orang Ditangkap"
[Gambas:Video 20detik]
(irb/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads