Film dokumenter Dirty Vote mengundang perhatian banyak orang di tengah masa tenang Pemilu 2024. Film karya Dandhy Laksono yang diunggah di YouTube ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyrakat.
Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB) Malang Prof I Nyoman Nuryana turut menanggapi kemunculan film tersebut. Ia menilai film dokumenter ini sangat tidak tepat dikeluarkan saat masa tenang.
"Film ini sangat tendensius dan tidak mencerminkan etika akademisi. Film ini berisi opini dan asumsi," kata Nyoman, Selasa (13/2/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nyoman menambahkan, film tersebut tergolong black campaign karena melanggar peraturan pemilu di tengah masah tenang. Menurutnya, pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan film itu bisa melapor ke Bawaslu.
"Bawaslu dapat berkoordinasi dengan penegak hukum untuk penindakannya apabila memenuhi unsur pidana," tamnahnya.
Demikian juga dengan Bawaslu yang turut disorot dalam film itu. Menurut Nyoman, Bawaslu bisa saja melapor ke penegak hukum jika merasa nama baiknya tercemar setelah kemunculuan Dirty Vote.
"Kalau bisa membuktikan dan terbukti film ini menyerang kehormatan dan harkat martabat bisa diteruskan ke penegak hukum," tegas Nyoman.
Ia mengungkapkan, dalam film tersebut terdapat tiga aktor yang mengaku sebagai akademisi. Ketiganya dianggap tidak mencerminkan seorang akademisi yang harus objektif dan netral. Akademisi harus memegang teguh kaidah.
"Berani membuka pendapat tentunya harus menghargai pendapat orang lain," katanya.
Nyoman melanjutkan, seorang akademisi harusnya menampilkan keberimbangan.
"Seharusnya ada sisi positif juga, sehingga bisa dinilai film ini bentuk kecurangan dan tidak beretika dalam berdemokrasi. Aktor ini memainkan peran akademisi atau tidak namun film ini hanya mengumpulkan video-video lama sangat tidak bijak disebut akademisi," tukasnya.
(hil/dte)