Profil dan Sederet Fakta tentang Dandhy Laksono Sutradara Film Dirty Vote

Profil dan Sederet Fakta tentang Dandhy Laksono Sutradara Film Dirty Vote

Irma Budiarti - detikJatim
Senin, 12 Feb 2024 18:00 WIB
Dandhy Laksono
Dandhy Laksono, sutradara film dokumenter Dirty Vote/Foto: Dandhy Laksono (Hanif/detikHOT)
Surabaya -

Nama Dandhy Dwi Laksono ramai dibicarakan setelah dirilisnya film Dirty Vote di akun YouTube PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan). Ya, Dandhy adalah sutradara film dokumenter yang mengungkap desain kecurangan Pemilu 2024 itu.

Dandhy Dwi Laksono merupakan seorang jurnalis investigasi yang sudah sering mengkritik kebijakan pemerintah melalui film. Dirty Vote bukanlah film pertama yang dibuatnya dalam momentum Pemilu.

Sebelumnya, Dandhy meluncurkan film Ketujuh pada 2014. Tiga tahun kemudian, menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, Dandhy meluncurkan film Jakarta Unfair. Lalu, menjelang Pemilu 2019, Dandhy meluncurkan film Sexy Killers.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Film berdurasi 1 jam 57 menit ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara yang menyampaikan berbagai desain kecurangan yang ditemukan pada Pemilu 2024. Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Dokumenter Dirty Vote mengungkap bagaimana kecurangan itu dibuat dan didesain sejak lama oleh mereka yang 10 tahun terakhir memegang kekuasaan di negeri ini. Hingga kekuatan besar di belakang Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

ADVERTISEMENT

Profil Dandhy Laksono

Dandhy lahir di Lumajang, Jawa Timur pada 29 Juni 1976. Selain lulus Sarjana Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Bandung, Dandhy juga menempuh pendidikan nonformal dalam Ohio University Internship Program on Broadcast Journalist Covering Conflict Amerika Serikat (2007), dan British Council Broadcasting Program London (2008).

Suami Irna Gustiawati ini adalah seorang jurnalis investigasi berupa tulisan maupun film dokumenter. Ia mengawali karier jurnalistik pada tahun 1990. Dandhy aktif ikut berbagai workshop dan seminar tentang jurnalistik atau media di Filipina, Thailand, China, Malaysia, dan Korea Selatan.

Pada tahun 1998, Dandhy memulai karier di tabloid Kapital dan majalah Warta Ekonomi. Ia kemudian beralih ke radio Pas FM, Smart FM, Ramako, atau menjadi stringer di radio ABC Australia.

Dandhy kemudian berpindah ke televisi dengan menjadi produser berita di Liputan 6 SCTV dan Kepala Seksi Peliputan di RCTI. Pada tahun 2003-2005, ia menjadi pemimpin majalah dan situs acehkita.com, media alternatif di masa pemberlakuan darurat militer di Aceh.

Fakta tentang Dandhy Laksono

Sosok Dandhy menjadi sorotan berkat karya-karya film dokumenternya yang menyoroti isu-isu sosial. Termasuk ketika dirinya menelurkan film dokumenter dalam momentum pemilu. Film-film itu pun tak pernah sepi penonton.

1. Menulis Buku Jurnalisme

Sebelum menyutradarai sejumlah film dokumenter dan video, Dandhy lebih dulu melahirkan tulisan yang diambil dari pengalamannya selama menjadi jurnalis. Ia menulis buku 'Indonesia for Sale' dan 'Jurnalisme Investigasi'.

2. Mendirikan Watchdoc Indonesia

Dandhy kemudian mendirikan rumah produksi film-film dokumenter pada tahun 2009 yang diberi nama Watchdoc Indonesia. Rumah produksi tersebut ia bangun bersama temannya Andy Panca Kurniawan.

Ia telah membuat ribuan karya melalui rumah produksi tersebut. Tercatat, rumah produksi Watchdog Indonesia telah mengeluarkan 165 lebih episode dokumenter, 7.115 feature televisi, hingga 45 video komersial non komersial.

3. Film Dokumenter Momentum Pemilu

Dandhy sudah empat kali membuat film dokumenter yang bersinggungan dengan momentum pemilu. Film dokumenter tentang pemilu pertamanya dibuat pada tahun 2014. Saat itu, ia meluncurkan film Ketujuh.

Tiga tahun kemudian, menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, Dandhy meluncurkan film Jakarta Unfair. Lalu, menjelang Pemilu 2019, Dandhy meluncurkan film Sexy Killers bertepatan pada masa tenang.

Film dokumenter Sexy Killers menyoroti masalah dampak industri tambang di Indonesia. Film ini ramai diperbincangkan karena dirilis beberapa hari saja menjelang Pilpres 17 April 2019.

Dokumenter keempatnya baru dirilis 11 Februari 2024. Film berjudul Dirty Vote ini menghadirkan tiga pakar hukum tata negara di Indonesia yang mengungkap desain kecurangan Pemilu 2024. Film ini tak kalah heboh. Baru satu hari rilis, Dirty Vote sudah ditonton lebih dari 4,1 juta kali, dan trending di berbagai media sosial.

4. Film Dokumenter Paling Terkenal

Ada dua film dokumenter yang disutradarai Dandhy yang paling terkenal. Pertama, film Jakarta Unfair. Film ini menyoroti masalah reklamasi di Jakarta.

Kedua, film Samin vs Semen yang menyoroti masalah masyarakat Samin Kendeng yang berjuang melawan penggusuran perusahaan semen. Film-film yang menyoroti masalah sosial ini membuat Dandhy dikenal sebagai aktivis. Ia juga pernah ikut 'Ekspedisi Indonesia' pada tahun 2015.

5. Sutradara Film Dirty Vote

Dandhy kembali merilis film dokumenter yang menjadi sorotan publik. Film dokumenter eksplanatori berjudul Dirty Vote membuat namanya dicari banyak orang karena dinilai berani mengungkap kecurangan Pemilu 2024.

Film Dirty Vote merupakan film keempat yang disutradarainya yang mengambil momentum Pemilu. Dandhy memang sudah sering mengkritik kebijakan pemerintah melalui film maupun media sosial.

Film berdurasi 1 jam 57 menit ini menampilkan Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Tiga pakar hukum tata negara itu menyampaikan berbagai desain kecurangan yang ditemukan pada Pemilu 2024.

Dokumenter Dirty Vote mengungkap bagaimana kecurangan itu dibuat dan didesain sejak lama oleh mereka yang 10 tahun terakhir memegang kekuasaan di negeri ini. Kecurangan yang terlihat nyata tapi tidak ditindak hingga kekuatan besar di belakang Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

6. Kasus Hukum yang Menjerat Dandhy

Pada September 2017, Dandhy pernah dilaporkan ke polisi karena dianggap menghina Megawati Soekarnoputri. Saat itu, Dandhy membuat tuliasn berjudul 'Suu Kyi dan Megawati'.

Tulisan tersebut dinilai menghina Ketum PDI perjuangan. Ia pun dilaporkan Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur, organisasi sayap PDI Perjuangan.

Itu bukan kasus pertama yang menjerat Dandhy. Ia juga pernah ditangkap polisi pada 26 September 2019. Ia ditangkap di rumahnya karena cuitan tentang Wamena yang dianggap mengandung ujaran kebencian.

Dandhy ditetapkan sebagai tersangka meskipun diperbolehkan pulang usai penangkapan tersebut. Ia disangkakan melanggar Pasal 28 ayat (2), jo Pasal 45 A ayat (2) UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 14 dan Pasal 15 Nomor 1 tahun 1946 tentang hukum pidana.




(irb/sun)


Hide Ads