Suara gamelan bertalu di setiap sudut lingkungan Papring, Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi. Suara tersebut bersumber dari satu petak tanah tempat pertunjukan Hikayat Bambu Papring digelar. Tabuh-tabuhan dari gendang, gong, kenong, bonang, dan seruling rebab terangkai menjadi satu alunan musik khas Blambangan.
Gerombolan bocah usia 8 sampai 16 tahun sekonyong-konyong berlarian dari belakang panggung. Ada yang membawa kambing, ada yang membawa tampah anyam bambu, dan ada pula yang bermain egrang. Ramai bercengkerama dan sorak-sorai. Seorang anak lelaki lantas muncul dengan memikul sayur-mayur dan tawar-menawar harga pun terdengar.
Ini adalah penokohan, sekitar 25 anak Kampung Baca Taman Rimba (Batara) memainkan lakonnya masing-masing. Menjadi petani, pedagang, ibu muda beranak tiga, hingga lelaki muda yang memikul sayur di pundak berkeliling desa. Ini adalah penggambaran 8 tahun silam saat lingkungan Papring minim sentuhan pendidikan dan pengetahuan. Pagelaran seni semi kolosal tersebut diinisiasi oleh anak-anak Batara sendiri, mulai pemain musik, penari, hingga jalan cerita mereka kreasikan sendiri. Perpaduan antara kreativitas koreografi dan alunan musik khas Banyuwangi membuat penonton terpukau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sabtu (14/10) siang itu, Herfan Efendi (17), salah satu anak didik Kampung Batara, berdiri termangu di antara panggung dan tamu undangan. Ia lalu mengangguk-angguk sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. Dalam gelaran Hikayat Bambu Papring, Fendi-sapaan akrabnya- berperan sebagai tokoh penggerak Kampung Batara, Widi Nurmahmudi. Melihat pentas itu, Widi yang asli terlihat terharu.
"Itu terjadi pada saya di masa kecil, saya menjadi anak pemalu bahkan ketika orang bertanya kepada saya 'arek endi le?' (anak mana?). Saya selalu jawab orang Kalipuro, soalnya saya pasti di-bully kalau saya ngomong saya anak Papring. Kayak ngeri gitu kalau ngomong soal Papring, karena isinya kalau di Papring itu banyak anak yang putus sekolah, menikah muda, bekerja seadanya," ungkap Fendi kepada detikJatim usai pagelaran.
Fendi adalah satu dari puluhan potret anak Batara yang mampu melewati masa kecil dan terlepas dari jerat putus sekolah atau bahkan menikah muda.
"Saya kalau lihat dulu sangat sedih tahu teman-teman saya yang masih muda hitungannya, masih anak, itu bekerja dan menikah. Jadi sebelum ada Batara ini, Papring ini sangat apa ya? Miris apa ya," imbuhnya mencoba mendeskripsikan tempat tinggalnya dengan ratapan ekspresi yang sedih.
Fendi tak menampik suatu saat ia akan meninggalkan Papring untuk mengejar cita-cita yang lebih tinggi, Namun, ke manapun ia pergi, ia akan membawa hal-hal baik dari Papring untuk ditularkan. Selain itu dia pasti akan kembali ke kampung kelahirannya tak peduli seberapa jauh tempat perantauannya.
"Saya sangat terharu sekali dengan perjalanan 8 tahun ini, bukan waktu yang singkat. Banyak rintangan, banyak halangan, tapi karena saya berprinsip bahwasannya sejauh mana pun saya pergi, saya akan kembali untuk kampung. Harapan saya, begitupun saudara saya lainnya, agar Kampung Papring ini terus berkembang generasi mudanya, jadi generasi muda yang cinta budaya, cinta tradisi, dan bangga pada desanya," terang Fendi.
![]() |
Sebagai putra Papring, menurut Fendi hal terbaik yang bisa disumbangkan anak-anak Papring kepada Banyuwangi dan Indonesia adalah energi dari generasi mudanya.
"Yang bisa disumbangkan untuk Banyuwangi dan bangsa ini ya generasi mudanya ini. Generasi Papring mulai yang muda dan kecilnya itu terus berkembang, belajar dan menyerap hal-hal baik dan otomatis ini akan memberi manfaat untuk Banyuwangi, juga dalam sekala yang lebih luas untuk bangsa ini," tegas Fendi.
Penghasilan rendah hingga kesejahteraan yang minim memicu tingginya angka putus sekolah dan pernikahan dini di lingkungan Papring pada 2015. Meski tidak memiliki data angka secara rinci, Widi Nurmahmudi selaku inisiator Kampung Batara mengungkapkan, jumlah anak putus sekolah dan angka pernikahan dini bisa ia pastikan tinggi. Sebab, ia juga menjadi salah satu orang yang memberikan rekomendasi saat pernikahan anak akan dilangsungkan.
"Saat itu tanda kutip saya terlibat mengesahkan pernikahan dini itu, ya saya. Dalam artian bagi orang tua yang akan menikahkan anaknya itu kan butuh perjanjian dan itu saya yang membuatkan, tapi sekarang sudah tidak ada. Kalau dulu dalam setahun itu banyak, cuma saya tidak tahu pasti datanya, setelah 2015 itu dalam 5 tahun terakhir itu tidak ada," beber Widi.
Berkaca dari apa yang telah ia lakoni dan saksikan, Widi merisaukan masa depan anak-anak Papring. Ia lalu mendirikan Kampung Baca Taman Rimba. Dari 4 orang anak, kini Batara memiliki 46 anak didik. Bukan hanya anak-anak dari Kampung Papring, tapi ada sejumlah anak dari Wangkal, Sumbernanas, Kalipuro, Ketapang, Banyuwangi, dan Giri.
"Bersyukur saja karena teman-teman melanjutkan sekolah, sebelum-sebelumnya kan banyak yang putus sekolah. Sekarang sudah 46 (anak), ini yang Papring. Tidak ada yang menetap secara jumlah, cuma data terakhir ada 65 anak, termasuk yang dari luar Papring," katanya.
Widi menjelaskan, lingkungan Papring merupakan kampung kecil yang dihuni oleh 700 kepala keluarga. Untuk mencapai Papring, masyarakat harus melintasi jalanan berbatu dan menanjak. Butuh waktu 40 menit dari Kota Banyuwangi untuk sampai Papring yang berada di ketinggian 400 mdpl. Papring juga kerap kesulitan air bersih karena sumber mata air hanya satu untuk 10 Rt, bahkan sejarah konflik horizontal akibat krisis air bersih kerap menghantui masyarakat sekitar.
Dalam segala keterbatasan itu, Widi mencoba menggali potensi yang ada. Mulai dari mengajak masyarakat secara swadaya, menanam bambu di sumber mata air, hingga memanfaatkan setiap batang bambu untuk diolah menjadi produk layak jual.
Dimulai dari besek anyam bambu yang awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan bungkus tape. Lama-kelamaan berkembang hingga sanggup mengkreasikan 12 variasi wadah hantaran dan aneka kerajinan.
"Membayangkan, dulu tidak ada produk-produk yang dijual di kampung sendiri, ternyata sekarang ada. Kemudian memantik semangat warga untuk mau belajar lagi lewat PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). Saya tidak tahu ini disebut capaian atau apa, karena kita kan tidak punya program-program jangka panjang ata jangka pendek," ucap Widi dengan tatapan nanar saat menjawab pertanyaan detikJatim.
![]() |
Delapan tahun berlalu, langkah kecil Widi menciptakan energi baik bagi hampir seluruh masyarakat Papring berbuah manis. Terlihat dalam pertunjukan Sabtu siang itu, hampir seluruh mata penonton berlinang, menitikkan air mata haru. Tepuk tangan bergemuruh, simbol apresiasi untuk Widi di akhir pentas.
Hari itu, stan-stan UMKM tampak berjajar di sisi kanan panggung. Mereka menjajakan aneka produk Papring, mulai dari produk anyam bambu, penutup kepala batik, kain batik, dan kopi. Yang datang berkunjung bukan hanya warga Banyuwangi, tapi ada juga yang dari Surabaya, Sidoarjo, Tulungagung, Malang, bahkan Jakarta.
Ini adalah pencapaian bagi seluruh warga Papring yang menyerap energi baik dari sosok Widi Nurmahmudi. Energi itu lalu disalurkan Widi ke hampir 700 keluarga yang menghuni kampung penghasil bambu tersebut. Energi ini pula yang menjadi magnet bagi sejumlah perusahaan milik negara untuk menyalurkan bantuan sosialnya agar Kampung Batara terus berkembang.
Jemparing Wangi dan Pertamina Jembatan Batara menuju Kampung Mandiri
Widi sadar Batara yang kian mengakar ke sendi-sendi kehidupan masyarakat Papring tidak akan kuat tanpa kolaborasi. Akar ini perlu dipupuk dan diberikan wadah, sehingga mampu menopang pohon dan ranting yang terus berkembang.
Melalui Jemparing Wangi yang berarti Jelajah Edukasi Masyarakat Pegiat Bambu Papring Banyuwangi, Widi menemukan jalan penghubung untuk mencapai tujuan yang lebih terprogram mencapai cita-cita masyarakat Papring mandiri. Baik dari segi pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya.
Jemparing Wangi menjadi simbol langkah awal Batara yang tidak hanya sekadar sekolah adat, tapi juga rumah bagi anak-anak, kaum ibu, kaum bapak, dan lansia yang bisa menyalurkan aspirasinya.
Tak jauh dari Kampung Papring, tepatnya di pesisir Ketapang Banyuwangi, berdiri Depo Bahan Bakar Minyak yang menjadi cadangan energi bagi sebagian wilayah Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara. PT Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus Integrated Terminal Tanjung Wangi sebagai operator depo tersebut menjadi salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terseret masuk ke dalam lingkaran energi baik Jemparing Wangi.
Melalui alokasi program tanggung jawab sosial perusahaan kepada Masyarakat, Pertamina hadir untuk mendorong masyarakat Papring yang hidup dalam keterbatasan agar bisa mandiri. Dimulai pada 2019, Pertamina memberikan tempat berkumpul, bermusyawarah, dan berkreativitas oleh warga Papring.
Dari rumah tersebut ide-ide tercetus, produk-produk kerajinan tercipta, pendidikan berlangsung nyaman, kegiatan budaya kian berkembang dan anak-anak memainkan aneka permaianan tradisional dengan menyenangkan. Rumah bambu juga menjadi objek pengenalan bambu secara langsung agar masyarakat teredukasi dan semangat melestarikan bambu.
"Setiap program CSR (Corporate Social Responsibility) Pertamina diawali dengan pemetaan sosial, kondisi sosial masyarakat dengan geografis hingga demografi. Rumah bambu ini menjadi tempat untuk menjadi wadah berdiskusi, mengeluarkan ide, berdebat memunculkan inspirasi-inspirasi baru," terang Area Manager Comm Rell & CSR Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus, Ahad Rahedi.
Diawali dengan menyasar pegiat bambu Papring, program CSR Pertamina berlanjut pada pemenuhan kebutuhan air bersih dengan pembangunan tandon air yang mampu memenuhi kebutuhan air bagi sekitar 400 kepala keluarga di Papring. Program tersebut sangat berarti bagi masyarakat, terutama saat kekeringan melanda sejak September 2023. Keterbatasan akses membuat anak-anak Papring kerap kesulitan saat pergi ke sekolah, menjawab kebutuhan tersebut Pertamina menyediakan satu mobil elf sebagai sarana transportasi pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat Papring.
"Terkait pendidikan perlu adanya keseriusan, termasuk yang kita soroti kesadaran dari generasi sebelumnya. Sudah senior-senior atau lansia tetap semangat belajar di PKBM, sementara untuk generasi mudanya tentu tetap semangat apalagi dengan ditambah sarana transportasi mempermudah aksesibiltas," tambah Ahad.
Sebagian kebutuhan dasar masyarakat Papring terpenuhi dari kolaborasi, baik yang dibangun Widi dan Batara, maupun bersama Pertamina. Bukan hanya dari sisi pendidikan, perekonomian warga Papring kian menemukan jalan sejahtera. Kerajinan anyam bambu dengan aneka bentuk dari Papring banyak dipesan oleh masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya.
![]() |
Sektor ini pun banyak menyerap tenaga kerja perempuan. Anjani, salah satu warga Papring yang menekuni kerajinan bambu mengaku bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dan memberikan uang saku untuk anak dan cucunya. Pada hari biasa Anjani bisa mendapat pesanan besek bambu hingga 100 buah dengan harga Rp 4.000 sampai Rp 5.000. Kerap kali ia menerima pesanan berupa tas anyam sebagai hantarΓ‘n dengan harga antara Rp 7.000 sampai Rp 15.000. Keuntungan yang ia dapat sebesar Rp 1.000 sampai 2.000 per buah.
"Alhamdulillah banyak terus pesanan sekarang, buat masak, uang jajan, dan disimpan," kata Anjani.
Selain anyaman bambu, sejak Agustus 2021 Batara memiliki produk batik khas Papring. Batik itu digambar langsung oleh anak-anak dan masyarakat Papring yang tergabung dalam kelompok Batik Deling Batara. Motif batik berisi Γ§orak permainan tradisional, antara lain egrang bambu, layang-layang, egrang pecut, dan gasing bambu.
Pada hari biasa batik-batik terjual antara 20 sampai 30 lembar dengan variasi harga Rp 150.000 sampai Rp 250.000, tergantung metode pembatikan. Jika ada kunjungan dari luar, penjualan batik meningkat hingga 20%. Belum lagi produk kopi robusta dengan cita rasa khas, menjadi entitas tersendiri dengan Pertamina dan sejumlah kantor dinas Pemkab Banyuwangi menjadi pelanggan tetapnya.
Ya, energi baik Jemparing Wangi kian menyebar ke sejumlah daerah di Indonesia. Papring kerap menerima kunjungan dari lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah dari daerah lain seperti Sidoarjo dan Surabaya. Mereka berkunjung dengan berbagai maksud, mulai dari studi banding hingga study tour. Anak-anak Batara yang tadinya pemalu, kini telah tumbuh menjadi anak-anak yang mampu bersosialisasi dengan baik. Mereka menjadi pemandu wisata untuk desanya sendiri.
Bekal etika dan budi pekerti tertatanam pada anak-anak Papring. Firman Maulana Putra, salah satu anak didik Batara yang baru berumur 10 tahun mengaku kerap menemani sejumlah tamu seusianya yang datang berkunjung ke Papring.
"Sering anak sekolah dari jauh datang menginap di rumah, biasanya 3 sampai 4 anak. Itu saya temani nginep dirumah," terang Firman.
Bukan hanya Firman, semua anak didik Batara harus siap menjadi etalase bagi kampungnya. Sebab, setiap tamu yang datang berkunjung akan tinggal atau live in di rumah anak-anak Batara selama beberapa hari.
Transformasi lingkungan Papring bagi Widi Nurmahmudi bukanlah pencapaian, tapi bagian dari proses yang masih harus melewati jalan panjang dan terjal. Bukan hal mudah untuk sampai di titik hari ini, tak sedikit penolakan dan tudingan yang datang padanya. Namun, Widi meyakini langkah terbaik untuk anak-anak Batara akan selalu ia pilih agar masa-masa suram di 8 tahun bahkan 10 tahun sebelumnya tidak akan terulang.
"Yang ingin Batara salurkan itu energi kesederhanaan. Jadi pendidikan itu sederhana, membangun komunikasi itu sederhana, membangun mental literasi terhadap yang lebih muda itu sederhana, menjaga adab ke orang yang lebih tua itu sederhana, tidak mahal kan. Saya ingin semua tahu bahwa pendidikan itu jangan dibuat mahal, karena saat pendidikan itu mahal, maka lihatlah Papring 8 tahun yang lalu, itu yang akan terjadi," tukas Widi di akhir percakapan dengan detikJatim.
(erm/dte)