Angka kelahiran di Indonesia dalam waktu tiga tahun terakhir mengalami penurunan dengan total fertility rate (TFR) 2,1. BKKBN pun meminta satu pasangan suami istri memiliki satu anak perempuan.
Pakar Perempuan dan Anak Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Sri Lestari pun mengkritik permintaan BKKBN itu. Ia menyebut pernyataan kepala BKKBN dinilai tidak responsif gender.
Sebab, pernyataannya berimplikasi justru menambah daftar panjang kebijakan negara yang selama ini mengontrol tubuh perempuan dan menganggap perempuan harus bertanggung jawab penuh atas peran reproduksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mulai dari kebijakan mengenai KB yang masih jauh dari ideal, di mana perempuan masih menjadi satu-satunya sasaran utama dalam mengontrol angka kelahiran, kini ditambah dengan pernyataan yang seolah-olah menganggap perempuan sebagai menjadi mesin produksi anak," kata Tari, Minggu (7/7/2024).
Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UM Surabaya ini menjelaskan, fenomena menurunnya angka kelahiran sudah menjadi masalah hampir 2/3 negara di dunia, salah satunya Indonesia, meski rasionya masih tergolong normal. Kebijakan negara yang mengalami tingkat kelahiran yang bahkan lebih rendah menitik beratkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan perempuan dan anak.
"Seharusnya, negara menganalisis bagaimana akar masalah demografi yang semakin menurun adalah akses kesejahteraan perempuan. Selama ini, perempuan dibebani dengan kerja-kerja pengasuhan yang dalam budaya kita masih dianggap lumrah. Kesenjangan gender inilah yang menyebabkan banyak negara Asia, seperti Jepang, Korea termasuk Indonesia, mengalami penurunan angka kelahiran," jelasnya.
Menurutnya, negara perlu mendorong kebijakan untuk melibatkan suami atau ayah berperan dalam pengasuhan. Lalu wubsidi yang lebih besar bagi keluarga dengan anak-anak, termasuk memberikan akses penitipan anak yang layak dan gratis bagi perempuan bekerja.
"Tentunya kebijakan ini perlu diimbangi dengan membangun kesadaran masyarakat akan kesetaraan gender dan mendorong kebijakan yang responsif gender. Termasuk pula mendidik para pemangku kebijakan agar berhati-hati berkomentar dan lebih peka pada aspek ini," pungkasnya.
(abq/iwd)