Tanggal 29 Oktober diperingati sebagai hari stroke sedunia. Di Indonesia, stroke merupakan penyakit penyebab kematian bersama penyakit jantung.
Saat ini Kemenkes memiliki program terapi trombolitik (RTPA) yang digalakkan untuk mencegah kematian dan mengurangi kecacatan stroke yang ada di Indonesia. Stroke sendiri masih menjadi penyakit yang menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan masalah kesehatan global penyebab kecacatan.
Prevalensi stroke di Indonesia menurut data Riskedas tahun 2013 adalah 7 per 1.000 penduduk terkena stroke. Prevalensi itu naik pada tahun 2018 dengan 10,9 per 1.000 penduduk terkena stroke.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut data WHO, pada 2019, stroke adalah penyakit penyebab kematian tertinggi dengan data 131,8 per 100.000 penduduk. Jadi berdasarkan data, penyebab kematian tertinggi antara tahun 1990 hingga 2019 masih dipegang oleh penyakit jantung dan stroke.
Berdasarkan data Kemenkes tahun 2022, banyak faktor yang masuk dalam layanan 4 prioritas, yaitu 3 dari 1.000 orang berisiko mengalami stroke per-tahun. 15% Penderita stroke berisiko meninggal dan 65% penderita stroke berisiko mengalami kecacatan.
Untuk menekan angka kematian yang disebabkan oleh stroke, salah satunya dengan cara melakukan prosedur RTPA. Hal ini juga masuk program Kemenkes yang sedang digalakkan.
"Dengan beban pembiayaan yang besar, prosedur RTPA bisa dilakukan di RS pengampu stroke di kabupaten/kota. RTPA bisa menekan angka kecacatan, kematian dan pembiayaan dari segi kesehatan," ujar dokter spesialis neurologi dr Heri Munajib SpN kepada detikJatim, Minggu (29/10/2023).
Baca juga: 5 Cara Menjaga Kesehatan Jantung |
Prosedur RTPA merupakan hasil inspirasi dari terapi trombolitik pada penyakit sumbatan pembuluh darah di Amerika sejak tahun 1996.
"Prosedur RTPA terinspirasi oleh keberhasilan terapi trombolitik pada penyakit sumbatan pembuluh darah jantung. Sejak tahun 1996 di Amerika telah disetujui pemberian terapi trombolitik yang bertujuan untuk menghancurkan gumpalan atau sumbatan pada pembuluh darah otak dengan obat golongan 'Recombinant Tissue Plasminogen Activator (rtPA)'. Hingga saat ini obat golongan rtΒPA yang sudah disetujui penggunaannya oleh Food Drug Association (FDA) Amerika hanya Alteplase, " jelas Heri.
Penggunaan prosedur RTPA, kata Heri, ternyata memberikan hasil yang memuaskan karena dapat memperbaiki kondisi pasien yang cukup signifikan. Namun, RTPA memiliki cukup banyak keterbatasan.
"Hasil dari banyak penelitian membuktikan bahwa terapi trombolitik atau RTPA melalui infus (intra vena) memberikan hasil yang cukup memuaskan, yaitu lebih dari 30% pasien mengalami perbaikan kondisi yang cukup signifikan. Sayangnya, terapi ini memiliki cukup banyak keterbatasan sisi waktu. Waktu terbaik pemberian trombolitik terapi secara intravena atau perinfus adalah kurang dari 3 jam, terhitung sejak awal onset atau kejadian stroke, namun ada juga yang mengalami serangan stroke lebih dari 3 jam atau kurang dari 4,5 jam dari kejadian," lanjut Heri yang berdinas di RSUD Ibnu Sina Gresik tersebut,.
Selain itu, terdapat sisi positif yang dapat dilihat dari penggunaan RTPA pada pasien. Hal ini dapat dilihat hasilnya dalam 24 jam pertama setelah pemberian terapi trombolitik.
"Efek sisi positifnya kalau kita lihat di antaranya yaitu hasil yang baik dalam 24 jam pertama setelah pemberian terapi trombolitik menunjukkan kemungkinan terjadinya perbaikan dalam 3 bulan berikutnya dengan hasil sekitar 30% pasien mengalami perbaikan saraf menjadi normal atau hampir normal. 30% Pasien masih dengan gejala sisa stroke yang ringan sampai sedang, 20% pasien masih dengan gejala sisa sedang sampai berat, dan 20% pasien meninggal," jelas Heri.
Pascapenggunaan RTPA, lanjut Heri, maka akan diberikan pantauan apakah akan terjadi kecacatan fungsional pada pasien dalam tiga bulan setelah pemberian trombolitik terapi.
"Pantauan kecacatan fungsional pada pasien dalam tiga bulan setelah pemberian trombolitik terapi adalah sekitar 50% pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari sepenuhnya secara mandiri, 15% pasien masih membutuhkan bantuan dalam kadar sedang untuk aktivitas sehari-hari, dan 15% pasien masih bergantung secara total untuk melakukan aktivitas sehari-hari," kata Heri.
Heri yang juga berpraktik di RS Semen Gresik ini melanjutkan trombolisis memiliki sejumlah risiko efek samping yang perlu dipertimbangkan. Di antaranya yaitu reaksi alergi, mual, muntah, dan sakit kepala, serta kerusakan ginjal. Risiko juga dapat terjadi terutama jika pasien juga mengidap penyakit diabetes, hipotensi atau tekanan darah rendah, perdarahan intraserebral/perdarahan otak, perdarahan atau memar di sekitar bekas suntikan atau kateter tempat masuknya obat trombolitik, pembengkakan jaringan (angioedema), dan aritmia ventrikel.
Baca juga: 7 Makanan Pencegah Kanker |
Akan tetapi tidak semua orang mengalami efek samping tersebut. Terdapat 1-3 di antara 1.000 pasien dari data penelitian mengalami perdarahan intraserebral. Waktu yang paling baik diberikan untuk RTPA bekerja agar dapat bekerja memulihkan aliran darah ke otak dan meminimalkan risiko kerusakan otak adalah 3 - 4,5 jam.
Heri menambahkan sejumlah rumah sakit di Jatim yang sudah terdapat layanan RTPA adalah RS UNAIR, RS Saiful Anwar Malang, dan RSUD Pamekasan.
"Setahu saya untuk di Jatim baru di RSU dr Soetomo, RS UNAIR, RS Saiful Anwar Malang, dan RSUD Pamekasan. Di mana RSU dr Soetomo sebagai pengampu utama daerah Jatim untuk RSUD Kabupaten sekitaran Surabaya," tutup Heri.