Pungutan uang gedung SMA dan SMK negeri di Jombang menuai kritik dari akademisi. Pungutan yang dinamai kontribusi komite ini diminta tidak boleh seragam dan memberatkan para orang tua siswa.
Kritik terhadap pungutan uang gedung SMA dan SMK negeri dilontarkan Kepala Program Studi Magister Pendidikan Islam Program Pascasarjana Undar Jombang M Najihul Huda. Menurutnya, fenomena pungutan uang gedung menunjukkan masih banyak kebutuhan sekolah yang tidak dicukupi bantuan pemerintah.
Baik Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat maupun Biaya Penunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BPOPP) dari Pemprov Jatim. Sedangkan lembaga pendidikan SMA/SMK dituntut meningkatkan mutu pendidikan, sarana dan prasarana, serta fasilitas penunjang pembelajaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah pusat dan daerah harus mengevaluasi kembali kecukupan dana BOS dan BPOPP agar sekolah negeri tidak terus bergantung pada iuran tambahan (uang gedung dan sejenisnya)," terangnya kepada detikJatim, Sabtu (23/8/2025).
Kekurangan anggaran di tengah tuntutan pembangunan membuat SMA dan SMK negeri memberdayakan komite sekolah masing-masing untuk menggalang dana dari para wali murid. Najihul menilai penggalangan dana oleh komite sekolah dinaungi regulasi Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016.
"Komite memang memiliki peran dalam membantu pendanaan pendidikan dengan catatan bersifat sukarela, tidak memaksa, serta tidak menggantikan tanggung jawab pemerintah," jelasnya.
Selain itu, lanjut Najihul, permintaan uang gedung atau sumbangan tidak boleh memberatkan para orang tua siswa. Artinya, nilai sumbangan harus dibuat bervariasi sesuai kemampuan para wali murid. Sebab kemampuan finansial mereka berbeda-beda.
"Dengan adanya variasi kontribusi, sekolah tetap dapat berkembang, sementara orang tua tidak merasa terbebani secara seragam," cetusnya.
Transparansi penggalangan sumbangan atau uang gedung sampai penggunaannya, kata Najihul, juga sepatutnya ditegakkan. SMA dan SMK negeri bersama komite sekolah masing-masing harus melaporkan kepada para wali murid terkait besaran sumbangan yang diterima, pemanfaatan, sampai dampak nyata terhadap perkembangan belajar siswa.
"Laporan penggunaan dana harus dibuka secara transparan kepada wali siswa agar jelas dampaknya bagi mutu pendidikan. Tanpa transparansi, iuran tambahan akan mudah dipersepsikan sebagai pungutan liar," ujarnya.
Najihul berpendapat, iuran tambahan atau sumbangan atau uang gedung boleh diadakan di sekolah negeri. Dalam perspektif Islam, Syaikh Burhanuddin al-Zarnuji dalam kitab Ta'lim al-Muta'allim menekankan syarat meraih ilmu yang bermanfaat adalah adanya bekal atau modal. Bekal meliputi spiritual, moral dan material.
"Akan tetapi dalam konteks Indonesia, bekal itu seharusnya tidak memberatkan orang tua. Sebab konstitusi menegaskan negara bertanggungjawab mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kata lain, iuran tambahan boleh ada, tetapi negara tetap harus hadir agar pendidikan bermutu bisa diakses semua lapisan masyarakat," tandasnya.
Dari penelusuran detikJatim, uang gedung berlaku di SMKN 1 Jombang. Humas sekolah ini Zainuri menuturkan, kebijakan ini berasal dari rapat bersama Komite SMKN 1 Jombang dan para wali murid kelas X. Rapat pada Jumat (15/8) ini dibuka oleh Kepala SMKN 1 Jombang Abdul Muntolib.
Rapat bersama komite sekolah dan wali murid ini menghasilkan kesepakatan besaran kontribusi komite Rp 1,5 juta per siswa. Biaya ini dibebankan kepada para orang tua siswa kelas X yang jumlahnya 612 anak. Bagi yang keberatan bisa mengajukan keringanan atau tidak membayar sama sekali. Sekitar 114 siswa dari jalur afirmasi juga dibebaskan dari biaya ini.
Meskipun disebut kontribusi komite, pembayaran uang gedung tetap melalui loket pembayaran di SMKN 1 Jombang. Menurut Zainuri, dana dari para orang tua siswa diserahkan kepada bendahara komite. Sehingga setiap penggunaan dana ini harus disetujui bendahara komite.
Zainuri lantas menjelaskan penggunaan uang gedung. Dana yang terkumpul untuk membangun sejumlah fasilitas SMKN 1 Jombang. Antara lain atap lapangan basket, joging track di lapangan timur sekolah, serta rehab tempat parkir siswa dan guru.
Menurutnya, biaya pembangunan prasarana sekolah itu tidak ter-cover Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat maupun Biaya Penunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BPOPP) dari Pemprov Jatim.
Sedangkan di SMAN 2 Jombang, konsepnya sedikit berbeda. Besaran uang gedung atau di sekolah ini disebut sumbangan orang tua siswa, bervariasi tergantung kemampuan masing-masing wali murid. Setiap wali murid diminta mengisi surat pernyataan tentang nilai rupiah yang akan mereka sumbangkan.
Kepala SMAN 2 Jombang Budiono menjelaskan, sumbangan dari wali murid untuk membiayai pembangunan fasilitas sekolah. Antara lain untuk digitalisasi pendidikan berupa videotron di 10 ruang kelas, serta upgrade laboratorium komputer. Progam tersebut tak mampu didanai BOS maupun BPOPP.
Kekurangan biaya ini lah yang mendorong pemberdayaan Komite SMAN 2 Jombang. Menurutnya, pemberdayaan komite sekolah mempunyai payung hukum yang jelas, yaitu Pemendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Berangkat dari kondisi tersebut, lanjut Budiono, pihaknya dan komite sekolah menyusun proposal sesuai kebutuhan program pembangunan. Tahun ini kebutuhan anggaran sekitar Rp 800-900 juta. Kebutuhan anggaran tersebut, lantas disampaikan komite SMAN 2 Jombang kepada para orang tua siswa kelas X.
Sampai saat ini, para orang tua siswa SMAN 2 Jombang mengisi surat pernyataan sanggup menyumbang Rp0 sampai Rp 7 juta. Artinya, ada pula para orang tua yang tidak sanggup menyumbang sama sekali.
Menurutnya, siswa kelas X SMAN 2 Jombang 360 anak. Ia berharap sumbangan dari para orang tua siswa terealisasi di tahun ajaran ini agar bisa untuk menjalankan program pembangunan yang sudah direncanakan. Namun, sejauh ini total sumbangan yang akan diberikan sekitar Rp 500 juta.
Simak Video "Video: Sederet Kursus yang Diikuti Kirana Larasati Setelah Masuk MUID"
[Gambas:Video 20detik]
(irb/hil)