Fenomena doom spending, yang tengah marak di berbagai negara, kini juga mengancam anak muda di Jawa Timur, khususnya Generasi Z. Fenomena ini adalah ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir, untuk menenangkan diri karena merasa pesimis dengan ekonomi dan masa depannya.
Psikolog dari Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya, Riza Wahyuni mengatakan, meskipun belum ada data resmi yang mengonfirmasi dampaknya di Jawa Timur, tetapi perilaku ini sudah mulai terlihat di kalangan anak muda Indonesia.
"Memang tidak ada data terkait, tapi peristiwa ini tidak menutup kemungkinan juga terjadi di Jawa Timur terutama di kalangan anak muda atau Gen-Z," ujar Riza kepada detikJatim, Senin (30/9/2024)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Riza menjelaskan, ciri utama dari doom spending adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keinginan berbelanja, terutama barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan atau barang sekunder. Riza juga menyoroti peran media sosial dan influencer dalam memperparah fenomena ini.
"Generasi muda saat ini, sangat dipengaruhi oleh media sosial dan tekanan sosial. Mereka membeli barang bukan karena kebutuhan, melainkan demi pengakuan atau mengikuti tren yang sedang populer Salin itu kemudahan akses belanja online, promosi yang massif oleh influencer di media sosial, serta kebutuhan validasi sosial yang tinggi juga menjadi faktor utama doom spending," ujarnya.
Kemudian, Riza menekankan, akses terhadap pinjaman online dan layanan paylater turut memperburuk situasi ini. Gen Z cenderung memanfaatkan fasilitas ini untuk belanja tanpa mempertimbangkan kemampuan membayar di kemudian hari.
"Mereka bisa berhadapan dengan masalah finansial yang serius, tagihan yang kesulitan dibayar, kemudian berdampak pada kondisi mental seperti stres berat hingga depresi ketika utang menumpuk dan sulit dilunasi," tambah Riza.
Lebih lanjut, Riza mengungkapkan bahwa doom spending tidak hanya mengganggu kondisi finansial sehari-hari, tetapi juga berdampak serius pada masa depan, termasuk kepemilikan rumah.
Banyak anak muda yang mengalami kesulitan dalam membeli rumah, meskipun sudah memiliki penghasilan tetap. Riza mengungkapkan, salah satu penyebab utama masalah ini adalah catatan buruk di perbankan akibat penggunaan layanan paylater dan pinjaman online.
Gen Z yang sering terlilit utang konsumtif melalui platform tersebut kerap kali memiliki "rapor merah" di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang berujung pada penolakan aplikasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
"Berdasarkan obrolan saya dengan pihak yang ahli dalam perbankan, kebiasaan konsumtif ini menjadi hambatan besar bagi generasi muda dalam mendapatkan persetujuan KPR, meskipun secara finansial mereka seharusnya sudah mampu," kata Riza.
Riza mengingatkan, jika perilaku doom spending ini tidak dikendalikan, generasi ini akan semakin sulit mencapai kehidupan yang stabil secara finansial. Ia menyarankan agar pemuda mulai menahan diri dari perilaku konsumtif dan lebih selektif dalam menggunakan fasilitas pinjaman.
"Jika sudah merasa sulit mengendalikan keinginan berbelanja, sangat penting untuk mencari bantuan dari terapis atau konselor. Selain itu, cobalah mengalihkan dorongan tersebut ke aktivitas yang lebih produktif," tuturnya.
Dengan demikian, upaya pencegahan terhadap doom spending perlu dilakukan, baik melalui edukasi keuangan yang lebih baik maupun dengan kesadaran pribadi untuk menahan diri dari gaya hidup konsumtif yang tidak berkelanjutan.
(hil/iwd)