Perjanjian Roem Royen Disahkan 7 Mei 1949, Ini Sejarah dan Isinya

Perjanjian Roem Royen Disahkan 7 Mei 1949, Ini Sejarah dan Isinya

Alifia Kamila - detikJatim
Senin, 06 Mei 2024 14:31 WIB
Hari Perjanjian Roem Royen jatuh pada 7 Mei. Peringatan tersebut untuk memperingati lahirnya Perjanjian Roem Royen dalam mempertahankan kedaulatan NKRI.
Perjanjian Roem Royen (Foto: Kemdikbud)
Surabaya -

Meski telah mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, bukan berarti Indonesia bebas sepenuhnya dari keinginan Belanda kembali menguasai Indonesia. Hingga akhirnya terjadi beberapa perjanjian pada masa itu, salah satunya Perjanjian Roem Royen.

Perjanjian Roem Royen ditandatangani 7 Mei 1949 di Hotel des Indes Jakarta. Ini hasil perundingan antara Indonesia dengan Belanda yang berlangsung selama kurang lebih 11 hari.

Bagaimana awal mula dari Perjanjian Roem Royen? Berikut detikJatim rangkum sejarah hingga isi dari Perjanjian Roem Royen.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Sejarah Perjanjian Roem Royen

Dilansir dari laman Kemdikbud, Perjanjian Roem Royen dipicu oleh dilanggarnya Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville oleh pihak Belanda. Sebab, Belanda masih belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia.

Mulanya, Belanda menolak mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto sehingga lahirlah Perjanjian Linggarjati. Perjanjian ini dilakukan di Kuningan, Jawa Barat pada 10-15 November 1946 dan disahkan pada 25 Maret 1947.

ADVERTISEMENT

Hasilnya, Belanda mengakui RI secara de facto dengan terdiri atas Jawa, Madura, dan Sumatra. Selain itu, Indonesia juga bagian dari negera federal Republik Indonesia Serikat. Namun, Belanda melanggar perjanjian tersebut dengan menyerang kota-kota besar di wilayah Jawa dan Sumatra. Aksi ini dinamakan sebagai Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947.

PBB segera bereaksi dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) untuk menyelesaikan konflik ini. Anggota KTN terdiri atas Richard C. Kirby dari Australia sebagai perwakilan Indonesia, Paul Van Zeeland dari Belgia sebagai perwakilan Belanda, dan Prof. Dr. Frank Graham dari Amerika Serikat sebagai penengah.

KTN kemudian dikenal sebagai Perjanjian Renville sebab perundingan dilakukan di atas kapal Amerika Serikat, USS Renville pada 17 januari 1948. Hasilnya yakni Belanda tetap berdaulat hingga terbentuknya RIS, kedudukan RI sejajar dengan Belanda, RI menjadi bagian dari RIS dan akan diadakan pemilu untuk membentuk Konstituante RIS.

Lagi-lagi, pihak Belanda melanggar perjanjian yang telah disetujui. Pasukan Belanda kembali melancarkan serangan yang dinamakan Agresi Militer Belanda II. Dua serangan yang dilakukan Belanda membuat Indonesia membalasnya dengan Serangan Umum 1 Maret 1949.

Keberhasilan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 membuat Indonesia dapat menyakinkan kancah internasional atas eksistensi Republik Indonesia. Pada 10 Maret 1949, Dewan Keamanan PBB yang dimotori Amerika Serikat mengambil langkah untuk Belanda dengan ancaman tidak dilanjutkannya program Marshall Plan.

Selanjutnya pada 25 Maret 1949, United Nations Commissions for Indonesia (UNCI) mengundang Indonesia dan Belanda untuk mengikuti sebuah konferensi di Jakarta. Pertemuan itu diadakan di bawah pengawasan PBB.

Belanda pun menyetujui undangan itu dengan menunjuk Dr. Jan Herman Van Royen sebagai pemimpin delegasi. Sementara, Moh.Hatta secara pribadi menerima undangan tersebut, tetapi menolak melangsungkan perundingan apabila anggota pemerintahan Indonesia masih berada dalam pengasingan dan kekuasaan RI di Yogyakarta belum sepenuhnya dipulihkan.

UNCI pun mengeluarkan jaminan bahwa keputusan yang dihasilkan atas konferensi itu tidak akan mengikat selama RI belum memiliki kedudukan yang jelas. Akhirnya, Moh. Hatta menyetujui perundingan tersebut dengan menunjuk Mr. Mohammad Roem sebagai wakil RI.

Pertemuan resmi berlangsung di Jakarta pada 14-24 April 1949 di Hotel Des Indes Jakarta. Pada 12 April 1949, rombongan delegasi Belanda tiba di Jakarta yang dipimpin oleh Dr. Van Royen. Para anggota turut serta hadir dalam konferensi itu, antara lain Mr. N.S. Bloom, Mr. A. Jacob, Dr. J.J. Van der Velde, dan empat orang penasehat.

Sementara rombongan delegasi RI tiba selang tiga hari setelahnya. Diketuai oleh Mr. Mohammad Roem, rombongan itu terdiri dari Mr. Ali Sastroamidjojo selaku wakil ketua dengan dr. Leimena, Ir. Djuanda, Prof. Soepomo, Mr. Latuharhary, Mr. Gaffar Pringgodigo, serta lima orang penasehat sebagai anggota.

Hasil dari perundingan itu kemudian ditandatangani pada 7 Mei 1949 dan dikenal sebagai Perjanjian Roem Royen. Nama Roem Royen diambil dari dua tokoh delegasi utama, yakni Dr. Van Royen dari Belanda dan Mr. Mohammad Roem dari Indonesia.

Isi Perjanjian Roem Royen

Isi dari Perjanjian Roem Royen merupakan pernyataan damai dari kedua belah pihak. Adapun berikut isi Perjanjian Roem Royen.

Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan:

1. Mengeluarkan perintah kepada "pengikut Republik yang bersenjata" untuk menghentikan perang gerilya.
2. Bekerja sama mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
3. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat "penyerahan" kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.

Delegasi Belanda menyatakan kesediaan:

1. Menyetujui kembalinya Pemerintahan RI ke Yogyakarta.
2. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
3. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19 Desember 1948, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik.
4. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari NIS (Negara Indonesia Serikat).
5. Berusaha dengan sesungguh-sugguhnya supaya KMB segera diadakan sesudah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.


Artikel ini ditulis oleh Alifia Kamila, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/fat)


Hide Ads