Apakah Wanita Haid Boleh Melakukan Wukuf di Arafah? Ini Hukumnya

Apakah Wanita Haid Boleh Melakukan Wukuf di Arafah? Ini Hukumnya

Allysa Salsabillah Dwi Gayatri - detikJatim
Senin, 10 Jun 2024 17:00 WIB
Muslim pilgrims gather on Mount Mercy on the plains of Arafat during the annual haj pilgrimage, outside the holy city of Mecca, Saudi Arabia August 31, 2017.  REUTERS/Suhaib Salem
Ilustrasi jemaah haji wukuf di Arafah (Foto: Reuters)
Surabaya -

Ibadah wukuf merupakan salah satu rukun haji yang wajib dikerjakan. Apabila seseorang tidak melakukan wukuf, maka haji yang ditunaikan menjadi tidak sah. Wukuf di Padang Arafah juga menjadi puncak ritual ibadah haji. Bagaimana dengan jemaah haji yang sedang haid?

Umumnya, wukuf di Arafah dilakukan pada satu hari sebelum hari raya Idul Adha. Wukuf dilakukan pada 9 Zulhijah dengan cara berdiam diri dan memperbanyak membaca doa dan zikir.

Wukuf menjadi hal yang wajib dalam rukun haji. Lantas, bagaimana dengan wanita yang sedang dalam masa haid? Bolehkah mereka melakukan wukuf di Arafah? Simak penjelasan lengkap beserta hukumnya di bawah ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hukum Wukuf bagi Jamaah Haji Haid

Dikutip dari laman NU Online, ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al Idlah, salah satu adab wukuf adalah dilakukan dalam keadaan suci. Maka dari itu, wukuf bagi jamaah haji yang sedang haid adalah sah.

Meskipun demikian, mereka kehilangan keutamaan wukuf dalam keadaan suci. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan hadis berikut.

اَلسَّابِعَةُ الْأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ مُسْتَقْبِلًا لِلْقِبْلَةِ مُتَطَهِّرًا سَاتِرًا عَوْرَتَهُ فَلَوْ وَقَفَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ عَلَيْهِ نَجَاسَةٌ أَوْ مَكْشُوْفَ الْعَوْرَةِ صَحَّ وُقُوْفُهُ وَفَاتَتْهُ الْفَضِيْلَةُ.

Artinya: Kesunahan dan adab wukuf yang ketujuh. Yang lebih utama adalah menghadap kiblat, suci dari hadas, dan menutupi aurat. Sehingga bila seseorang wukuf dalam keadaan berhadas, junub, haid, terkena najis atau terbuka auratnya, maka sah wukufnya, dan ia kehilangan keutamaan. (Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Idlah, Beirut-Dar al-Hadits, hal. 313).

Dari referensi tersebut dapat dipahami bahwa kondisi haid tidak mencegah keabsahan wukuf. Hal ini dikarenakan hanya berkaitan dengan keutamaan, bukan kewajiban. Namun, apabila memungkinkan, lebih baik menunggu ketika sudah suci selama waktu wukuf masih tersedia.

Hal tersebut supaya jemaah dapat memperoleh keutamaan wukuf dalam keadaan suci. Tetapi apabila tidak memungkinkan, misalnya dengan menunggu sampai keadaan suci dapat ketinggalan rombongan sehingga mengancam keselamatan, maka hendaknya ia tetap mengikuti alur pemberangkatan rombongan dengan berwukuf dalam kondisi haid.

Sebab, menjaga keselamatan diri merupakan kewajiban. Sedangkan wukuf dalam kondisi suci merupakan kesunahan. Kaidah fiqih juga menegaskan "al-Wâjibu lâ yutraku illâ li wâjibin" (kewajiban tidak dapat ditinggalkan kecuali karena kewajiban lainnya). Sebagian ulama meredaksikan dengan bunyi kaidah "al-wâjibu lâ yutraku li sunnatin" (kewajiban tidak boleh ditinggalkan karena kesunahan).

Doa Wukuf di Arafah

Masih dilansir dari sumber yang sama, wukuf di Arafah disunahkan untuk memperbanyak doa maupun zikir. Rasulullah SAW mengatakan, doa yang paling utama adalah doa hari Arafah. Adapun doa yang sering dibaca Nabi Muhammad SAW menurut Al-Mawardi dalam Al-Hawil Kabir sebagai berikut.

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي قَلْبِي نُورًا اللَّهُمَّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَسَاوِسِ الصَّدْرِ وَمِنْ سَيِّئَاتِ الْأُمُورِ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا يَلِجُ فِي اللَّيْلِ وَشَرِّ مَا يَلِجُ فِي النَّهَارِ وَمِنْ شَرِّ مَا تَهُبُّ بِهِ الرِّيَاحُ، وَشَرِّ بَوَائِقِ الدَّهْرِ

Latin: Lâ ilâha illallâhu wahdahû lâ syarîkalah. Lahul mulku walahul hamdu wa hua alâ kulli syai'in qadîr. Allâhummaj'al fî sam'î nûrâ, wa fî basharî nûrâ, wa fî qalbî nûrâ. Allâhummasyrah lî shadrî, wa yassir lî amrî. Allâhumma innî a'ûdzu bika min wasâwisis shadri, wa min saayi'âtil umûr, wa min adzâbil qabri. Allâhumma innî a'ûdzu bika min syarri mâ yaliju fil lail, wa syarri mâ yaliju fin nahâr, wa syarri mâ tahubbu bihir rîhu, wa syarri bawâ'iqid dahri.

Artinya: Tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia memiliki kekuasaan dan berhak atas setiap pujian. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Wahai Tuhanku, jadikanlah pendengaranku, penglihatanku, dan hatiku bercahaya. Lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah urusanku. Aku berlindung kepada-Mu dari bisikan hati, perkara yang buruk, dan dari azab kubur. Aku juga berlindung dari kejahatan yang datang di malam hari dan siang hari. Aku berlindung dari kejahatan yang dibawa angin dan kejelekan zaman.

Artikel ini ditulis oleh Allysa Salsabillah Dwi Gayatri, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/fat)


Hide Ads