Langit di awal tahun 2007 seketika berubah muram. Di tengah euforia pergantian tahun, pesawat Adam Air DHI 574 yang membawa 102 jiwa lepas landas dari Bandara Juanda, Surabaya, menuju Manado. Namun, pesawat itu tak pernah sampai.
Hari yang semula dimulai dengan rutinitas penerbangan biasa, berakhir menjadi salah satu tragedi penerbangan terbesar di Indonesia.
Pesawat Boeing 737-400 itu bertolak dari Bandara Juanda pukul 12.59 WIB, 1 Januari 2007. Dalam rencana, pesawat akan transit di Makassar sebelum melanjutkan penerbangan ke Manado.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, dua puluh menit sebelum mendarat di Bandara Hasanuddin, Makassar, pilot mengabarkan pesawat terkena crosswind, atau angin kencang yang membuat arah terbang berubah tak menentu.
Satu menit setelah komunikasi terakhir itu, pesawat menghilang dari radar di ketinggian lebih dari 10 ribu meter.
Pukul 17.00 WIB, bahan bakar diperkirakan habis. Namun tak ada kabar. Tak ada sinyal. Tak ada tanda-tanda kehidupan.
Delapan hari kemudian, nelayan di pesisir Desa Bojo, Kabupaten Barru, menemukan serpihan sayap dan pelampung. Temuan itu menjadi harapan pertama-dan terakhir-untuk menemukan Adam Air.
Pencarian besar-besaran digelar di perairan Mamuju, Sulawesi Barat, dengan bantuan kapal riset Amerika Serikat, USNS Mary Sears.
Setelah delapan bulan pencarian, pada 28 Agustus 2007, kotak hitam Adam Air akhirnya ditemukan di kedalaman 2.000 meter di perairan Majene.
Dari rekaman flight data recorder (FDR) dan cockpit voice recorder (CVR) itulah, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap penyebab tragedi.
"Pesawat PK-KKW ini hilang dari pantauan radar pada ketinggian 35 ribu kaki," ujar KetuaKNKT TatangKurniadi dalam keterangan pers di GedungDephub, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (25/3/2008).
Rekaman flight data recorder (FDR) dan cockpit voice recorder (CVR) baru diketemukan dan diangkat pada 27 dan 28 Agustus 2007. Hasil analisa CVR menunjukkan, pilot mengalami masalah navigasi, sehingga perhatiannya terfokus pada permasalahan inertial reference system (IRS) setidaknya selama 13 menit terakhir penerbangan.
Akibatnya, pilot Kapten Revi Agustian Widodo dan kopilot Yoga hanya memberi perhatian minimal pada flight requirement lainnya, termasuk identifikasi dan usaha melakukan koreksi.
Saat terbang di ketinggian 35 ribu kaki, posisi autopilot adalah on. Untuk mempertahankan sayap pesawat tidak miring, autopilot menahan posisi stir kemudi aileron 5 derajat ke kiri.
Namun pilot melihat posisi IRS di kiri dan kanan tidak sama, alias menyimpang. Lalu kru memutuskan memindahkan IRS kanan dari posisi NAV (navigation) ke posisi ATT (attitude). Hal semacam ini biasa dilakukan saat di darat. Tetapi autopilot malah jadi off atau disengaged. Pesawat pun perlahan miring ke kanan.
Tet... Tet... Tet... Terdengar alarm peringatan autopilot mati di ruang kokpit. Tapi tak lama bunyi itu menghilang, diduga tidak sengaja dimatikan oleh pilot dan kopilotnya. Perhatian mereka berdua terfokus untuk mengoreksi IRS.
"Karena autopilot mati, seharusnya dikemudikan secara manual oleh pilot. Namun mereka tidak sadar kalau autopilot mati. Jadi pesawat terbang tanpa kendali," kata investigator KNKT Mardjono.
"Bila IRS bermasalah, pesawat masih bisa terbang. Apabila alat ini bermasalah, maka sebaiknya tidak usah diotak-atik dan menghubungi tower bandara," imbuh Mardjono.
Tiba-tiba terdengar "bank angle" sebanyak 3 kali, yang merupakan peringatan bahwa pesawat telah miring ke kanan melewati 35 derajat. Ketika bank angle 100 derajat dengan pitch attitude mendekati 60 derajat nose down, pilot tidak berusaha memiringkan pesawat ke sisi sebaliknya untuk menyeimbangkan.
Tidak terdapat tanda-tanda kedua pilot dapat mengendalikan pesawat secara tepat dan seksama sesudah peringatan bank angle berbunyi. KNKT menyebut, kecelakaan terjadi sebagai kombinasi beberapa faktor termasuk kegagalan kedua pilot dalam intensitas memonitor instrumen penerbangan, khususnya dalam 2 menit terakhir penerbangan.
Burung besi itu pun meluncur ke bawah dengan kecepatan 330 meter per detik atau sekitar 1.050 km per jam. Saat itu, pilot baru berusaha memegang kendali pesawat secara manual.
Mereka belum menyadari kemiringan pesawat lantaran kemiringan terjadi sangat perlahan, yakni 1 derajat per detik. Kepanikan pun menyergap kedua pilot itu ketika menyadari pesawat miring.
"Jangan dimiringin, jangan dimiringan," teriakan terdengar dari ruang kokpit.
Keduanya sempat membuka quick reference hand book yang tersedia pada chapter 11. Sayangnya mereka hanya membaca judul tanpa melakukan prosedur yang tertera dalam buku tersebut.
Upaya mengendalikan pesawat terlambat dilakukan. Bahkan salah satu bagian pesawat patah. Burung besi itu pun menghunjam ke perairan Majene dengan kecepatan sangat tinggi. Di dalam air, pesawat itu pecah. Karena berat jenisnya lebih besar daripada berat jenis air, serpihan pesawat banyak yang tidak mengambang.
Saat itulah nyawa 85 orang dewasa, 7 anak-anak, 5 balita, 4 awak kabin serta pilot dan kopilotnya melayang. Jasad mereka terkubur dalam laut.
Jatim Flashback adalah rubrik detikJatim yang mengulas peristiwa-peristiwa di Jawa Timur serta menjadi perhatian besar pada masa lalu. Jatim Flashback tayang setiap Sabtu. Artikel Jatim Flashback lainnya bisa klik di sini.
Simak Video "Video: Terungkap Penyelundupan Benih Lobster Senilai Rp 9 M Lewat Bandara Juanda"
[Gambas:Video 20detik]
(auh/hil)











































