Perayaan hari kemerdekaan ke-79 Indonesia pada 17 Agustus 2024, disambut semarak oleh seluruh masyarakat sepanjang bulan Agustus, terutama mendekati puncak perayaan HUT RI. Semarak kemerdekaan juga dirasakan dalam khutbah Jumat yang mengambil tema kemerdekaan.
Khutbah adalah ibadah berupa penyampaian ceramah di waktu-waktu tertentu, salah satunya khutbah Jumat. Khutbah merupakan salah satu syarat sah mengerjakan salat Jumat. Umumnya, khutbah mengusung tema tertentu, tak terkecuali tentang kemerdekaan.
Contoh Khutbah Jumat Tema Kemerdekaan
Bertepatan dengan hari Jumat, simak contoh khutbah Jumat bertema kemerdekaan, dilansir dari situs nu.or.id, berikut ini. Khutbah Jumat bertema kemerdekaan ini selaras dengan momen HUT RI yang akan dirayakan 17 Agustus 2024.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Khutbah Jumat: Merayakan Kemerdekaan dengan Berkontribusi untuk Negeri
Khutbah Jumat berikut ini, berisi tentang makna kemerdekaan sejati tentang bagaimana kita berkontribusi untuk negeri. Berikut isi khutbah yang disusun KH Hilmy Muhammad (Gus Hilmy), Katib Syuriyah PBNU.
Jemaah salat Jumat rahimakumullah,
Mari kita haturkan ungkapan syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah Ta'ala, yang telah memberi nikmat dan anugerah yang tak terhingga banyaknya. Mari ungkapan itu kita upayakan melalui penguatan takwa kita, dengan cara melihat dan mencermati apa yang kita lakukan. Apabila yang akan kita lakukan telah sesuai dengan perintah Allah dan tuntunan Rasulullah, maka segera laksanakan rencana tersebut. Sedang apabila yang akan kita lakukan ternyata berbeda atau bahkan bertentangan dengan petunjuk keduanya, maka segeralah ditinggalkan dan dibatalkan demi kebaikan kita.
Jemaah salat Jumat rahimakumullah,
Saat ini kita berada di bulan Agustus, bulan kemerdekaan, bulan keramat bagi Bangsa Indonesia. Saatnya kita merenung perjuangan besar bangsa dalam mencapai kemerdekaan dengan mengorbankan harta, benda, jiwa dan raga.
Saatnya kita mensyukuri sedemikian banyak nikmat yang kita peroleh di masa kemerdekaan ini: nikmat berupa kesempatan bekerja, berinovasi dan bahkan kemarin berprestasi dengan meraih emas di cabang panjat tebing dan angkat besi Olimpiade Paris tahun ini.
Pertumbuhan ekonomi kita, alhamdulillah, masih di atas 5 persen. Kehidupan politik kita, meskipun kita akan Pilkada, tapi secara umum kita berhasil menyelenggarakan Pilpres dan Pileg dengan sukses dan lancar. Sungguh nikmat yang luar biasa banyak, yang patut terus disyukuri, apalagi saat banyak negara tidak mampu menyatukan warganya, bahkan harus berperang melawan musuh.
Jemaah salat Jumat rahimakumullah,
Di samping syukur atas anugerah-anugerah Allah, saatnya kita juga berintrospeksi dan ber-muhasabah, bahwa meskipun sudah 79 tahun merdeka, akan tetapi masih banyak persoalan yang harus menjadi perhatian dan keprihatinan kita. Kita belum sepenuhnya bebas dari banyak permasalahan bangsa: masalah narkotika yang banyak beredar secara terbuka, prostitusi, perzinahan dan LGBT yang makin berani unjuk diri lewat media-media sosial, judi online yang merebak parah digandrungi generasi muda. Inilah realitas kemerdekaan. Oleh karena itu perayaan kemerdekaan kita sepatutnya memperhatikan hal-hal tersebut. Cinta tanah air tidak sekedar upacara ngerek bendera dan baris-berbaris, tapi juga dengan memikirkan, melakukan dan mengkreasikan karya terbaik bagi bangsa.Untuk menjadi patriot, Anda tidak harus berlaga di medan perang. Untuk menjadi negarawan, Anda tidak harus bersidang di Senayan. Untuk menjadi pahlawan di masa sekarang, syaratnya cuma satu, yaitu kepedulian Anda terhadap perbaikan nasib bangsa dan negara.
Jemaah salat Jumat rahimakumullah,
Demikian khutbah ini disampaikan, semoga dapat dipahami dengan baik. Dan semoga Allah Ta'ala senantiasa membimbing kita dalam menjalani kehidupan yang lebih baik, amin.
2. Khutbah Jumat: Kemerdekaan Merupakan Ajaran Rasulullah
Contoh khutbah Jumat ini membahas tentang kemerdekaan bukan sekadar keinginan manusia semata, tetapi termasuk ajaran agama. Berikut naskah khutbah Jumat dengan tema Kemerdekaan Merupakan Ajaran Rasulullah yang disusun Ustadz M. Syarofuddin Firdaus, Dosen Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat.
Para jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puja dan puji kepada Allah yang telah memberikan banyak anugerah kepada kita, baik materi maupun imateri. Kedua, solawat dan salam semoga senantiasa kita haturkan bagi Baginda Nabi Muhammad dan keluarga serta para sahabatnya, yang telah memberikan tauladan kepada kita. Tauladan di sini bukan hanya dalam ibadah relasi antara mahluk dengan Tuhan, melainkan juga relasi antar sesama mahluk-Nya. Dengan kata lain, takwa di tangan Nabi dan para sahabatnya tidak hanya terbatas meningkatkan ibadah personal saja, melainkan juga ibadah dan aktifitas sosial menjadi ajang untuk meningkatkan ketakwaan. Oleh karenanya, marilah kita meningkatkan ketakwaan dengan memperbaiki dan memperbagus kedua aspek ibadah tadi: personal dan sosial.
Para jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah Berbicara ibadah personal barangkali kita sudah maklum semua, yaitu seperti salat dan puasa, baik yang wajib maupun yang sunnah. Level dan kualitas Nabi dan para sahabatnya dalam mengerjakan ibadah-ibadah ini tentu saja sudah tidak diragukan lagi. Ketulusan dan kekhusyu'an mereka tidak bisa ditandingi oleh siapa pun dari generasi umat ini. Maka dari itu, mereka disebut sebagai generasi terbaik dalam perjalanan Islam.
Begitu juga ibadah sosial yang telah dilakukan oleh generasi tersebut dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya, termasuk generasi kita hari ini. Di antara contoh yang cukup fenomenal yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya adalah tidak melakukan balas dendam kepada kafir Quraisy pada saat penakulkan kota Mekkah. Dalam kitab sejarahnya Imam Ibnu Katsir, al-Bidayah wan Nihayah dikisahkan:
قَالَ: "يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ مَا تَرَوْنَ أَنِّي فَاعِلٌ فِيكُمْ؟" قَالُوا: خَيْرًا، أَخٌ كَرِيمٌ وَابْنُ أَخٍ كَرِيمٍ. قَالَ: "اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ"
Artinya, "Nabi bersabda: 'wahai kaum Quraisy, apa pendapat kalian yang akan aku lakukan terhadap kalian?', Mereka menjawab: 'kebaikan wahai saudara yang mulia dan putra saudara yang mulia', Nabi bersabda: 'pergilah, kalian terbebas (dari hukuman).'
Kita semua sudah pasti tahu bagaimana gangguan, teror, dan siksaan yang dilakukan kaum kafir Quraisy kepada Nabi dan para sahabatnya selama masih di Mekkah. Bahkan ketika di Madinah pun tetap mereka tetap mengejar dan membuat sekutu dari agama lain seperti Yahudi untuk menyerang Nabi dan para sahabatnya.
Para jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah
Namun itu semua tidak membuat Nabi dan para sahabatnya berkeinginan untuk membalas dendam. Pada saat tragedi Fathu Mekkah Nabi malah menegaskan bahwa kaum Quraisy merdeka dan terbebas dari berbagai sanksi. Para sahabat pun ketika mendengar pernyataan Nabi juga tidak ada yang membantahnya. Mereka langsung mematuhi Nabi, meskipun tidak sedikit dari mereka yang pastinya mempunyai rasa marah atas kelakuan kaum Quraisy. Padahal seandainya Nabi dan para sahabatnya mau memberikan hukuman tentu tidak akan ada pihak yang berani memprotes, atau setidaknya Nabi dapat menjadikan mereka sebagai budak sebab momen itu kekuasaan sepenuhnya berada di tangan umat Islam. Namun Nabi hendak mengajarkan kepada umatnya bahwa masing-masing manusia memiliki hak untuk merdeka dan bebas dari hukuman.
Jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah
Selain tragedi bersejarah tersebut, pada kesempatan lain masih banyak sabda dan sikap Rasulullah yang menunjukkan keberpihakan beliau untuk menjadi manusia merdeka. Seperti sistem perbudakan pada saat itu, Rasul malah mendorong umatnya untuk melepaskan status budak yang melekat pada diri seseorang. Dorongan ini dapat terlihat pada ajaran-ajarannya seperti janji pahala bagi yang memerdekakan budak, memerdekakan budak sebagai denda kafarat bagi pelanggar aturan tertentu, mempermudah merdeka bagi budak mukatab (menyicil kemerdekaan), bahkan dalam riwayat Muslim disebutkan:
مَنْ لَطَمَ مَمْلُوكَهُ أَوْ ضَرَبَهُ فَكَفَّارَتُهُ أَنْ يُعْتِقَهُ
Artinya, "Siapa saja yang menampar budaknya atau memukulnya maka kafaratnya berupa memerdekakannya." (HR. Muslim)
Sabda Nabi ini hendak menegaskan bahwa budak tetaplah manusia sehingga tidak boleh diperlakukan semena-mena, apalagi menyiksanya. Inilah ajaran Islam yang sejati, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Budak selaku kasta sosial yang rendah tetap harus diperlakukan dengan baik dan sopan. Maka bila bermain tangan terhadapnya sanksinya ialah melepaskan status kebudakannya.
Imam Nawawi di dalam kitabnya, al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim, mengomentari hadis ini bahwa para ulama bersepakat bahwa hukum memerdekannya tidak bersifat wajib, melainkan sunnah saja. Meski demikian, kata Imam Muslim, para ulama mengatakan berdasarkan hadis ini agar bersikap baik dan menahan diri untuk menyiksa seorang budak. Bahkan kesunnahan memerdekakan budak di sini dengan harapan sebagai penebus dosa atas kezaliman yang dilakukan sang tuan.
Artinya, melakukan penyiksaan kepada budak itu perbuatan zalim. Dan agama Islam mengajarkan agar kita menjauhi beragam perbuatan zalim. Bila menyiksa budak dikategorikan perbuatan zalim, lantas bagaimana bila dilakukan kepada orang merdeka sebagaimana perbuatan para kolonial?
Para jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah
Dalam pandangan Islam, kolonialisme dan imperialisme merupakan kezaliman. Maka menghindari kezaliman dengan menjadi merdeka merupakan sebuah anjuran. Dalam Islam sendiri, manusia merdeka memiliki segudang kelebihan dibandingkan manusia yang berada di bawah kekuasaan manusia yang lain. Dengan merdeka maka seseorang memiliki kebebasan dan hak penuh untuk mengendalikan dirinya sendiri. Nabi Muhammad sendiri menyadari kalau sistem perbudakan merupakan bentuk penjajahan dan bertentangan dengan fitrah manusia. Namun Nabi tidak langsung menghapus sistem tersebut begitu saja sebab kondisi yang tidak memungkinkan. Makanya beliau menggunakan strategi yang sangat halus yang tidak disadari banyak pihak, yaitu sebagaimana cara-cara yang telah disebutkan sebelumnya.
Keinginan dan anjuran Nabi untuk menjadi manusia merdeka mendapat dukungan dari ayat al-Quran yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. al-Hujurat: 13).
Ayat tersebut mempertegas posisi manusia di hadapan Allah yang setara semuanya, hanya yang paling bertakwalah yang paling tinggi derajatnya. Dengan demikian, dalam konteks kemerdekaan dan penjajahan, seyogyanya manusia itu tidak boleh ada yang merasa lebih di antara yang lain. Para kolonial melakukan penjajahan karena merasa lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih berkuasa atas orang-orang yang dijajah. Perasaan-perasaan semacam itulah yang memicu untuk menguasai atas yang lain, sehingga merasa pantas mengendalikan bahkan menyiksa yang lain.
Maka dari itu, sudah sepatutnya setiap individu, golongan suku dan bangsa mengambil hak kemerdekaannya, melepaskan diri dari genggaman orang lain. Begitulah kiranya yang menjadi api bagi para pahlawan dan pendiri bangsa ini agar Indonesia dapat berdikari; berdiri di atas kaki sendiri. Maka kita selaku generasi penerus mempunyai tanggung jawab untuk merawat kemerdekaan ini. Merdeka dalam berbagai sektor: fisik, teritorial, ekonomi, budaya serta pemikiran.
Warisan kemerdekaan ini pada hakikatnya amanah dari pendahulu kita, sehingga semoga kita dapat menjaga amanah ini dengan baik.
3. Khutbah Jumat: Kemerdekaan dan Nasionalisme dalam bingkai Agama
Naskah khutbah Jumat berikut ini mengajak umat Islam merenungkan arti kemerdekaan dan nasionalisme dalam pandangan agama. Tidak sekadar peringatan tahunan, kemerdekaan adalah anugerah dari Allah yang harus kita syukuri dengan menguatkan ikatan kebangsaan, mengokohkan persatuan, dan menumbuhkan rasa cinta pada tanah air.
Berikut naskah Khutbah Jumat dengan tema Kemerdekaan dan Nasionalisme dalam bingkai Agama yang disusun Ustadz Dr. Fatihunnada, Dosen Fakultas Dirasat Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hadirin siding Jumat yang dirahmati Allah,
Mengawali khutbah Jumat ini, khatib mengajak kepada jemaah untuk menguatkan rasa syukur dan takwa kepada Allah swt yang telah menganugerahkan negeri yang indah dan terbebas dari penjajahan. Negara yang merdeka akan sangat mempengaruhi kualitas kita dalam menjalankan perintah-perintah yang ada dalam agama.
Hubungan agama dan negara sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya berperan penting dalam menumbuhkan nasionalisme di tengah masyarakat dalam pemenuhan hak dan kewajiban mereka. Agama dan negara menuntut seluruh elemen masyarakat untuk hidup dengan persatuan, perdamaian, dan perlindungan. Nasionalisme bukan sekedar istilah yang diucapkan berkali-kali dalam momentum hari raya kemerdekaan. Nasionalisme bisa dimaknai dari berbagai sudut pandang sebagai berikut: Pertama, nasionalisme yang sejati adalah sikap memperjuangkan tanah air dengan segala kemampuan yang dimiliki. Nasionalisme akan melahirkan pengorbanan untuk mempertahankan tanah air dari segala ancaman seperti yang dilakukan oleh para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan Indonesia. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw bersabda seperti yang dikutip imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunan al-Tirmidzi sebagai berikut:
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
Artinya: "Barang siapa yang mati mempertahankan hartanya, maka ia syahid. Barang siapa yang mati membela agamanya, maka ia syahid. Barang siapa yang mati melindungi darahnya, maka ia syahid. Barang siapa yang mati melindungi keluarganya, maka ia syahid."
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah,
Kedua, nasionalisme yang sejati adalah sikap memegang teguh janji setia terhadap bangsa dan negara, sehingga tidak akan mengkhianati negaranya untuk mendapatkan kepentingan pribadi dan kelompok. Nasionalisme akan melahirkan keteguhan di dalam hati seseorang untuk mempertahankan rasa cinta kepada tanah air. Ia akan melakukan segala upaya untuk membangun bangsa dan menghindari perbuatan yang dapat merugikan dan menghancurkan negara karena pada hakikatnya, Allah swt menitipkan negara dan tanah air Indonesia kepada seluruh rakyat Indonesia untuk dimakmurkan, bukan untuk dieksploitasi. Hal ini ditegaskan dalam surat Hud, ayat 61 sebagai berikut:
هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
Artinya: "Dia telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian untuk memakmurkannya."
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah,
Ketiga, nasionalisme yang sejati adalah sikap menjunjung tinggi nilai-nilai bangsa dan negara seperti menghormati bendera negara, simbol negara, lagu kebangsaan, dan segala hal yang tidak bisa dilepaskan dari negara. Perbedaan bahasa dan daerah tidak boleh memisahkan persatuan bangsa karena bangsa Indonesia terikat dengan nilai-nilai luhur di atas. Seluruh rakyat Indonesia berdiri di atas tanah yang sama, tanah air Indonesia. Oleh karena itu, cinta terhadap tanah air harus lebih dikedepankan dari pada cinta terhadap kelompok.
Nabi Muhammad saw mengajarkan kita cinta kepada tanah air ketika meninggalkan kota Makkah sebagaimana yang dikutip imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunan al-Tirmidzi sebagai berikut:
مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَأَحَبَّكِ إِلَىَّ وَلَوْلاَ أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
Artinya: "Engkau (Mekkah) adalah negeri Allah yang paling aku cintai, dan kalau penduduknya tidak mengusirku, tentu aku tidak akan meninggalkan engkau."
Ketika Nabi Muhammad saw memasuki kota Madinah, ia juga bersabda sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya sebagai berikut:
اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ، كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ
Artinya: "Ya Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu." Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah,
Satu hal yang harus kita ingat bahwa tanpa Indonesia, kita hanya ikan yang tidak memiliki lautan dan kita hanya burung yang tidak memiliki udara. Apa yang kita rasakan saat ini adalah buah pengorbanan para pendahulu bangsa. Maka kewajiban kita adalah mempertahankan sikap nasionalisme di dalam diri kita dan generasi selanjutnya. Semoga kita dapat mengaktualisasikan nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dengan siap berkorban untuk tanah air, memegang janji setia kepada tanah air, dan mencintai tanah air dengan sepenuh hati. Amin, ya Rabb al-'Alamin.
Demikian contoh khutbah Jumat bertemakan kemerdekaan yang bisa jadi inspirasi khutbah Jumat ini.
(ihc/irb)