Guru Besar UTM Tegaskan Pra-Ajudikasi Harus Koheren, Clear and Precise

Guru Besar UTM Tegaskan Pra-Ajudikasi Harus Koheren, Clear and Precise

Muhammad Aminudin - detikJatim
Jumat, 25 Apr 2025 04:00 WIB
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Prof. Dr. Deni Setya Bagus Yuherawan
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Prof. Dr. Deni Setya Bagus Yuherawan (Foto: Muhammad Aminudin.detikJatim)
Malang -

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Prof. Dr. Deni Setya Bagus Yuherawan menegaskan pentingnya kejelasan dan kesinambungan dalam pelaksanaan kewenangan hukum pada tahap pra-ajudikasi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Prof. Deni dalam Seminar Nasional 'Reformasi KUHAP: Menyongsong Era Baru Peradilan Pidana yang Progresif dan Berkeadilan' yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (BEM FH Unisma).

Dalam paparannya, Prof Deni menyoroti bahwa kewenangan hukum pada tahap pra-ajudikasi, yakni sebelum perkara masuk ke pengadilan, harus dilaksanakan secara koheren serta clear and precise.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pra-ajudikasi merupakan fondasi awal dari keseluruhan proses peradilan pidana. Jika tahap ini tidak dilaksanakan dengan prinsip koherensi dan kejelasan, maka keadilan substantif akan sulit diwujudkan," ujar Prof. Deni di hadapan peserta seminar, Kamis, 24/04/2025).

Selain Prof. Deni, seminar nasional ini juga menghadirkan sejumlah pakar hukum terkemuka, antara lain ahli hukum pidana Dr. Sholehuddin serta Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya Dr. Prija Jatmika.

ADVERTISEMENT

Diskusi berlangsung hangat dengan berbagai perspektif kritis terhadap kondisi dan tantangan dalam reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini.

Prof. Deni secara sistematis memaparkan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia terdiri dari tiga tahapan besar, pertama Pra-Ajudikasi (Pre-Adjudication) meliputi penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian, serta penuntutan oleh Kejaksaan.

"Tahap ini Kepolisian berfungsi sebagai pengumpulan bukti awal dan pengujian dasar hukum atas suatu dugaan tindak pidana," ungkapnya.

Berikutnya, Prof Denu menilai Ajudikasi (Adjudication) merupakan proses pembuktian formal di pengadilan, di mana hakim berwenang memutuskan bersalah atau tidaknya terdakwa berdasarkan alat bukti dan argumentasi hukum yang diajukan dalam persidangan.

"Sedangkan Pasca-Ajudikasi (Post-Adjudication) untuk tahap ini mencakup pembinaan terhadap terpidana oleh lembaga pemasyarakatan. Khususnya dalam pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan, sebagai bagian dari reintegrasi sosial." terangnya.

Tidak hanya berhenti disitu saja, Prof Deni menjelaskan apa landasan hukum serta menekankan pentingnya pemahaman yuridis atas kewenangan institusi penegak hukum.

Prof. Deni menguraikan berbagai ketentuan yang berlaku seperti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang tertuang pada Pasal 1 angka (10), (13), Pasal 13, dan Pasal 14 ayat (1) huruf G menyebutkan bahwa Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Bahkan KUHAP pada Pasal 1 angka (1) dan (2), serta Pasal 6 ayat (1) menegaskan kewenangan Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana.

Sementara dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang tertuang Pasal 26 menyebutkan kewenangan Polri dalam penyidikan, sedangkan Pasal 43 ayat (1) dan (2) memberi wewenang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Prof Deni menutup pemaparannya dengan menegaskan bahwa kejelasan kewenangan setiap lembaga penegak hukum harus dijaga dalam kerangka hukum acara pidana. Ia menyampaikan simpulan penting.

"Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap seluruh tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, KPK memiliki kewenangan dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan khusus untuk tindak pidana korupsi, Kejaksaan bertanggung jawab dalam melakukan penuntutan dan melaksanakan eksekusi atas putusan pengadilan," katanya.

Reformasi KUHAP menjadi titik krusial dalam mewujudkan sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.

Penegasan Prof Deni peran masing-masing lembaga penegak hukum dalam setiap tahapan proses pidana, menjadi dasar penting sekaligus mencegah tumpang tindih kewenangan serta memastikan bahwa hak-hak warga negara tidak terabaikan.

Dengan seminar nasional ini diharapkan menjadi momentum strategis untuk mendorong penyusunan KUHAP baru yang progresif, responsif terhadap dinamika hukum, serta selaras dengan semangat reformasi peradilan pidana yang berkeadilan.




(abq/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads