Antara Ritual Masyarakat dan Kehidupan Mbah Darmaji di Gua Anggas Wesi

Tim detikJatim - detikJatim
Sabtu, 15 Nov 2025 14:40 WIB
Tempat tinggal manusia gua di pedalaman hutan Jombang. Foto: Enggran Eko Budianto
Jombang -

Di tengah lebatnya hutan Pegunungan Anjasmoro, jauh dari hiruk-pikuk peradaban, terdapat sebuah gua alami yang menyimpan cerita panjang sejarah dan spiritual. Adalah Gua Anggas Wesi, yang terletak di Desa Sumberjo, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang.

Gua ini selain menjadi tempat ritual masyarakat dan peziarah, juga merupakan rumah bagi seorang pria bernama Sudarmaji, yang akrab disapa Mbah Darmaji. Ia telah menetap di gua ini selama puluhan tahun, menjalani kehidupan sederhana sambil menjaga warisan spiritual yang diwariskan dari cerita rakyat Majapahit.

Meski terpencil, gua ini memiliki daya tarik tersendiri bagi peziarah dan penelusur sejarah. Namun, keberadaan manusia gua menimbulkan keresahan bagi warga sekitar karena kondisi gua yang kumuh dan sulitnya mengontrol penghuni yang menutup diri.

Jejak Sejarah dan Lokasi Gua Anggas Wesi

Gua Anggas Wesi berada di kawasan hutan Pegunungan Anjasmoro, bagian dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jombang. Tepatnya di petak 37F, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Sumberjo, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Jabung.

Luasnya 0,1 hektare dan termasuk hutan kawasan penggunaan khusus (KPKh). Gua ini berada di sebuah ngarai dengan mulut gua yang besar, diapit sungai kecil yang mengalir dari pegunungan menuju dataran rendah Kecamatan Mojoagung.

Jalurnya sulit ditempuh. Jika dari rumah warga Sakri (76) dan Poniyem (50) di Hutan Watuseno, Dusun Jabung, Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto, dibutuhkan 35 menit naik sepeda motor melewati jalan setapak berliku dan curam.

Setelah itu, pengunjung masih harus berjalan kaki menuruni medan sekitar 50 meter dari lokasi parkir. Letak yang terpencil dan jejak sejarah menjadikan gua ini sebagai lokasi spiritual yang sakral.

Menurut cerita turun-temurun, Gua Anggas Wesi dikaitkan dengan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit, dan Joko Suruh, abdi dalem Kediri yang bertapa di gua ini sebelum membantu mendirikan Majapahit. Karena itu, gua alami ini kerap dikunjungi peziarah untuk ritual dengan berbagai tujuan.

Ketua LMDH Mitra Wana Sejahtera Desa Lebak Jabung Achmad Yani mengatakan, Joko Suruh terlebih dahulu mandi untuk menyucikan diri di Sumber Suruh, yang berada di bawah gua, wilayah Desa Kedunglumpang, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang.

Saat meditasi di gua ini, Joko Suruh mendapat ilham untuk menemui tokoh Desa Jabung Ki Ageng Giring. "Setelah diskusi dengan Ki Ageng Giring, Joko Suruh diminta mendirikan padepokan yang namanya Majapahit sampai menjadi Kerajaan Majapahit," ungkap Yani dilansir detikJatim.

Pada zaman kerajaan, kampung di sekitar gua bernama Jabung, akronim dari Jagad Bumi Agung. Saat Majapahit mencapai kejayaan, Mahapatih Gajah Mada membentuk pasukan Bhayangkara. Konon, lokasi pembentukan pasukan elit itu menjadi Situs Budaya Petilasan Gajah Mada di Desa Lebak Jabung.

"Di petilasan ini, pernah ditemukan lingga yoni dan pahatan cap kaki, sudah dievakuasi ke BPKW XI Jatim. Saya lihat di peta KLHK, alhamdulillah petilasan ini ditetapkan sebagai kawasan hutan dalam pengelolaan khusus (KHDPK)," ungkap Yani.

Cerita turun-temurun inilah yang membuat Gua Anggas Wesi menjadi destinasi wisata religi. Mayoritas peziarah melewati Dusun Jabung, Desa Lebak Jabung, karena jalurnya paling dekat dibanding lewat Desa Pakis, Kecamatan Trowulan, atau Desa Sumberjo.

Ritual dan Kepercayaan di Gua Anggas Wesi

Letaknya yang berada di sebuah ngarai membuat gua ini tampak menawan. Mulut gua yang besar memudahkan siapapun untuk memasukinya. Di depan mulut gua terdapat sungai kecil yang mengalir dari Pegunungan Anjasmoro menuju dataran rendah wilayah Kecamatan Mojoagung dan sekitarnya.

Ruangan utama gua cukup luas sekitar 7x5 meter persegi. Alas tidur para tamu yang datang untuk ritual berada di sebelah tempat tinggal Mbah Darmaji. Sisi kanan ruangan terdapat lorong setinggi satu meter yang menuju ruang semedi. Di ujung lorong, berdiri dua arca dan sejumlah peralatan ritual yang digunakan peziarah.

Lebih dalam lagi, terdapat Gua Putri, yang menjadi tempat ritual khusus. Di belakangnya, berdiri tenda-tenda yang dihuni beberapa orang, termasuk satu keluarga dari Jogoroto, Kabupaten Jombang, yang tinggal di sana selama kurang lebih dua bulan untuk melakukan ritual spiritual.

Gua Anggas Wesi dipercaya sebagai lokasi ritual spiritual. Peziarah datang untuk meditasi, memohon berkah, atau menelusuri jejak sejarah Majapahit. Aktivitas ini dilakukan di ruang utama, Gua Putri, dan tenda-tenda di atas ngarai.

Kehidupan Mbah Darmaji di Pedalaman Hutan Jombang

Mbah Darmaji telah menghuni gua ini sejak sekitar tahun 1983, atau lebih dari 40 tahun silam. Ia berasal dariBoyolali, Jawa Tengah, dan memilih hidup sederhana di tengah hutan. Tempat tidur Mbah Darmaji berada di sisi kiri ruangan utama gua.

Kehidupannya tergantung pada pemberian pengunjung dan hasil ternak ayam yang dipeliharanya. Sesekali, ia keluar dari gua menggunakan motor bebek untuk berbelanja kebutuhan pokok, yang diparkir dan digembok di dekat gua.

"Pak Sudarmaji kalau sampai sekarang ada kalau puluhan tahun tinggal di Gua Anggas Wesi. Untuk makan, (Mbah Darmaji) mengandalkan pemberian tamu. Kalau ada tamu tidak bawa apa-apa, gerundel (menggerutu)," ungkap Sakri.

"Orang itu (Sudarmaji) rumit, ditanya tidak mau menjawab, menjengkelkan orangnya," timpal Poniyem.

Kehidupan Mbah Darmaji jarang berinteraksi dengan dunia luar dan warga sekitar, selain pengunjung yang datang untuk ritual. Ia terkenal sangat tertutup sekaligus misterius di mata warga sekitar.

Namun, keberadaan Mbah Darmaji dan penghuni lain membuat kondisi gua menjadi kumuh. Sebab, banyak peralatan dapur berserakan, panci, ember, galon, dan tungku kayu bakar memenuhi ruangan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran warga, terutama karena identitas sebagian penghuni tidak jelas.

"Kami juga resah sebagai masyarakat sekitarnya. Karena semakin bertambah orang-orang yang tidak kami kenal, tidak diketahui asal-usulnya, tidak punya identitas (menghuni gua). Kami khawatir jangan-jangan pelarian, jangan-jangan ini dan itu," ucap Yani.

Hal senada disampaikan Sakri, yang menilai keberadaan manusia gua membuat Gua Anggas Wesi kumuh. Menurutnya, pihak Perhutani pernah menegur, bahkan merelokasi Mbah Darmaji dari gua. Namun, permintaan itu hingga kini tidak diindahkan.

"Oleh mandor, mantri Perhutani (Sudarmaji) sudah dilarang di situ, karena lokasinya kotor dan bau, sehingga tamu menjadi berkurang," kata Sakri.

Gua Anggas Wesi, lanjut Sakri, menjadi destinasi wisata religi yang dulunya banyak pengunjung ritual di tempat ini. Namun, gua alami di pedalaman hutan jati tersebut kian sepi wisatawan.

Ia mengaku terakhir kali mengantarkan tamu sekitar dua tahun lalu. Belakangan ini, tamu sangat jarang berkunjung. Kalau pun ada, mereka memilih langsung ke gua mengendarai sepeda motor.

Yanipun berharap pemerintah bersama Perhutani segera mengambil langkah tegas. Agar gua alami ini tidak dihuni orang semaunya sendiri yang membuatnya kumuh dan sepi pengunjung.

"Besar harapan kami pemerintah mengambil langkah. Jelas gua ini bisa masuk destinasi pariwisata," ujarnya.

Sebab, selain Mbah Darmaji, terdapat enam orang lainnya yang menghuni area Gua Anggas Wesi. Mereka mendirikan gubuk di sebelah kanan gua atau persis di atas ngarai. Kepala Dusun Jabung Irwandi menuturkan, semua manusia gua itu tak pernah permisi maupun izin.

"Aslinya (fenomena manusia gua) ya kurang bagus, tapi mereka orang kepepet, bermasalah. Kalau tidak bermasalah tidak mungkin di situ. Makanya kalau ditanya mereka tertutup," jelasnya.

Kepala BKPH Jabung Tarmidi menegaskan pihaknya rutin memantau aktivitas penghuni gua dan menempuh upaya persuasif, termasuk menyediakan gubuk di luar gua agar aktivitas ritual tidak terganggu. Sayangnya, sebagian penghuni menolak pindah.

"Saya melihat gua itu kumuh karena ada ternak ayamnya juga. Awal 2025, saya bersama Danramil Trowulan dan mantri Perhutani nego dengan Pak Darmaji agar pindah ke gubuk di luar gua. Sekitar 50-100 meter dari gua, kami buatkan gubuk tanpa memungut apapun dari Pak Darmaji, supaya tidak mengganggu para peziarah. Namun, Pak Darmaji tidak mau pindah," terangnya.

Sedangkan enam orang yang tinggal di gubuk sebelah kanan Gua Anggas Wesi, tambah Tarmidi, merupakan satu keluarga asal Jogoroto. Kepala keluarga ini bernama Joko Mulyono. Menurutnya, mereka tinggal di tempat tersebut sejak sekitar dua bulan lalu untuk menjalani ritual.

"Kami sudah pasang komitmen dengan yang bersangkutan lewat mantri dan mandor. Apabila satu bulan ini belum pindah, kami buatkan surat pernyataan meninggalkan tempat, kami tembuskan ke alamat sesuai KTP yang bersangkutan," tandasnya.

Dengan sejarah yang panjang dan kehidupan manusia gua yang unik, Gua Anggas Wesi memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata religi. Warga berharap pemerintah dan Perhutani segera menata gua ini agar tetap lestari, aman, dan dapat dijadikan bagian dari wisata sejarah dan spiritual di Jombang.



Simak Video "Video: Fenomena Manusia Gua Jombang, 60 Tahun Hidup di Pedalaman Hutan"

(auh/irb)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork