Pakar Psikologi Universitas Brawijaya (UB) Ziadatul Hikmiah mengungkapkan keluarga terutama orang tua punya andil besar dalam tumbuh kembang mental anak. Untuk itu menurutnya, orang tua harus sudah selesai dengan dirinya sebelum memiliki anak.
Merujuk teori Urie Bronfenbrenner, sosok yang akrab dipanggil Zia itu menjelaskan tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Sebagai institusi pertama yang dikenal anak, keluarga punya peran penting sebagai penopang.
Sebelum menjalani kehidupan sosialnya di luar, anak harus dapat berbagai materi penguatan dari keluarga. Seperti prinsip dasar, kepercayaan, spiritual, dan penguatan diri lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di institusi keluarga harus kuat, karena disitulah value, prinsip-prinsip dasar, kepercayaan, spiritual, dan normatif terbentuk. Jika di keluarga tidak kuat, maka anak dapat mudah goyah dan mengalami peer-pressure," katanya dikutip dari laman UB, Selasa (13/5/2025).
Pembagian Peran Ibu-Ayah Harus Proporsional
Seperti yang diketahui keluarga inti terdiri dari ibu, ayah, dan anak. Dari sudut pandang psikologi perkembangan, Zia memaparkan bahwa parenting atau pengasuhan anak harus melibatkan peran ibu dan ayah.
Tidak hanya ibu, ayah perlu hadir secara proporsional dalam perkembangan mental anak. Terutama dalam hal meningkatkan self-esteem atau cara anak melihat dirinya sendiri.
Ketika self-esteem anak meningkat, ia akan merasa lebih percaya diri, memiliki motivasi, dan mencapai mentalnya akan terjaga dengan baik. Zia mengakui, Indonesia memang tak bisa menghindar dari stigma fatherless country.
Berdasarkan teori Father Involvement dari Finley setidaknya dua indikator yang harus dilakukan seorang ayah terhadap tumbuh kembang mental anak. Keduanya terdiri dari kualitas dan kuantitas.
Kuantitas sendiri berhubungan dengan pemberian nafkah kepada anak. Sedangkan kualitas berkaitan pada proses ayah yang terlibat langsung dalam kehidupan anaknya.
"Tidak sebatas memberi nafkah, seorang ayah juga harus mampu menunjukkan afeksi secara nyata, dengan contoh sederhana menanyakan kabar atau perasaan anak sehari-hari," sambung Zia.
Hubungan yang baik antara ibu, ayah, dan anak akan menguatkan satu dan lainnya. Zia berpesan agar orang tua mengurangi paparan media sosial pada anak, karena bisa membuat jati diri mereka menjadi bias.
"Saya berpesan agar anak-anak dan orang tua punya hubungan yang kuat dan positif satu sama lain. Anak-anak juga harus mengurangi tontonan sosial media yang kadang tidak selaras dengan nilai-nilai baik yang justru membuat jati diri menjadi bias," paparnya.
Labelling Mental Seharusnya Tidak Dilakukan
Ketika waktunya tiba, anak akan keluar dari pengajaran keluarga ke lingkungan sosial. Di sana, institusi pendidikan ikut mengambil peran.
Zia berpesan agar guru-guru di sekolah perlu terus berinovasi dalam melakukan pendekatan ketika membangun mental anak. Menurutnya, label sosial yang disematkan kepada anak seharusnya tidak lagi dilakukan. Contohnya, label anak anak.
Tidak semua anak-anak sadar ketika melakukan kegiatan yang dianggap 'nakal'. Banyak kasus penemuan bila sang anak ternyata mengalami gangguan kesehatan mental yang tidak terdiagnosis.
"Ketika anak diberikan label maka akan sangat merugikan, bahkan dalam dunia psikologi, untuk mendiagnosis dan labelling itu harus sangat hati-hati, meskipun tanda-tanda mungkin sudah terlihat," ungkap Zia.
Ia juga berharap pemerintah juga ikut ambil peran dalam masalah kesehatan mental anak. Menurutnya diperlukan kolaborasi pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang berbasis dengan evidence, teori, dan akademisi.
"Karena kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesehatan mental anak tidak bisa berjalan sendiri-sendiri," tandasnya.
(det/pal)