Akhir-akhir ini, istilah doom spending makin ramai diperbincangkan di berbagai media. Fenomena doom spending adalah ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir, untuk menenangkan diri karena merasa pesimis dengan ekonomi dan masa depannya.
Pembahasan ini awalnya dipicu oleh pernyataan Bruce Y. Lee, seorang Profesor Kebijakan dan Manajemen Kesehatan dari City University of New York, yang menyebut bahwa doom spending sering terjadi di Amerika Serikat ketika seseorang merasa tertekan oleh kekacauan politik, perubahan iklim, dan kondisi global lainnya.
Menurut Lee, orang-orang cenderung membeli barang-barang untuk mengatasi stres mereka. Bagaimana pendapat pakar di Surabaya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, pandangan tersebut disanggah oleh Riza Wahyuni, psikolog dari Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya. Dalam wawancaranya dengan detikJatim pada Senin (30/9/2024), Riza menekankan, doom spending bukan sekadar membeli untuk mengatasi stres, melainkan stres yang diakibatkan oleh terlalu banyak berbelanja.
Menurutnya, fenomena ini dapat dipicu oleh berbagai faktor dan sangat erat kaitannya dengan gaya hidup dan psikologis, terutama di kalangan anak muda, khususnya Generasi Z.
"Doom spending adalah pola konsumtif berlebihan, bahkan cenderung obsessive, di mana seseorang sulit menahan keinginan untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan," ujar Riza.
Ia juga menjelaskan faktor-faktor utama yang memicu doom spending antara lain kemudahan akses belanja online, promosi yang masif di media sosial, serta kebutuhan validasi sosial yang tinggi. Riza juga menyoroti peran media sosial dan influencer dalam memperparah fenomena ini.
"Generasi Z sangat dipengaruhi oleh iklan yang menargetkan mereka dengan produk-produk sekunder atau tidak penting. Mereka cenderung tergoda membeli barang hanya karena terlihat menarik atau lucu," jelasnya.
Selain itu, kebiasaan berbelanja tanpa kendali seringkali membuat banyak anak muda terjebak dalam utang, terutama dengan maraknya penggunaan aplikasi pinjaman online (pinjol) dan layanan pay later. Generasi Z kerap tak memikirkan dampak jangka panjang dari penggunaan layanan ini, seperti kesulitan membayar utang di kemudian hari.
"Ini bukan sekadar soal belanja, tetapi bagaimana mereka akhirnya mengalami tekanan mental. Ketika utang semakin menumpuk, tagihan terus masuk dan sulit dibayar, mereka menjadi tertekan, rentan terhadap depresi dan bahkan berpikir untuk mengakhiri hidup sebagai jalan keluar," tambah Riza.
Untuk mencegah fenomena doom spending semakin meluas, Riza menyarankan agar pemuda, khususnya Generasi Z, mulai mengendalikan perilaku konsumtif mereka. Jika merasa sulit berhenti, Riza menyarankan untuk mencari bantuan dari terapis atau konselor guna mengatasi masalah ini.
"Mengalihkan keinginan berbelanja ke aktivitas yang lebih produktif juga bisa menjadi solusi," tutupnya.
(hil/iwd)