Bulan Oktober menjadi salah satu momen istimewa bagi sejumlah kabupaten atau kota yang merayakan hari jadi di Jawa Timur. Peringatan hari jadi ini bukan sekadar ajang perayaan semata.
Melainkan juga sebagai refleksi atas perjalanan panjang sebuah daerah dalam membangun identitas, menggali potensi lokal, dan memperkuat peran masyarakat dalam pembangunan. Berikut empat kabupaten dan kota di Jawa Timur yang merayakan hari jadi pada bulan Oktober mendatang.
4 Kabupaten di Jatim Rayakan Hari Jadi Bulan Oktober
Bulan Oktober menjadi momen spesial bagi sejumlah daerah di Jawa Timur yang merayakan hari jadi. Tak hanya sekadar perayaan seremonial, hari jadi ini menjadi ajang refleksi atas sejarah panjang, budaya lokal, serta kontribusi masyarakat dalam membangun daerahnya masing-masing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tercatat, empat kabupaten dan kota di Jatim akan memperingati hari lahirnya pada bulan ini, yakni Magetan, Bojonegoro, Bangkalan, dan Sumenep. Berikut informasi seputar kabupaten di Jawa Timur yang ulang tahun di bulan ini.
1. Kabupaten Magetan 12 Oktober 1675
![]() |
Magetan, kabupaten di Jawa Timur yang terletak di kaki Gunung Lawu, memiliki sejarah panjang sejak masa Kerajaan Mataram Islam. Secara geografis, wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Ngawi di utara, Madiun di timur, Ponorogo di selatan, serta Wonogiri dan Karanganyar di barat.
Mengutip situs resmi Kemendikbud, sejarah Magetan berkaitan dengan masa kejayaan Mataram Islam (1588-1681 M). Pada tahun 1646, Sultan Amangkurat I naik tahta menggantikan Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Ia menjalin perjanjian dengan VOC yang justru memperlemah perdagangan Mataram. Larangan berdagang ke Banda, Ambon, dan Ternate membuat kerajaan semakin terdesak.
Setelah itu, tahta diwariskan kepada Sultan Amangkurat II. Pada masa ini, terjadi pemberontakan Trunojoyo dari Madura. Sejumlah tokoh keraton, termasuk Basah Gondo Kusumo dan Patih Nrang Kusumo, dituduh berkonspirasi melawan Sultan Amangkurat I. Basah Gondo kemudian diasingkan ke Semarang, sementara Patih Nrang bertapa di timur Gunung Lawu.
Dalam masa pengasingan, Basah Gondo mendengar kegiatan pembabatan hutan oleh Ki Ageng Getas atas perintah Ki Ageng Mageti. Pertemuan mereka menghasilkan penyerahan tanah dari Ki Ageng Mageti sebagai bentuk kesetiaan kepada Mataram.
Sebagai penghargaan, pada 12 Oktober 1675, Basah Gondo diangkat menjadi Bupati Yosonegoro dengan penyerahan sebuah keris pusaka. Untuk mengenang jasa Ki Ageng Mageti, wilayah tersebut kemudian diberi nama Magetian, yang kini dikenal sebagai Magetan.
2. Kabupaten Bojonegoro 20 Okober 1677
![]() |
Mengutip dari situs resmi Kabupaten Bojonegoro, hingga abad ke-16 wilayah Bojonegoro masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Namun, setelah berdirinya Kesultanan Demak pada abad ke-16, Bojonegoro kemudian masuk dalam wilayah kekuasaan Demak.
Perkembangan budaya baru, yakni Islam, mulai mendesak pengaruh budaya Hindu sehingga terjadi pergeseran nilai dan tatanan masyarakat. Pergeseran ini juga dibarengi dengan peperangan dalam perebutan kekuasaan Majapahit (Wilwatikta).
Peralihan kekuasaan yang penuh pergolakan itu akhirnya membawa Bojonegoro masuk ke wilayah Kerajaan Pajang pada tahun 1586, dan setahun kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Mataram (1587).
Selanjutnya, pada 20 Oktober 1677, status Jipang yang sebelumnya merupakan kadipaten diubah menjadi kabupaten. Perubahan ini ditetapkan dengan mengangkat Wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Tumapel, sebagai Bupati pertama yang berkedudukan di Jipang.
Tanggal tersebut hingga kini diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Bojonegoro. Kemudian, pada tahun 1725, ketika Pakubuwono II dari Kasunanan Surakarta naik tahta, pusat pemerintahan Kabupaten Jipang dipindahkan dari Jipang ke Rajekwesi, sekitar 10 kilometer di sebelah selatan kota Bojonegoro yang sekarang
3. Kabupaten Bangkalan 24 Oktober 1531
![]() |
Kabupaten Bangkalan terletak di Pulau Madura, Jawa Timur, dengan luas wilayah 36,70 kmΒ² dan terdiri atas 7 kelurahan serta 6 desa. Nama "Bangkalan" diyakini berasal dari kata "bangkah" dan "la'an" yang berarti "mati sudah".
Nama ini merujuk pada kisah seorang tokoh pemberontak sakti bernama Ki Lesap yang tewas di Madura Barat. Ki Lesap adalah keturunan Panembahan Cakraningrat dari seorang selir.
Sejak muda, ia gemar bertapa di gunung dan makam-makam keramat hingga akhirnya memperoleh kesaktian, termasuk kemampuan menyembuhkan penyakit. Awalnya, Lesap dihormati rakyat dan bahkan diizinkan raja tinggal di Desa Pejagan untuk membuka pengobatan.
Namun, pengawasan raja membuatnya tidak puas. Ambisinya untuk memimpin Madura pun mendorongnya kembali bertapa hingga memperoleh pusaka berupa tombak sakti. Dengan kesaktiannya, Lesap memimpin pemberontakan dan berhasil menaklukkan desa-desa, bahkan menguasai Sumenep dan Pamekasan.
Dukungan rakyat semakin besar karena ia dianggap membawa perubahan. Namun, perlawanan muncul dari Tumenggung Ario Adikoro IV, Penghulu Bagandan, hingga Cakraningrat V.
Dalam pertempuran sengit, Adikoro IV dan Bagandan gugur, sementara pasukan Lesap sempat mendesak lawan hingga membuat Cakraningrat V mundur ke Melaja. Akhir perjalanan Ki Lesap terjadi di Desa Tonjung. Melalui siasat, Cakraningrat V mengirim seorang ronggeng pembawa bendera putih seolah tanda menyerah.
Saat lengah, Cakraningrat menyerang menggunakan tombak pusaka Ki Neggolo yang menancap di dada Lesap. Ki Lesap pun roboh dan tewas. Saat itu, rakyat berseru "Bangka-la'an" yang berarti "sudah mati". Dari seruan itulah nama Bangkalan kemudian lahir dan digunakan hingga kini
4. Kabupaten Sumenep 31 Oktober 1269
![]() |
Melansir halaman resmi pemerintah Kabupaten Sumenep, wilayah ini memiliki sejarah panjang yang terbagi dalam empat zaman besar: zaman keraton (feodal), masa pengaruh VOC dan kolonialisme (neo feodal), runtuhnya sistem keraton (akhir abad ke-19), serta era kedaulatan Republik Indonesia (1945 hingga sekarang).
Sejarah Sumenep bermula ketika Aria Wiraraja diangkat sebagai Adipati Madura pada 31 Oktober 1269 Masehi. Saat itu, Sumenep berada di bawah kekuasaan Kerajaan Singhasari. Setelah Singhasari runtuh, lahirlah era Majapahit.
Berkat peran Wiraraja, Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit dan sebagai balas jasa, Wiraraja diberi separuh wilayah Majapahit. Sumenep kemudian diserahkan kepada adiknya, Aria Bangah.
Dalam perkembangannya, Sumenep tetap berada di bawah pengaruh Jawa, baik pada masa Majapahit maupun Demak. Pada abad ke-17, seluruh Madura termasuk Sumenep jatuh ke tangan Mataram setelah invasi sekitar tahun 1620-an.
Pada masa ini, kekuasaan raja sangat mutlak, di mana titahnya menjadi hukum. Hubungan antara penguasa dan rakyat diatur melalui bahasa krama inggil yang di Sumenep dikenal sebagai ondagan atau ondagga bhasa.
Kedatangan bangsa asing ke Nusantara membawa perubahan besar. Perlawanan Pangeran Trunojoyo di pertengahan abad ke-17 menyatukan rakyat dan bangsawan melawan penjajah, meski akhirnya pengaruh Mataram semakin melemah akibat perjanjian politik dengan Belanda.
VOC pun semakin mencengkeram Madura, termasuk Sumenep, dan ikut campur dalam urusan pemerintahan. Memasuki akhir abad ke-19, sistem keraton dihapuskan dan kekuasaan lokal diubah menjadi struktur pemerintahan modern.
Para penguasa lokal tak lagi berperan sebagai raja, melainkan pegawai pemerintah kolonial. Perubahan itu terus berlanjut hingga akhirnya Sumenep resmi masuk dalam era kedaulatan Republik Indonesia setelah 1945.
(ihc/irb)