Fenomena Manusia Gua di Jombang: Keresahan Warga dan Pandangan Sosiolog

Fenomena Manusia Gua di Jombang: Keresahan Warga dan Pandangan Sosiolog

Tim detikJatim - detikJatim
Kamis, 13 Nov 2025 14:30 WIB
Tempat tinggal manusia gua di pedalaman hutan Jombang
Tempat tinggal manusia gua di pedalaman hutan Jombang. Foto: Enggran Eko Budianto
Jombang -

Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang serba terhubung, Sudarmaji alias Mbah Darmaji, sosok yang disebut "manusia gua" dari Pegunungan Anjasmoro telah hidup menyendiri di Gua Anggas Wesi selama lebih dari empat dekade.

Fenomena keberadaannya menjadi perbincangan hangat. Di satu sisi, banyak yang menganggap pilihannya aneh dan misterius. Namun di sisi lain, sosiolog menilai langkahnya mencerminkan sisi lain dari realitas sosial manusia modern yang tertekan oleh kompleksitas zaman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keresahan Warga Sekitar

Gua Anggas Wesi berada di wilayah Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jombang, tepatnya di Desa Sumberjo, Kecamatan Wonosalam. Akses menuju gua tidak mudah, jalur berliku di tengah hutan jati lebat, curam, dan licin. Namun, di tempat sunyi itu, Sudarmaji sudah menetap selama puluhan tahun.

Pasangan suami istri Sakri (76) dan Poniyem (50), warga sekitar yang rumahnya paling dekat dengan gua, mengaku resah dengan keberadaan manusia gua tersebut. Menurut mereka, gua yang dulunya menjadi lokasi wisata religi kini jarang dikunjungi peziarah.

ADVERTISEMENT

"Oleh mandor, mantri Perhutani, (Sudarmaji) sudah dilarang di situ, karena lokasinya kotor dan bau, sehingga tamu menjadi berkurang. Untuk makan, (Mbah Darmaji) mengandalkan pemberian tamu. Kalau ada tamu tidak bawa apa-apa, gerundel (menggerutu)," kata Sakri kepada detikJatim, Jumat (7/11/2025).

"Orang itu (Sudarmaji) rumit, ditanya tidak mau menjawab, menjengkelkan orangnya," timpal Poniyem.

Keresahan serupa diungkapkan Ketua LMDH Mitra Wana Sejahtera Desa Lebak Jabung Achmad Yani. Ia khawatir karena semakin banyak orang tak dikenal yang ikut menghuni kawasan gua. Yani berharap pemerintah bersama Perhutani segera mengambil langkah tegas.

"Kami juga resah sebagai masyarakat sekitarnya. Kebanyakan orang tahunya Gua Anggas Wesi di Desa Lebak Jabung. Karena semakin bertambah orang-orang yang tidak kami kenal, tidak diketahui asal-usulnya, tidak punya identitas (menghuni gua)," terang Yani.

"Kami khawatir jangan-jangan pelarian, jangan-jangan ini dan itu. Besar harapan kami pemerintah mengambil langkah. Jelas gua ini bisa masuk destinasi pariwisata," tambahnya.

Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Jabung Tarmidi menuturkan, Sudarmaji menghuni Gua Anggas Wesi sejak sekitar tahun 1983 atau 42 tahun silam. Mbah Darmaji mengaku berasal dari Boyolali, Jateng.

Untuk bertahan hidup, Sudarmaji mengandalkan pemberian tamu karena mengaku dirinya sebagai juru kunci gua. Terkadang pengunjung membawakannya logistik dan makanan. Tak jarang pula, Sudarmaji keluar dari hutan mengendarai sepeda motor untuk belanja kebutuhan pokok.

Selain itu, Mbah Darmaji memelihara ayam di gua. Tak bisa dipungkiri, keberadaan manusia gua ini membuat Gua Anggas Wesi kumuh, sehingga para peziarah enggan datang.

"Saya melihat gua itu kumuh karena ada ternak ayamnya juga. Awal 2025, saya bersama Danramil Trowulan dan mantri Perhutani nego dengan Pak Darmaji agar pindah ke gubuk di luar gua. Namun, Pak Darmaji tidak mau pindah," terangnya.

Selain Sudarmaji, terdapat enam orang lainnya yang menghuni area Gua Anggas Wesi. Mereka mendirikan gubuk di sebelah kanan gua atau persis di atas ngarai. Kepala Dusun Jabung Irwandi menuturkan, semua manusia gua itu tak pernah permisi maupun izin.

"Aslinya (fenomena manusia gua) ya kurang bagus, tapi mereka orang kepepet, bermasalah. Kalau tidak bermasalah tidak mungkin di situ," ujar Kepala Dusun Jabung Irwandi.

Pandangan Sosiolog: Antara Pilihan Hidup dan Disintegrasi Sosial

Fenomena Sudarmaji menarik perhatian akademisi. Prof Dr Bagong Suyanto, Drs., M.Si., dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, menilai tindakan isolasi ekstrem Sudarmaji bukanlah bentuk penolakan terhadap masyarakat, melainkan jalur alternatif untuk mencari jalan keluar dari permasalahan hidup yang tidak dapat diselesaikan secara rasional.

"Seseorang yang merasa tindakan rasional tidak menyelesaikan masalah, maka jalan keluar yang dipilih biasanya tindakan irasional, termasuk yang berhubungan dengan hal-hal supranatural. Ini bukan adaptasi, bukan pula penolakan. Melainkan pilihan," ujar Prof Bagong kepada detikJatim, Senin (10/11/2025).

Menurutnya, ketika individu merasa tidak lagi menemukan solusi di ranah sosial atau ekonomi, mereka cenderung mencari makna baru melalui jalur spiritual atau mistik.

"Menilai Sudarmaji tidak bisa pakai ukuran kita. Menyendiri justru merupakan pilihan hidupnya. Ini murni perilaku individu," katanya.

Lokasi Gua Anggas Wesi yang berada jauh di pedalaman hutan membuat posisi sosial Sudarmaji semakin unik. Dalam pandangan Prof Bagong, jarak fisik yang ekstrem ini turut menciptakan jarak sosial antara Sudarmaji dan masyarakat sekitar.

"Bagi orang awam, laku Sudarmaji bukan tidak mungkin malah dianggap sebagai tuah, sehingga dia justru disegani. Namun, perilaku Sudarmaji mungkin dinilai aneh. Bagi warga yang tidak memahami konteksnya, kehadirannya bisa dianggap mengganggu," jelasnya.

Warga menyebut sebagian kebutuhan hidup Sudarmaji diperoleh dari santunan masyarakat. Hal ini, kata Prof Bagong, bisa memunculkan budaya material baru. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya langkah antisipasi sosial agar fenomena serupa tidak berkembang tanpa kendali.

"Kalau ia menjadi tergantung dan bahkan menikmati, maka nilai sakralitas lakunya menjadi pudar. Memang harus diantisipasi kemungkinan penambahan manusia yang tinggal di gua. Kalau pendekatan negara, sebaiknya melibatkan tetua adat. Kalau hanya kamuflase, pasti pelan-pelan akan terbongkar," ungkapnya.

Bagi Prof Bagong, kasus Sudarmaji mencerminkan kebutuhan manusia modern akan ruang pribadi di tengah tekanan sosial yang serba terhubung.

"Orang yang memilih keluar dari lingkaran sosialnya memang tidak lazim. Hidup soliter biasanya tidak menyenangkan," tuturnya.

Kehidupan Sudarmaji di Gua Anggas Wesi bukan sekadar kisah unik tentang manusia yang memilih menjauh dari keramaian. Ia juga menjadi cermin sosial tentang bagaimana sebagian orang mencari ketenangan di luar batas nalar umum.

Bagi sebagian warga, kehadirannya memunculkan keresahan dan kekhawatiran. Sementara itu, pandangan sosiolog menempatkan fenomena ini dalam konteks yang lebih luas, tentang manusia yang mencari makna dan ruang pribadi di tengah tekanan sosial modern.




(auh/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads