Asal-usul Magetan dan Jejak Peradaban di Lereng Gunung Lawu

Eka Fitria Lusiana - detikJatim
Rabu, 08 Okt 2025 13:30 WIB
HARI JADI KABUPATEN MAGETAN. Foto: Gavriel Rama Evantya/detikJatim
Magetan -

Kabupaten Magetan tidak hanya dikenal dengan udara sejuk lereng Lawu, tapi juga dengan jejak sejarah yang panjang sejak masa Kerajaan Kediri hingga Mataram Islam. Di balik nama Magetan tersimpan kisah kesetiaan seorang tokoh bernama Ki Ageng Mageti yang menyerahkan seluruh tanahnya demi loyalitas pada kerajaan.

Terletak di 7°38′30″ Lintang Selatan dan 111°20′30″ Bujur Timur, Kabupaten Magetan, menyimpan kekayaan alam sekaligus warisan budaya yang melimpah. Menurut data BPK Jatim, wilayah ini terdiri dari 18 kecamatan, 208 desa, dan 28 kelurahan.

Asal-usul Kabupaten Magetan

Mengutip dari PPID Magetan, sejarah kabupaten ini berkaitan erat dengan masa kejayaan Kerajaan Kediri dan Mataram Islam (1588-1681 Masehi). Peninggalan berupa artefak, candi, serta prasasti beraksara Kawi menjadi bukti bahwa wilayah ini telah dihuni sejak abad ke-12.

Nama Magetan sendiri banyak disebut dalam Babad Tanah Jawi yang mengisahkan wilayah ini sebagai bagian mancanegara Kerajaan Mataram Islam. Magetan baru resmi menjadi kabupaten setelah masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Kisah pendirian Magetan tak lepas dari pergolakan politik di Mataram Islam pada masa Sultan Amangkurat I (1646-1677), putra Sultan Agung Hanyakrakusuma. Berbeda dengan ayahnya yang tegas menentang VOC, Amangkurat I justru menjalin kerja sama dengan Belanda.

Sikap ini memicu kekecewaan di kalangan ulama dan bangsawan Mataram, hingga menimbulkan berbagai pemberontakan di daerah mancanegara. Salah satu pemberontakan besar dipimpin Trunojoyo dari Madura pada tahun 1674.

Pemberontakan itu memperparah situasi Mataram yang sudah terpecah. Dalam kekacauan tersebut, dua bangsawan keraton bernama Basah Gondokusumo atau Basah Bibit dan Patih Nrang Kusumo atau Nerang Kusuma diusir karena dituduh bersatu dengan pemberontak.

Sultan Amangkurat I mengasingkan Basah Gondokusumo ke Semarang di tempat kediaman kakeknya, Basah Suryaningrat, selama 40 hari. Sedangkan, Patih Nrang Kusumo memilih meninggalkan jabatannya dan bertapa di sebelah timur Gunung Lawu.

Setelah menjalani pengasingan, Basah Gondokusumo dan kakeknya pergi ke timur Gunung Lawu untuk mencari tempat bermukim baru. Di sana, mereka bertemu Ki Ageng Mageti, tokoh bijaksana yang memimpin pembabatan hutan bersama Ki Buyut Suro dan para pengikutnya.

Mendengar asal-usul Basah Gondokusumo dan kakeknya, Ki Ageng Mageti dengan tulus menyerahkan sebidang tanah untuk mereka tinggali, sebagai bentuk penghormatan dan kesetiaan pada keraton.

Tanah itu terletak di sebelah utara Sungai Gandong, kawasan yang kini menjadi Kelurahan Tambran, Kota Magetan. Setelah menetap, Basah Suryaningrat menobatkan cucunya, Basah Gondokusumo, sebagai penguasa wilayah baru tersebut dengan gelar Adipati Yosonegoro.

Penobatan terjadi pada 12 Oktober 1675, dan penetapan resminya dikenang melalui warsa sangkala "Manunggal Rasa Suko Hambangun". Daerah itu kemudian diberi nama Magetan, sebagai upaya mengenang kebaikan Ki Ageng Mageti, dari "Mageti" kemudian menjadi "Magetian," dan akhirnya dikenal sebagai Magetan.

Peninggalan Sejarah di Kabupaten Magetan

Kabupaten Magetan dikenal sebagai daerah yang kaya akan peninggalan sejarah dan situs bersejarah yang mencerminkan perjalanan panjang peradaban di wilayah lereng Gunung Lawu.

Secara geografis, Magetan berbatasan langsung dengan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah di sebelah barat, Kabupaten Ngawi di utara, serta Kabupaten Madiun di selatan dan timur.

Sungai Gandong yang mengalir membelah wilayah Magetan menjadi dua bagian bukan sekadar aliran air, melainkan jalur bersejarah yang menyimpan banyak misteri dan jejak masa lampau.

Di berbagai penjuru Magetan, masih banyak ditemukan peninggalan purbakala dan petilasan yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah daerah ini. Salah satunya adalah petilasan makam Empu Supo di Dukuh Mandang, Desa Plumpung, Kecamatan Plaosan, yang dikenal sebagai tokoh pembuat pusaka pada masa lampau.

Kemudian ada Candi Sadon di Dukuh Sadon, Desa Cepoko, Kecamatan Panekan, yang terbuat dari batu andesit dan diperkirakan berasal dari masa akhir Kerajaan Majapahit. Tak jauh dari sana terdapat Petilasan Pengger di Dukuh Pengger, Desa Bedagung, yang juga memiliki nilai spiritual bagi masyarakat setempat.

Di puncak Gunung Lawu, berdiri sejumlah situs penting seperti Pawon Sewu (Punden Berundak), Argo Dalem, dan Sendang Drajat yang dipercaya telah ada sejak masa Majapahit.

Selain itu, terdapat pula petilasan bekas pusat pemerintahan Kabupaten Purwodadi, berupa sumur dan masjid kuno yang dikelilingi tembok serta gapura tua peninggalan masa lampau di atas lahan sekitar empat hektare.

Warisan sejarah lainnya tampak dari makam para leluhur Magetan, seperti Patih Nrang Kusumo dan Patih Ngariboyo II di Dukuh Njelok, Desa Bulukerto, serta makam Kanjeng Adipati Purwodiningrat, mertua Sri Sultan Hamengku Buwono, di Desa Pacalan, Kecamatan Plaosan.

Di Astana Gedhong, Kelurahan Tambran, dimakamkan Adipati Yosonegoro, bupati pertama Magetan yang erat kaitannya dengan sejarah pendirian kabupaten ini. Sementara di makam Sasonomulyo, Dukuh Sawahan, Desa Kapolorejo, dimakamkan para bupati Magetan berikutnya.

Tak kalah menarik, terdapat Candi Simbatan, peninggalan era Hindu-Buddha yang dikenal dengan arca Dewi Sri. Arca ini dipercaya dapat mengeluarkan air suci dari dadanya hingga pertengahan abad ke-20. Ada pula Candi Reog yang diyakini berasal dari masa pemerintahan Airlangga dan bukti kejayaan Kerajaan Majapahit.

Deretan situs tersebut menjadi bukti nyata bahwa Magetan bukan sekadar daerah wisata alam, tetapi juga wilayah yang sarat nilai sejarah dan spiritualitas yang hingga kini masih dijaga dan dihormati oleh masyarakatnya.

Artikel ini ditulis Eka Fitria Lusiana, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.



Simak Video "Video: Begini Modus Komplotan Pelaku Bobol ATM Minimarket Pakai Mesin Las"

(hil/irb)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork